Friday, December 14, 2007

Kisah Seorang Majus (Bagian III)


The Blindness, The Misery

Hatinya makin lama makin penuh racun. Racun dendam kematian ayahnya. Gaspar tidak mampu menahannya. Ia tidak lagi tersenyum ia tidak lagi tertawa. Ia terus berlatih pedang dan bertarung. Asgix seorang majus mengasuh Gaspar semenjak kematian Ayahnya. Asgix menemukannya di reruntuhan kerajaan Kasdopia. Asgix adalah seorang yang baik. Sebagai seorang pendeta majus, ia tidak terlalu terkenal dibanding kolega-koleganya. Ia memilih seperti itu. Malahan ia seperti dikucilkan. Ada kenangan pahit masa lampau yang membuatnya seperti itu.

Kini tinggallah dua orang dalam satu rumah, Asgix dan Gaspar, dan seorang lagi yang melayani Asgix. Ia adalah Parthon, seorang budak belian Asgix. Namun Ia tidak bisa juga dibilang budak, karena Asgix sering sekali mengajak dia berdiskusi, dan Parthon diperbolehkan menjawab oleh Asgix yang memang tidak terlalu memerdulikan aturan perbudakan. Sebenarnya Asgix yang sering berbicara sendiri, Parthon hanya sedikit-sedikit merespon Asgix. Ia tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan oleh Asgix.

Asgix adalah seorang majus. Di negeri itu pada zaman itu, pendeta majus adalah kedudukan yang terhormat. Banyak sekali nasib dari bangsa itu yang ditentukan oleh kebolehan para pendeta majus ini. Mereka memiliki pencatatan yang sangat lengkap mengenai perbintangan. Kedudukan bintang di satu titik langsung di catat mereka dan diperhatikan segala kejadian yang menyeriangi hal-hal tersebut. Mereka juga suka mengelompokkan bintang-bintang sehingga membentuk suatu bentuk, barang, hewan ataupun yang lainnya. Selain itu mereka juga mempelajari hal-hal aneh lainnya. Mereka mampu menghilang. Ada satu bola yang jikalau dibenturkan ke tanah langsung menghasilkan gas yang sangat memedihkan mata. Entah bagaimana mereka membuat itu.

Suatu kali pemimpin para pendeta majus itu memerintahkan raja besar persia untuk mengumpulkan bahan makanan di lumbung. Kekeringan besar akan datang selama setahun. Mereka juga memerintahkan raja untuk mengumpulkan air di suatu tempat yang sangat luas untuk kepentingan kemarau panjang ini. Raja pun melakukannya. Alhasil seluruh negeri tersebut mampu melewati kekeringan dahsyat itu. Pendeta majus itu mampu melihat hal tersebut melalui kedudukan bintang katanya. Semenjak itulah nama mereka mahsyur di hadapan sang raja.

Asgix sebenarnya senang bisa merawat cucu teman lamanya itu. Rambut dan janggutnya yang panjang membuat dia seakan lebih bijaksana dipandangan Gaspar. Banyak sekali hal-hal yang sangat baik dikatakan oleh Asgix. Namun, nampaknya hal tersebut tidak lagi mampu diterima Gaspar. Di hidup Gaspar hanya ada balas dendam sekarang ini. Setiap pulang berburu dan latihan pedang Asgix selalu membawa Gaspar keluar. Melihat bintang-bintang di langit dan Gaspar selalu menceritakan kisah tentang bintang-bintang tersebut.

”Kau lihat Gaspar di sebelah sana itu? Yang disebelah selatan itu. Itu adalah Angsa.” Asgix membantu. ”Aku sendiri yang menemukannya. Lihat, bentuknya indah sekali, lekukannya sempurna. Aku memanggilnya Angsa Surgawi”.

Gaspar mengikuti gerakan telunjuk Asgix. Gaspar suka melihat bintang-bintang berkelompok itu. Ia suka melihat bintang. Tapi ia lupa kenapa ia menyukai bintang. Ia lupa. Kepahitan dan rasa balas dendam yang ia pikirkan tiap saat membuat masa lalunya terkubur perlahan demi perlahan. Ia sudah seperti ayahnya sekarang. Muda, kuat, sangat kuat, buas dan beringas. Ia tidak lagi memiliki hati. Ia percaya hati dan rasa kasihan hanya akan membuat dia lemah.

”Gaspar, lihatlah kemari. Teruskanlah hidupmu, kejarlah keinginanmu, berkeluargalah, milikilah seorang wanita yang mampu menjagamu, jangan seperti ini terus. Tiap saat kau hanya memendam benci di hatimu. Itu tidak adil. Kau layak punya kehidupan sendiri. Lupakan dendam itu.”

Gaspar tidak menjawab. Ia hanya melangkah pergi menjauhi Asgix. Ia kesal setiap kali Asgix berkata seperti itu kepadanya. Ia merasa sepertinya Asgix tidak mendukung dia.

No comments: