Tuesday, November 10, 2009

Respon Manusia

Baru saja membaca salah satu berita di koran online berbahasa Indonesia. Berita tersebut mengenai seorang anak yang memiliki penyakit yang aneh. Bayi perempuan tersebut tidak boleh menangis. Jika menangis dia akan menjadi pucat dan biru. Bola matanya akan bergerak kebelakang dan ia menjadi kejang. Sesak dan membatu, tidak bisa bernafas. Dalam beberapa waktu, sang bayi mungil dapat meninggal seketika.

Yang menarik adalah respon dari para komentator pada artikel tersebut. Maklum, koran online tersebut membuka kesempatan untuk para pembaca mem-feed back artikel tersebut. Beberapa komentarnya adalah sbb.:

"Gua baru dengar ada penyakit seperti itu..."

"Kasihan sekali..."

"Penyakit jaman sekarang makin aneh-aneh.."

"Kalau di Indonesia itu namanya kesurupan, panggil aja Paranormal..."

"Cepat sembuh yah sayang, dunia ingin mendengar tawa mungilmu..."

(Saya sangat suka dengan respon yang terakhir).

Tentu saja itu menjadi hak kita untuk merespon apa yang ada dihati dan kepala kita, kemudian kita mengadukan jari-jari kita ke Keyboard, dan menuliskan apa yang menjadi isi kepala dan hati kita.

Yang menjadi masalah adalah mengapa yang di hati kita bisa berbeda-beda? Dari manakah asalnya pikiran-pikiran itu? Dari manakah asalnya perasaan-perasaan itu?

Saya berteori bahwa hal tersebut sangat bergantung pada perjalanan kehidupan orang tersebut. Semisal, hanya semisal, orang yang merespon dengan respon terakhir di atas adalah seorang Ibu. Dia telah mengalami; kurang lebih; pengalaman yang sama dengan anaknya, dan dia berhasil melaluinya. Tak ayal, ada nada optimisme pada komentarnya.

Yang lain mungkin jalan kehidupannya tidak bersinggungan dengan anggota keluarga yang sakit keras. Sehingga Ia memilih komentar yang netral dan tidak menyinggung siapapun.

Manusiawi, sebenarnya topik itu yang ingin diangkat di tulisan kali ini. Mungkin sang orang tua tidak bisa membaca komentar-komentar yang kita layangkan di artikel tersebut, kebetulan artikelnya berbahasa Indonesia, sementara kejadian riilnya ada di dunia barat. Tetapi setidaknya ada dukungan. Suatu doa singkat kepada Yang Maha Kuasa, dan dukungan kemanusiaan; hati nurani; bagi pembaca yang lain, yang mungkin mengalami hal yang sama.

Manusiawi, kemanusiaan, saling peduli, saling kasih, nampaknya hal tersebut menjadi masalah sangat besar di jaman serba canggih seperti sekarang ini. Manusia dapat dengan mudah memilih meninggalkan manusia lainnya dan bergaul dengan mesin-mesinnya. Tentu saja, karena mesin tidak bisa mengkritisi kita, mesin tidak bisa bergesekan dengan kita, mesin tidak bisa menyakiti hati kita, dsb. Namun coba bayangkan, suatu kehidupan tanpa kasih mesra sesama, tanpa saling membantu, tanpa tangis, tanpa pelukan. Suatu kehidupan hambar yang melaju datar di garis benang kehidupan. Apa benar itu yang kita mau??