Wednesday, January 02, 2008

Kisah Seorang Majus (Bagian V)

The War

Gaspar kaget sekali, di tempat itu, di tenda yang dibangun tentara Romawi di atas bukit, Markus Aerilius, orang yang membunuh Ayahnya, tidak seperti yang dia bayangkan. Markus kini hanyalah seorang bapak tua dengan perut buncit dan nafas yang terengah-engah. Gaspar kecewa sekali. Ia telah berlatih pedang begitu rupa untuk bertempur dengan pria ini. Ia telah melatih tubuhnya menjadi kekar. Ia telah mengorbankan segalanya hanya untuk pria tua gendut di depannya itu. Gaspar kecewa. Benar-benar kecewa. Ia merasa, Ia tidak perlu mengorbankan seluruh kehidupannya hanya untuk melawan orang yang sudah hampir mati ini. Namun pikiran itu langsung lenyap. Lenyap ditelan amarah dan balas dendam yang sudah menggerogoti dan menghisap jiwa Gaspar. Hari itu, dendam Gaspar harus terbalaskan. Harus.

Ramalan itu benar. Hujan dan badai sangat lebat turun di Mesopotamia siang itu. Begitu kedua pasukan, pasukan Persia dan pasukan Romawi berhadap-hadapan, suara seorang yang membaca mantera terdengar jauh di atas bukit. Awalnya pelan seperti berbisi, namun lama-lama makin mengeras, makin mengeras, makin mengeras sampai terdengar seperti gemuruh.

”Askabar an nừ kyiaralaba syika taranta kansa...”
”Askabar an nừ kyiaralaba syika taranta kansa...”
”Askabar an nừ kyiaralaba syika taranta kansa...”
”Askabar an nừ kyiaralaba syika taranta kansa...”
”Askabar an nừ kyiaralaba syika taranta kansa...”
”ASKBAR AN NỪ KYIRALABA SYIKA TARANTA KANSA...”

Dan tiba-tiba awan hitam menggumpal di seantero tempat itu. Awan yang sangat pekat hingga hanya sedikit cahaya matahari yang tersisa untuk tempat itu. Sangat gelap. Medan perang itu berubah menjadi sangat gelap. Tiba-tiba tetesan air jatuh menuju bumi. Satu tetes air yang mendahului hujan yang sangat lebar jatuh membasahi tanah kering itu. Setetes air tersebut memuaskan dahaga tanah kering tersebut di musim kering tersebut. Sudah lama tanah itu tidak minum. Setetes itu merasuk ke pori-pori tanah, membasahi tiap butir-butir pasir sehingga diri mereka masing-masing menjadi basah, basah kuyup. Butir-butir pasir itu dapat merasakan bahwa cairan itu terlampau banyak. Mereka tidak lagi dapat menahannya. Cairan itu terlampau banyak. Mereka yang tadinya keras tiba-tiba menjadi lembek sekali. Dan karena mereka sangat tebal mereka terus menerima cairan-carian itu. Tanah keras itu sadar kalau kini mereka menjadi lumpur.

Suara itu adalah suara Asgix. Ia memanggil hujan lebat itu turun. Ia tidak diundang, namun Ia datang. Ia merentangkan tangannya lebar, dengan tongkat kayu berkelok di tangan kanannya. Gemuruh yang sangat kuat menghantui pasukan romawi. Namun mereka tidak tahu ketakutan yang sebenarnya. Mantera Asgix tidak hanya memanggil badai, Ia juga melahirkan gempa. Gempa yang sanggup meruntuhkan batu-batu di lereng bukit meluncur langsung menuju pasukan romawi.

Begitu satu batu meluncur, begitu tanah sudah menjadi lumpur, begitu ketakutan sangat melanda pasukan romawi, komandan pasukan Persia berteriak:

”Serang!”

Dan teriakan itu disambut oleh puluhan ribu pasukan Persia yang berteriak

”Seraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa......aaaaaaaa...aaaaaaaaanngggg!”

Suara mereka berestafet. Dari barisan paling depan hingga barisan paling belakang. Suara itu adalah untuk menimbulkan kegentaran untuk lawannya. Dan mereka berhasil. Di tengah hujan lebat, dan kegentaran yang begitu dahsyat, para pasukan pemanah Romawi gemetar. Mereka melepas anak panah, namun banyak yang menghilang dan salah arah. Hanya beberapa kesempatan saja mereka bisa melepas anah panah. Pasukan Persia sudah mendekat.

Lihat, mereka semua menanggalkan baju zirahnya. Mereka bergerak sangat leluasa dengan menggunakan hanya selembar kain yang menutupi diri mereka. Seluruh tubuh mereka juga dilumuri minyak. Pasukan Romawi tidak mengerti tentang hujan lebat dan lumpur ini. Mereka terjebak dalam jubah kebesaran mereka masing-masing, mereka sangat sulit bergerak..

Mesiu yang dipersiapkan oleh Pasukan Romawi ini juga tidak dapat digunakan. Hujan terlalu lebat. Pasukan Romawi membeli banyak sekali mesiu dari Kaisar Asia Timur. Komandan Romawi sudah berteriak dari tadi: ”Lepaskan mesiu”. Namun para operator mesiu selalu membalas: ”Tidak bisa komandan, apinya selalu mati, hujan terlalu lebat, kita tidak bisa menggunakan alat ini.”

Sementara itu batu-batu besar mulai mendarat di Pasukan Romawi. Mereka terkepung. Mereka terpojok. Mereka mulai tunggang langgang. Kekuatan mereka dengan mudah dikalahkan oleh kecepatan dan keluwesan pasukan persia. Mereka terjebak. Kemudian komandan pasukan romawi berteriak: ”buka baju zirah! Buka baju zirah! Buka sepatu besi! Buka sepatu besi!”. Seluruh pasukan itu menyeriangi dengan membuka baju zirah dan kasut besi mereka. Namun hal itu sudah terlambat.

Tiba-tiba ratusan bahkan ribuan anak panah mendarat di pasukan romawi. Anehnya anak panah-anak panah itu hanya mengarah ke tempat yang sama. Hal ini dengan sangat mudah dihindari oleh pasukan romawi. Tiba-tiba komandan romawi berteriak:

”Jangan berpisah! Tetap satu! Jangan berpisah tetap satu! Jangan terpecah! Tetap dalam barisan”.

Namun tidak bisa. Dalam ketakutan yang sangat besar, ego tiap-tiap orang tersebut muncul. Kebanggan pasukan romawi yang besar itu hilang begitu saja. Mereka ingin menyelamatkan diri masing-masing dari anak panah-anak panah itu.

Pasukan romawi mulai terbagi dua. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang sangat kuat makin lama makin mendekat pasukan romawi. Itu adalah pasukan berkuda. Mereka seperti telah mengenal tempat itu sebelumnya. Pasukan kuda itu berhasil mengenali tanah-tanah keras di tengah lumpur yang dalam tersebut. Kuda-kuda itu tidak terperosok. Pula mereka dipakaikan sepatu khusus terbuat dari bahan seperti plastik. Kuda-kuda itu juga dapat bergerak dengan leluasa. Pasukan berkuda itu mengejar pasukan romawi yang bergerak mundur ke arah barat. Pasukan itu terpojok. Antara bukit dan pasukan persia. Sementara pasukan persia menyerang habis-habisan pasukan yang di sebelah timur.


”Gaspar, anak Margot!” Markus berseru. Dan kemudian tertawa. Tertawa sangat keras. ”Hahahahhahahahahahhaa.....”. Tawa itu membuat Gaspar sangat kesal. Dan tiba-tiba tawa itu berhenti karena tersedak ”Aakh...” Markus terhunus pedang. Pedang dari Gaspar. Setengah dendam Gaspar terbalas sudah. Kemudian Markus tertawa lagi.

“Hahahahaha... jadi kau hendak membalas dendammu?“. Kali ini dengan terbata-bata. Kau berhasil nak. Tapi kau tetap tidak akan tenang. Selamanya kau tidak akan tenang.
”Hahahahahaha....” dan kemudian Markus berhenti bernafas.

Gaspar sangat puas. Ia berhasil membalaskan dendamnya. Ia berhasil membunuh pembunuh ayahnya. Namun tiba-tiba ia menangis. Perasaanya itu sangat mendalam. Dari berbagai binatang, prajurit romawi yang telah ia bunuh kali ini ia baru bisa merasakan kalau ia adalah seorang pembunuh. Aku seorang pembunuh. Aku pembunuh. Dari kecil Gaspar tidak suka membunuh. Dari kecil Gaspar tidak suka berperang. Dari kecil Ia tidak ingin melakukan apa yang dilakukan ayahnya. Ia lebih memilih kedamaian dari pada peperangan. Tapi hari itu ia menyadari kalau ia telah membunuh seseorang, sesamanya, dengan kedua tangannya sendiri. Dengan pedangnya. Terlebih dengan dendam hatinya yang sangat mendalam. Ia telah membunuh manusia. Ia telah menghentikan kehidupan seorang manusia dengan kuasanya. Ia merasa tidak berhak atas hal tersebut. Ia kemudian jatuh bersujud. Ia tidak lagi perduli dengan perang yang sedang berlangsung. Ia hanya menyadari bahwa perang, dendam dan pembunuhan tidak akan pernah selesai. Semua akan tetap seperti itu. Ego manusia, dendam, dan sebagainya, masih terlalu tinggi untuk tidak adanya perang. Harus ada sesuatu, sesuatu yang menghentikan semua ini. Semua ini.
Kemudian ia berteriak sangat keras. Keras sekali.

”Berhenti.......!!!”. Namun tidak ada yang dapat mendengarnya.

Semua kembali berperang. Persia berhasil mengalahkan Romawi di perang besar kali itu. Markus Aerilius tewas di perang itu. Dendam Gaspar pun mati di peperangan itu. Namun Gaspar menjadi pendiam dan sedikit gila. Ia tidak pulang bersama dengan pasukan persia kembali ke raja. Tetapi ia berada di situ. Ia mengumpulkan semua mayat itu. Ia menjadikannya beberapa tumpuk mayat. Ia membakar semua tumpukan itu bergantian. Ia mengerjakannya berhari-hari.

Ditumpukkan terakhir, Asgix menghampiri dia. Asgix memegang bahu kiri Gaspar. Melihat cincin di tangan itu Gaspar tidak berbalik. Ia tahu itu adalah Asgix. Ia hanya terdiam melihat tumpukan mayat di depannya terbakar. Kasih dan kelembutan seperti mengalir dari tangan Asgix. Gaspar tidak tahan lagi. Ia menangis. Ia kembali mengingat keluarganya yang habis dibantai saat perang. Ya, dia tidak lagi memandang karena pasukan romawi, melainkan karena perang. Ia juga mengingat semuanya habis karena perang. Ia tidak ingin seperti itu. Ia ingin kedamaian untuk manusia. Begitu deras kasih dan kelembutan itu mengalir dari Asgix. Ia tidak kuat. Selama ini ia diliputi kebencian. Dendam. Ia tidak pernah bisa merasakan kasih dan kelembutan itu. Namun kali ini kelembutan itu mengalir merasuk ke dalam hatinya. Ia menerima kasih kelembutan itu kali ini. Ia terduduk, tangisnya makin keras. Ia terpukul begitu sangat. Aku pembunuh. Aku membunuh. Asgix ikut duduk. Ia merangkul Gaspar beberapa lama. Ia membiarkan Gaspar merasakan kasih kelembutan yang selama ini tidak lagi ia rasakan. Gaspar menikmatinya lama sekali. Ia ingin tenggelam dalam kasih tersebut. Sampah busuk dendam di hatinya sudah terlampau bau dan jijik. Kini itu semua dibersihkan dari hatinya. Gaspar menikmatinya. Sangat.

No comments: