Wednesday, January 02, 2008

Kisah Seorang Majus (Bagian VI)

The Scripts of Messiah

Aku pembunuh. Aku membunuh. Aku tidak dilahirkan untuk membunuh. Mengapa aku mampu membunuh. Menggantikan rasa dendam yang selama ini telah menggerogoti hati Gaspar selama ini, rasa bersalah. Ya, rasa bersalah seorang pembunuh menghantui hatinya. Hari lepas hari. Dalam pikirannya, dalam jiwanya, dalam hatinya. Ia tak bisa lepas dari itu. Namun kali ini lebih bijak. Ia juga menerima kasih dan sayang dan kepedulian dari orang lain.

Gaspar tinggal di kediaman Asgix. Ia telah lama meninggalkan dunia luar, dunia peperangan di luar sana. Ia menyendiri. Ia ditemani Parthon yang rambutnya sudah memutih. Gaspar meninggalkan dunia luar belasan tahun yang lalu, ketika perang besar antara Persia dan Romawi terjadi di Mesopotamia. Persia berhasil memenangkan peperangan itu. Gaspar tumbuh menjadi sosok yang bijak. Ia mendalami ilmu perbintangan. Ia mendalamai tulisan-tulisan kuno para majus. Ia mendalami semuanya itu. Ia mendalami ilmu-ilmu sihir, atau lebih tepatnya pengetahuan. Ia menjadi seorang majus yang jenius.

Kesukaannya adalah berjalan di sore hari nan cerah. Mengunjungi makam Asgix dan memeteraikan setangkai bunga Asentoria di Nisan tersebut. Ia menamai bunga tersebut Asentoria karena bentuknya yang mirip dengan kumpulan bintang centurion. Kemudian ia akan melanjutkan rutinitasnya dengan memandang bintang dari atap rumahnya. Ia menuliskan pergerakan bintang yang belum tercatat. Ia membukukan kejadian alam yang menyertainya. Ia menuliskannya dengan detail dan teliti. Ia suka melakukan rutinitasnnya sehari-hari. Ia menciptakan buku panduan baru untuk para majus sebenarnya.

Sampai malam itu, ketika ia sedang menengadah ke langit dan sedang memperhatikan bintang-bintang di angkasa, tiba-tiba ia melihat satu bintang di sebelah timur. Bintang itu sangat terang. Berwarna emas kemerahan. Ia tidak pernah melihat bintang itu sebelumnya. Ia mengaguminya. Bagaimana ia bisa berada di sana? Sudah belasan tahun aku melakukan ini namun aku tidak pernah melihatnya.

“Bintang timur”, tidak sengaja mulutnya berbicara. Ia terkagum-kagum dengan keindahan bintang itu. Nanarnya sempurna. Ia pasti terletak amat jauh, tapi ia bersinar sangat terang. Ia terus memperhatikan bintang itu dengan seksama. Kini ia menyipitkan sedikit matanya untuk memperhatikan bintang itu lebih dalam. Tiba-tiba ada suara berbisik di hatinya:

Kau bukan pembunuh, Aku datang untuk menyelamatkanmu, aku datang untuk mengampuni. Kau diampuni“. Gaspar terkaget-kaget. Ia bangun dari sadarnya. Ah tidak mungkin, mana mungkin bintang itu berbicara kepadaku. Gaspar ragu. Aku sudah mulai gila. Ia kembali melihat bintang itu. Kembali ia menyipitkan matanya untuk melihat keindahan bintang itu.

Engkau bukan pembunuh, engkau adalah biji mataku, kesayanganku. Kau bebas. Engkau harus menyambutKu”. Tiba-tiba bulu kuduk Gaspar berdiri semua. Selintas ia mengingat kejadian itu. Saat ia menghunuskan pedangnya ke Markus Aerilius, pembunuh ayah Gaspar. Ia menghunuskannya dengan penuh dendam. Ia puas membunuh manusia. Ia merasa sangat bersalah sekali karena hal itu. Ia meninggalkan dunia nyata karena itu. Ia hidup menyendiri karena Ia merasa harus menjauhi manusia. Manusia penuh nafsu, dendam dan dengki, Ia tidak ingin lagi merasakan itu. Ia ingin menjauhi manusia.

Bagaimana ia tahu rahasia hatiku yang terdalam. Bagaimana ia tahu isi hatiku. Apakah Dia penciptaku. Gaspar berpikir sangat dalam kali ini. Sangat melankolis. Kemudian ia turun dari atap rumahnya. Ia memilih cepat tidur malam itu. Ia merasa dirinya sudah gila. Hati Gaspar terkatalis. Tidak bisa tidak, rasa penasaran itu menyerang dia begitu dalam. Sekalipun ia berusaha untuk membiarkan perkataan-perkataan itu dan menganggap itu hanya halusinasi biasa ia tetap penasaran. Mungkinkah penciptaku baru saja berbicara kepadaku?

Hari itu adalah hari kunjungan rutin Balthazar ke pondok Gaspar. Mereka berdua memiliki ketertarikan yang sama. Mereka adalah orang-orang majus. Baltazhar adalah pendeta majus, namun Gaspar tidak diakui masyarakat. Bagi orang persia, Gaspar adalah pahlawan. Lihat saja perawakannya, Ia masih sangat tegap dan kuat. Mereka berdua suka berdiskusi tentang ilmu-ilmu pengetahuan. Sesuatu yang sangat didalami para majus. Baltazhar suka menceritakan kejadian-kejadian di sana kepada Gaspar, sehingga Gaspar tidak ketinggalan berita. Baltazhar banyak bercerita tentang perang yang masih berkecamuk antara Persia dan Romawi. Baltazhar tahu Gaspar tidak suka perang. Baltazhar mengerti betul Gaspar tidak suka membunuh. Ia percaya, Markus Aerilius adalah orang terakhir yang Gaspar bunuh, dan Baltazhar mendukungnya.

Sebaliknya Gaspar suka menceritakan penemuan-penemuan terbarunya tentang bintang kepada Baltazhar. Gaspar suka membagi ilmu barunya dan mereka mendiskusikannya. Mereka minum teh bersama. Parthon yang menyediakan panganan itu untuk mereka.

”Engkau lihat bintang itu, yang di sebelah timur?” Gaspar bertanya pada Baltazhar.

”Lihat” Baltazhar menghirup tehnya namun tidak melihat bintang itu.

”Itu yang berwarna emas kemerahan, lihat!”. Nadanya sedikit marah. Nampaknya Ia ingin menyampaikan sesuatu yang heboh. Baltazhar menangkapnya.

Baltazhar bangkit mendekati Gaspar. Ia melihat bintang itu. Bintang itu sangat indah.

”Lo. Aku menamainya Lo. Sang Juruselamat.”. Gaspar bergumam.

Baltazhar tidak mengindahkannya. Ia sibuk menikmati bintang itu.

”Ia tidak pernah ada di situ sebelumnya. Tidak pernah ada kapanpun. Sepertinya ia hanya sekali saja terbit sepanjang sejarah kehidupan manusia ini”. Baltazhar juga pengamat bintang. ”Bagaimana ia bisa berada di sana? Apakah ia bintang yang baru lahir? Tapi mengapa ia sangat terang?” Baltazhar menambahkan.

”Ia berbicara kepadaku”. Tiba-tiba Gaspar membuka rahasia hatinya.

”Maksud mu? Kita sama-sama tahu kalau bintang adalah penanda saja, ia tidak mungkin berbicara” Baltazhar melihat Gaspar keheranan.

”Iya aku mengerti maksudmu. Tapi pertama kali melihatnya, dalam kesendirian. Ia berbisik kepadaku. Ia tahu kedalaman hatiku. Ia tahu rahasia besarku. Ia membuka dendamku. Dan yang paling penting, ia menjawab pertanyaanku. Ia mengatakan aku bukan pembunuh, Ia mengampuni aku dan Ia mengatakan aku harus menyambutnya.”. Gaspar bercerita sangat serius.

Baltazhar berusaha mengingatkan Gaspar, ”Bintang berotasi saudaraku, Ia tidak bisa berbicara, kita tidak menyembah bintang”.

”Iya aku hanya berusaha menyampaikan apa yang ada di kedalaman hatiku kepadamu”. Gaspar berusaha jujur.

Baltazhar tersanjung dengan kejujuran itu. Ia melihat sebentar ke arah bintang itu. Bintang itu memang sangat indah. Kemudian ia melihat ke arah sahabatnya. Gaspar sedang memandangi bintang itu dengan sangat tenang, penuh pengharapan.

”Nanti akan kucoba cari, apa yang dikatakan pendahulu kita mengenai Bintang Timur ini. Nampaknya aku akan menggali sesuatu yang sangat kuno. Penuh debu. Dan engkau berhutang kepadaku”. Baltazhar akhirnya menyerah dan berjanji membantu rasa penasaran sahabatnya itu.

”Terima kasih” kata Gaspar.

Dan kemudian mereka melanjutkan perbincangan mereka. Mereka berbicara tentang apapun. Tanpa batas.

*************************************************************************

Beberapa minggu kemudian Gaspar menerima surat dari Baltazhar. Merpati peliharaan Baltazhar yang mengantarkannya. Isinya adalah:

Sahabatku,

Engkau harus lihat ini.
”Bintang Timur. Suatu saat nanti Ia akan bersinar. Ia hanya bersinar sekali dalam sejarah kehidupan manusia. Berbahagialah yang mengikuti arahnya. Berbahagialah yang akhirnya melihat DIA, juruselamat umat manusia.”

Baltazhar.

Seketika itu juga bulu kuduk Gaspar berdiri lagi. Mungkinkah? Mungkinkah hal ini? Jika benar hal ini adalah penemuan yang sangat luar biasa. Sekali seumur hidup. Sekali sepanjang sejarah manusia berabad-abad.

Gaspar menjadi sangat bersemangat. Ia melihat sebentar ke langit sebelah timur kemudian ia turun dan mengepak seluruh barangnya. Untuk ini Gaspar akan turun gunung dan ia akan ke tempat Baltazhar. Ia tahu mereka berdua perlu meneliti ini lebih dalam lagi. Baltazhar pasti butuh bantuan. Parthon kebingungan melihat tuannya membereskan barangnya.

”Kita harus ke tempat Baltazhar”. Gaspar sangat bergegas. ”Cepat bereskan barangmu!”. Parthon yang dari tadi melihat dengan penuh kebingungan langsung bergerak dan membereskan barang-barangnya.

Aku akan menyambutmu. Sang penciptaku. Gaspar berbicara sendiri dalam hatinya. Entah kenapa ia bersemangat sekali untuk hal ini. Ia tak pernah sebersemangat ini sebelumnya. Seakan-akan jiwa masa kecilnya lahir kembali. Ia bahkan tidak perduli lagi kalau ia akan turun gunung dan akan bertemu banyak orang. Ia ingin bertemu Bintang Timur itu. Ingin sekali.

Gaspar menginjakkan kakinya di Kota besar Persia. Ia asing sekali dengan segala perubahan yang terjadi. Terutama cara berpakaian manusia. Mereka semua makin gemerlap. Jubah lusuh Gaspar terlihat sangat kusam jika dibandingkan dengan mereka. Apalagi Parthon sang budak. Mereka berdua terlihat seperti orang aneh di tengah kerumunan dan gemerlapan orang tersebut. Namun Gaspar memilih untuk berkonsentrasi dengan Bintang Timur-nya, dari pada memperhatikan perubahan zaman tersebut.

Orang-orang tampak mengenalinya. Mereka berbisik sesuatu. Gaspar tahu mereka berbicara tentangnya. Tentang kepahlawanannya. Beberapa bahkan berdiri tegak saat ia lewat sebagai tanda hormat. Namun Gaspar sudah melupakan semuanya itu. Kalau dulu, mungkin akan ada sedikit kebanggaan tentang kepahlawanannya tersebut. Namun kini, Gaspar telah mengosongkan dirinya dan telah memilih jalan hidupnya yang baru.

Ia sampai di kediaman Baltazhar. Suatu istana kecil khusus untuk para pendeta majus. Wajar saja, pendeta majus dianggap mulia di negeri Persia. Mereka dianggap orang paling berpengetahuan di antara yang lainnya. Mereka memang tekun. Gaspar menoleh ke prajurit penjaga dan menanyakan Baltazhar. Sebentar ia masuk kemudian prajurit itu keluar bersama Baltazhar.

”Gaspar sahabatku...” Baltazhar memberi salam. Gaspar hanya tersenyum. Sebetulnya Baltazhar kaget apa yang membuat Gaspar memutuskan untuk turun gunung, namun Ia menunda pertanyaan itu sampai nanti, setidaknya tidak di depan prajurit jaga itu. Tanpa perlu berkata-kata nampaknya Gaspar juga sudah sepakat akan hal itu.
Baltazhar membawa Gaspar dan Parthon masuk ke kediamannya. Kediamannya adalah suatu rumah dari kayu Libanon yang sangat indah dan kuat. Tempatnya pun bersih dan rapih. Itu memang ciri khas Baltazhar. Rapih dan bersih. Ia masih tinggal seorang diri, belum ada yang mendampingi dia. Tidak tahu apakah dia ingin menyendiri selamanya atau sampai batas waktu tertentu. Mereka berdua dipersilahkan duduk sementara suruhan Baltazhar mempersiapkan kamar untuk Gaspar dan Parthon. Tentu saja Gaspar di rumah utama dan Parthon di bagian belakang, tempat suruhan lainnya berkumpul. Parthon akhirnya memilih mengikuti suruhan Baltazhar ke belakang. Kini tinggal mereka berdua.

”Jadi apakah yang akhirnya membuat engkau turun gunung wahai pahlawan” Baltazhar sedikit mengejek.

”Suara itu, Lo, Bintang Timur, semakin kuat, aku sangat penasaran. Dan aku yakin aku tidak salah. Begitu aku terima suratmu, aku langsung menuju kemari.”

”Ya, dan engkau sampai lupa membalas surat itu kalau engkau mau kemari. Aku belum menyiapkan apa-apa untuk kedatanganmu jadinya. Katakan padaku, sebegitunyakah engkau akan bintang timur itu? Sehingga hal tersebut dapat memaksa engkau turun? Kalau iya, berarti hal ini sangat serius. Engkau saja sampai turun gunung.”. Baltazhar menanyakan kepastian.

”Suara itu. Ia tahu sampai kedalaman hatiku. Ia tahu masa laluku yang kelam. Ia mengenal dendamku. Ia mengenal diriku. Engkau tahu, suara itu bahkan sepertinya lebih mengenal aku dari diriku sendiri.” Gaspar berkata begitu lirih. Baltazhar mendapat kepastiannya dengan perkataan Gaspar. Ia pun akhirnya memilih sepakat dengan sahabatnya itu. Jikalau hal ini mampu membuatnya turun gunung, hal ini pasti sangat serius bagi Gaspar.

”Jadi apa rencanamu?” Baltazhar bertanya.

”Aku akan mengikuti bintang itu. Aku ingin Ia menuntunku.”. Gaspar menjawab.

”Kamu sudah gila? Bagaimana mungkin kita bisa meraih bintang itu. Bagaimana kalau tidak ada apa-apa?”. Baltazhar spontan menjawab. Hal itu menyindir Gaspar.

”Bagaimana kalau ada apa-apa?. Apakah engkau mau melewatkan sang juruselamat manusia? Bagaimana kalau tulisan itu benar?”. Gaspar membalikkan keadaan.

Baltazhar melihat perjalanan dengan perkataan itu. Baltazhar tahu akan ada eksodus yang sangat panjang untuk hal ini. Baltazhar menyukainya. Bahkan, ini adalah impiannya. Suatu perjalanan mengejar bintang. Mempelajari bintang dan misteri di belakangnya. Tidak perlu diminta, Ia sudah sangat setuju untuk mengejar bintang itu. Namun Baltazhar tetap Baltazhar. Ia adalah pekerja yang rapih dan teratur.

”Baiklah kalau begitu. Tinggallah beberapa hari di sini. Kita kumpulkan dulu semua pemberitaan mengenai Bintang Timur ini. Siapa tahu kita bisa memperoleh informasi tambahan untuk mengejar bintang ini.”

“Terima kasih.” Gaspar berkata dengan suara yang sangat mendalam.

Baltazhar menatap sahabatnya itu dan melihat parasnya. Ia yakin itu bukan ucapan terima kasih yang biasa. Itu lebih mendalam. Itu lebih terdengar seperti terima kasih telah mempercayaiku dalam kegilaanku. Terima kasih telah ikut bersemangat bersamaku mengenai hal ini. Terima kasih sahabatku.

”Iya.” Baltazhar menjawab singkat menormalisasi keadaan yang sudah semakin melankolis. Seperti sudah menjadi mekanisme otomatis, ketika kedua orang pria berbincang-bincang, keadaan harus tetap normal dan tidak diperbolehkan sedikitpun mengarah ke pembicaraan yang sentimentil. Pria sebenarnya suka akan hal itu, tetapi mekanisme otomatis itu sering kali menghalangi mereka untuk berbicara hati ke hati.

***********************************************************************************

Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita, lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.

Untuk melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua orang yang membenci kita, untuk menunjukkan rahmatNya kepada nenek moyang kita dan mengingat akan perjanjianNya yang kudus, yaitu sumpah yang diucapkanNya kepada Abraham, bapa leluhur kita, bahwa Ia mengaruniai kita, supaya kiya, terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepadaNya tanpa rasa takut, dalam kekudusan dan kebernaran di hadapanNya seumur hidup kita.

Apakah arti semua tulisan ini? Gaspar dan Baltazhar berpikir keras dalam hati mereka masing-masing.

”Dengar ini”, seru Baltazhar. ”Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan Ia akan menamai dia Immanuel”.

”Mungkinkah bintang itu sebenarnya adalah bayi yang baru lahir?”, Gaspar balik bertanya.

”Mungkin saja. Sebab dari tadi semua tulisan kuno ini berbicara mengenai seorang anak, seorang bayi, perempuan hamil, anak dara, segala macam. Sepertinya bintang itu penunjuk waktu kelahiran anak itu.” Baltazhar menyeriangi.

Dan engkau Betlehem tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.

”Israel! Yahudi! Mereka ada di timur”. Gaspar mendapat pencerahan. “Dulu pengasuhku adalah seorang Yahudi. Tunggu sebentar, aku baru ingat, Iya, dulu ia pernah bercerita tentang Bintang Timur. Yang aku ingat, ia berkata Bintang itu yang akan menuntunmu kepadaNya. Itu saja. Bintang itu akan menuntunku. Aku yakin ia akan menuntunku kepada Juru selamatku.”

”Tapi masa iya, juruselamatmu, seorang bayi?”. Baltazhar berusaha bersikap skeptis. ”Lagi pula dengar ini: Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih: Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi. Nampaknya juruselamat-mu itu akan mati saat bayi. "

”Aku harus melihat dia, aku harus melihat dia. Kita harus ke Timur. Ke Bintang itu. Bintang itu akan menuntun kita kepada juruselamatku itu.” Gaspar memaksa. Ia ingin Baltazhar ikut dengannya.

Tiba-tiba terdengar suara dari luar berteriak cukup keras. ”Raja datang, hidup sang Raja”.

Gaspar dan Baltazhar serentak bersujud dan menyembah sang raja. Sang Raja malah menyambut Gaspar dan memaksa Ia berdiri.

”Jangan begitu Gaspar, jika bukan karena engkau, mungkin aku tidak berada di sini hari ini. Aku berhutang padamu, maka aku harus kemari. Mari singgahlah di istanaku. Beristirahatlah di sana. Kita bercakap-cakap, dan engkau bisa menilai prajurit-prajuritkuku yang baru”. Tawa kecil menutup kalimat sang Raja.

Tiba-tiba Gaspar membayangkan lagi senjata, pertempuran, strategi perang, semua itu dan darah, ya darah, itulah yang membuat ia sangat takut, darah. Ia tak lagi ingin semua itu dalam hidupnya. Dengan cepat ia mengatur kata-katanya. Ia harus melakukannya, menolak permintaan Raja bisa berarti pula tiang gantungan. Bukan hal mustahil.

”Ah Raja terlalu merendah. Engkau berada di sana tentu karena kebijakan paduka dan hikmat anda nyata dengan makin majunya negeri ini. Namun, hambamu sudah lama sekali tidak mengikuti dunia perang. Hambamu sudah mundur dari dunia ini Paduka. Hamba hanya ingin mencari ketenangan hidup. Mohon mengerti hamba. Pula, hamba harus meneruskan perjalanan hamba segera, ada yang harus hamba lakukan. Maafkan kelancangan hamba.” Gaspar menjawab dengan sangat hati-hati.

Raja tidak lagi melihat kecongkakan di pria yang ada di hadapannya ini. Padahal badannya masih gagah bak pahlawan, bahkan terlihat lebih matang. Namun ia berubah menjadi sangat bijak. Tersirat sedikit kesedihan di mukanya, namun Raja tidak lagi melihat kebencian pada Gaspar. Sebenarnya Ia salut pada Gaspar. Ia adalah pria yang sangat kharismatik buat Raja.

Untuk orang lain pasti Raja akan marah jika permintaannya ditolak, tapi karena ini Gaspar, maka ia tak sanggup untuk memaksa.

”Mau kemanakah engkau pahlawan? Engkau bilang tadi akan meneruskan perjalanan. Hal penting apakah itu yang akhirnya dapat membuat engkau turun gunung?” Raja begitu tidak sabar. Hal itu pasti penting sekali sehingga Gaspar harus turun gunung.

Kedua orang majus itu lihat-lihatan. Mereka yang kini berdiri tegak dan tersembunyi di balik jubah-jubah itu terlihat berbicara isyarat satu dengan yang lain. Nampaknya mereka tidak ingin membuka hal penting tersebut secara gamblang kepada Raja. Namun Raja dapat menangkap hal itu.

”Prajurit, tunggulah di luar”. Raja tiba-tiba mengusir seluruh penjaganya ke luar ruangan. Gaspar dan Baltazhar pasti tidak bisa menolak kali ini.

”Kini tinggal kita bertiga. Kalaupun, katakanlah kepadaku apa yang akan kalian lakukan. Setidaknya ceritakanlah kepadaku sebagai seorang sahabat.”. Raja memang tidak percuma berada di tahtanya. Ia mampu membaca situasi dengan cerdik.

Kemudian Gaspar dan Baltazhar menceritakan tentang rencana perjalanan mereka. Mencari bintang itu. Tidak semua hal diceritakan kepada Raja, terutama masalah hati. Baltazhar mendukung Gaspar. Awalnya Raja kaget dengan hal tersebut. Hal yang sangat tidak masuk akal, namun saat Raja kembali mengingat bahwa hal tersebut mampu membuat seorang Gaspar turun gunung maka ia pun memandang hal itu dengan sangat serius.

Raja mendukung perjalanan itu. Ia menghormati Gaspar dan Baltazhar, namun ia sendiri tidak dapat ikut dengan mereka. Ia memberikan satu pasukan penjaganya untuk berjalan bersama Baltazhar dan Gaspar ke timur. Perjalanan yang tidak pasti. Perjalanan yang sama sekali tidak memiliki tujuan. Hanya mengejar sebuah bintang. Bintang yang bersinar terang di langit. Bintang Timur.

No comments: