Wednesday, August 27, 2008

Di atas sepeda motor

Supra X, tipe D, meluncur kencang dengan kecepatan rata-rata hampir 70 km/jam. Mengantarkan kedua insan itu ke tempat tujuan. Segalanya berjalan cepat:

tidak ada percakapan, tidak ada basa-basi, tidak ada sentuhan fisik.

Semuanya berlalu begitu normal begitu cepat.

Malangnya hal itu tidak berlaku hanya sekali, melainkan berulang kali. Untuk berada satu motor dengan orang lain, "yang dibonceng" pun sudah merasa tidak enak, jadi dia memilih untuk tidak macam-macam. Hanya ucapan terima kasih ketika sampai dan sapaan ringan ketika bertemu. Yang empunya "yang dibonceng" tidak curiga, kebetulan "sang pengemudi" juga mengenalnya.

Lama-kelamaan "yang dibonceng" merasa tidak enak, akhirnya ia memulai:

suatu perkataan basa-basi

yang merupakan awal dari hubungan mereka yang makin dalam. Sang pengemudi menanggapinya dengan lugas dan sedikit ketus. Kebetulan sang pengemudi memang sangat cuek. Yang dibonceng diperlakukan seperti itu malah semakin merasa aman. Maklum yang dibonceng tidak suka keheningan, kediaman; tidak suka KESENDIRIAN.

Ia kembali membuka percakapan itu. Ia mulai mempertanyakan perihal yang cukup dalam, yang membuat sang pengemudi harus menjelaskan dengan agak panjang. Kecepatan motor itu mulai berkurang menjadi sekitar 55 km/jam. Pembicaraan mulai melibatkan pemikiran-pemikiran mereka sehari-hari. Rahasia-rahasia dalam pemikiran mereka yang sering terulang di alam maya mereka namun yang mereka pilih untuk mereka abaikan pun di sampaikan di atas sepeda motor itu.

Pemikiran-pemikiran aneh, yang lucu bahkan yang konyol mereka candakan. Akhirnya mereka tertawa bersama. Yang dibonceng mulai memukul punggung sang pengemudi.

Itulah sentuhan fisik mereka yang pertama. Mereka tertawa bersama.

Pembicaraan mereka berulang, hari lepas hari. Memang tidak setiap hari, namun hal itu sudah seperti kebutuhan. Suatu rutin yang tidak enak kalau dilepaskan. Bahkan, mereka bersedia meninggalkan beberapa hal lainnya untuk melangsungkan pembicaraan di atas sepeda motor itu.
Suatu hari yang dibonceng lupa membawa sapu tangannya. Sapu tangan itu, biasa digunakan olehnya untuk menutupi mulut dan hidungnya dari debu. Udara di kota itu memang jelek sekali. Debu dan asap di mana-mana, yang dibonceng tidak tahan, Ia memilih merapatkan mukanya, sambil menutupi mulut dan hidungnya dengan kedua telapak tangan, ke punggung sang pengemudi. Sang pengemudi tersentak. Ia menangkap sinyal itu. Kemudian ia melambatkan sedikit motornya, agar yang dibonceng tidak terlalu menderita. Motor itu kemudian melaju dengan kecepatan 40 km/jam. Selain itu sang pengemudi menangkap sinyal yang lain. Suatu sinyal yang tak pernah Ia rasakan sebelumnya. Ia tidak kuasa menahannya. Ia ingin, yang dibonceng terus bersandar kepadanya.

Bahkan ketika yang dibonceng pun pulang malam, sang pengemudi mencari-cari alasan agar ia juga sepertinya pulang malam. Agar tidak ketahuan, sang pengemudi tidak melakukannya setiap kali. Ia pintar, ia memilih waktu-waktu tertentu.

Begitu pula dengan yang dibonceng. Kerap, ia memilih untuk tidak membawa sapu tangannya, hanya agar ia bisa bersandar ke punggung sang pengemudi. Sesekali ia curi-curi. Bukannya menutupi mulut dan hidungnya, ia menyandarkan pipinya ke punggung sang pengemudi, dengan alasan kecapekan. Di lain waktu, sambil memejamkan matanya ia mengeluskan pipinya itu ke punggung sang pengemudi. Pegangannya puna mulai berubah. Besi yang melingkari tempat duduk di bagian belakang motor itu, tidak lagi menjadi dasar pegangan yang dibonceng. Ia memilih untuk memegang jaket sang pengemudi. Jaket berwarna hitam, yang semenjak motor itu berlari makin lambat, selalu harum dan bersih.

Cerita mereka makin dalam. Ketika sudah tidak di jalan besar, motor makin melambat, kini kecepatannya sekitar 20 km/jam. Motor itu agak oleng ke kanan dan ke kiri. Namun mereka tetap berbicara, bercanda sambil sang pengemudi. Itu adalah momen favorit mereka. Anehnya "yang dibonceng" tidak pernah bercerita tentang sang empunya "yang dibonceng". Entah karena tidak enak atau apa, ia tidak pernah memilih topik itu. Begitu juga dengan sang pengemudi, ia tidak pernah mempertanyakan hal itu kepada yang dibonceng. Ada rasa sakit yang amat tajam kalau ia menanyakannya. Ia pernah menanyakannya sekali, namun ia rasa itu sudah cukup untuk menjaga stabilitas rutin mereka setiap sore itu.

Suatu kali pegangan yang dibonceng, tidak lagi berada di Jaket punggung belakang. Kali ini ia melingkarkan tanggannya dipinggang sang pengemudi. Itu adalah reflek. Karena rem mendadak dari sang pengemudi. Sang pengemudi melihat ke bawah. Ada rasa yang sangat... sangat... sangat... akh, tidak bisa digambarkan dengan kata-kata ketika tangan itu melingkar di pinggang sang pengemudi. Itu adalah surga sang pengemudi. Ia ingin tangan itu tetap melingkar dan tidak pernah ditarik lagi kebelakang. Namun keinginan tinggallah keinginan, tangan itu kemudian kembali ke asalnya, bahkan kembali ke besi di belakang. Sang pengemudi amat kecewa.

Gaya mengemudi sang pengemudi kini berubah, ia lebih sering ngerem mendadak. Sesekali siasatnya berhasil. Tangan itu, dengan reflek kembali melingkar dipinggang sang pengemudi. Dan surga itu kembali ia rasakan. Surga itu menjadi candu baginya, dan ingin sekali ia merasakannya setiap saat.

Suatu hari, beberapa bulan dari semuanya itu dimulai, motor itu, entah kenapa berlari kembali sangat kencang. Kecepatannya kembali menjadi 70 km/jam, bahkan sampai 80 km/jam. Yang dibonceng bingung. Teramat bingung kenapa menjadi seperti ini.

Kenapa tidak ada lagi percakapan itu...
Kenapa tidak ada lagi canda tawa itu...
Kenapa ia mesti membeli dua masker penutup sih...
Kenapa motor itu berlari semakin kencang... dan yang paling sakit dia rasakan,
Kenapa tidak ada lagi rem mendadak... surga itu...

Ia bingung. Sangat bingung. Apa yang terjadi dengan sang pengemudi. Kenapa ia menjadi sangat berubah, pikirnya. Ia sering merenungkannya. Bahkan ketika malam, ketika "yang dibonceng" dan empunya sedang bersetubuh. Ia tidak bisa menghilangkan sang pengemudi dari pikirannya. Gestur-gestur kecil yang dibuat sang pengemudi sekalipun ia pikirkan.

Kira-kira apa yah maksud dia mengangkat kedua tangan tadi sore?
Apakah dia ingin menarik perhatianku?
Tapi kenapa tidak ada lagi pembicaraan itu?
Kenapa motor itu berlari kembali sangat cepat?
Kenapa yah?
Kenapa?

Kini air mulai menetes dari mata yang dibonceng. Baginya itu terlalu sakit. Untuk di-cuek-i oleh sang pengemudi.

Kenapa Perwiraku?
Kenapa Ksatria penunggangku?
Apa yang terjadi?
Kenapa tidak kau katakan saja yang dalam hatimu?

Motor itu berlari dengan kecepatan 80 km/jam, ketika kendaraan lain tiba-tiba melintas dari jarak 20 meteran. Sang pengemudi salah perhitungan. Dengan cepat ia menekan kedua rem tangan dan kaki. Bunyi decitan rem sangat keras terdengar, sampai semua orang melihat ke mereka. Namun bukan itu yang menarik perhatian sang pengemudi. Melainkan dua tangan yang saat ini melingkar di pinggangnya. Mereka berhenti sesaat, dan kemudian melaju lagi. Ada yang aneh. Sesuatu yang sangat aneh dirasakan sang pengemudi. Ya, itu dia.

Kedua tangan itu tetap melingkar dipinggangnya.

Ia tunggu sesaat, beberapa saat, cukup lama, tangan itu tetap berada pada tempatnya. Kemudian sesuatu menempel dipunggung belakangnya. Itu adalah pipi yang dibonceng. Ia memejamkan matanya, mengelus-eluskan pipinya, kemudian mengeratkan pegangan tangannya yang melingkar di pinggang sang pengemudi. Motor itu melambat sesaat 40 km/jam. Kemudian tangan kiri sang pengemudi, dengan sangat berhati-hati, meraih kedua tangan itu, menempelkannya di tangan itu, kemudian menggenggam telapak tangan yang dibonceng. Yang dibonceng merespon, ia membalas genggaman tangan sang pengemudi. Tangan itu tergenggam cukup lama.

Kini kepala sang pengemudi berdiri dengan lebih tegak. Ia sudah memilikinya. Dia adalah orang terbahagia di dunia. Ia tidak lagi memerdulikan apa-apa. Ia berasa sudah punya semuanya.

Demikian mereka, kini tidak ada lagi sapaan ketika bertemu. Hanya senyuman ketika mereka bertemu. Senyum yang sangat manis. Mereka tidak lagi bercakap-cakap, mereka memilih untuk diam. Yang ada hanya, tangan yang melingkar di pinggang, sandaran pipi di punggung sang pengemudi, genggaman tangan mereka berdua, dan setiap hari ciuman tangan sang pengemudi ke telapak tangan yang dibonceng. Sang pengemudi sengaja membeli jenis helm yang terbuka dan bahkan ia rela tidak memakai penutup mulut dan hidung, agar ia, setiap hari, bisa mencium tangan permaisuri yang diboncengnya.

Demikian cinta mereka di atas sepeda motor. Tidak ada kata-kata. Sama sekali diam. Hanya cinta membara yang makin membasahi hati mereka masing-masing.

Entah sampai kapan...

12 comments:

Anonymous said...

ini pengalaman pribadi ya bro?
gw masih bingung ending dari cerita ini, apa ya?
ada pesan moralnya kgk bro? He...he...he..

Unknown said...

@Bang Daniel:
Hahaha... ini cerita fiktif Bro. Gua lagi belajar nulis aja. Dengan teknik baru. Berpindah-pindah sudut pandang. Dari pikiran sang pengemudi dan yang dibonceng bergantian. Memainkan emosi pembaca. Nampaknya gak berhasil yah..

Hehehe...

Rince said...

kirain kisah nyata lu.. hahahaha..

Unknown said...

Cie...

Berarti keren banget yah gua bercerita cuf...

Seperti kisah nyata.

Anonymous said...

Cerita porno, kenapa sih orang2 pada syuka. Cincha, tchakyuut ama itu porno .. :)

Unknown said...

Porno gimana sih? Porno di mananya? Weirdo.

IYA said...

porno karna ada kata dasar tubuh udah dikasi imbuhan jadi bersetubuh (tergantung sudut pandang sih)

Unknown said...

Itu sih emang sengaja ditulis begitu

Rince said...

tp lu ngikutin trend film indonesia skrg sih, hat - cabul - hahahaha.. tp kita kan sdh bkn di atas 17thn lg, tp udah 25 thn ke atas, bener gak? Jd gak porno ah..

Unknown said...

Iya kan yah..
perasaan biasa aja.
lagian yang ditonjolkan kan emosinya, bukan bagian itunya.

** jangan bilang "ditonjolkan" juga porno.

weirdo!

Unknown said...

akhirnya baca lagi.. hoho!
Tetep kerasa bagus..

*ngecek cerita lain ah..

Unknown said...

Hei Ira.
Aku juga gak nyangka ternyata bagus yah.
Jadi baca-baca lagi nih.
Jadi pengen rajin nulis lagi nih.
Hehehe.