Gaspar menjawab panggilan Raja besar Persia untuk berperang melawan pasukan Romawi. Memang pada masa itu peperangan makin sengit antara kedua kubu. Perjanjian antara Romawi dan Persia yang dulu pernah dibangun untuk membagi daerah kekuasaan nampaknya hanyalah tinggal perjanjian saja. Pada pelaksanaannya Romawi sudah keterlaluan. Mereka hampir menguasai seluruh Persia. Mereka bahkan terang-terangan berani mengancam Kerajaan Persia untuk urusan upeti. Romawi berhak mendapat bagian dari upeti-upeti tiap negara bagian yang masuk ke Kerajaan Persia. Karena itulah ketegangan antar kedua kubu makin memanas.
Gaspar sendiri memiliki tujuan lain menjawab panggilan Raja. Ia hanya ingin membalaskan dendamnya. Bahkan, setiap saat yang dia pikirkan hanya membalas dendam. Setiap tarikan napasnya adalah dendam. Dendam kepada Markus, sang pembunuh ayahnya, di depan matanya. Gaspar tumbuh dengan dendam tersebut. Sebentar saja Gaspar sudah masuk dalam hitungan pasukan berkuda. Pasukan tersebut adalah pasukan andalan untuk bangsa Persia. Gaspar memang tangguh, sama seperti ayahnya. Ia sangat tangguh. Ia pembunuh sejati, dan berdarah dingin. Rasa kasihannya sudah mati ketika ia melihat darah menyembul dari perut ayahnya. Ketika ia merasakan hembusan terakhir napas ayahnya.
Suatu perang besar akan terjadi. Hal itu tidak dapat lagi dielakan. Gaspar sudah menantikan perang ini seumur hidupnya. Pemimpin besar pasukan Romawi di Persia pasti akan turun. Pemimpinnya adalah Markus. Ini adalah kesempatan seumur hidup untuk Gaspar. Hari itu Gaspar harus membunuh Markus Aerilius. Gaspar harus membalaskan dendamnya dan terbebas selamanya. Ia juga sebenarnya ingin sekali keluar dari rasa dendam tersebut. Namun Ia tak bisa. Dendam itu sudah menyengatnya begitu dalam.
”Hari tersebut akan hujan lebat. Biarkan pasukan kita tidak mengenakan pakaian lengkap. Pakaikan mereka minyak agar licin dan tidak mudah di serang. Jangan biarkan mereka menggunakan kasut besi, biarkan mereka bertelanjang kaki”. Gaspar tiba-tiba bersuara di pertemuan itu. Pertemuan yang diadakan untuk membahas strategi perang besar melawan Romawi.
”Kita harus menghadang mereka di Mesopotamia. Di sana sangat berlumpur saat hujan besar itu tiba. Pasukan mereka akan sulit bergerak. Saat itulah kita akan menyerang mereka. Serang mereka dengan senjata rahasia kita, biar mereka makin terpojok. Giring mereka ke arah barat dan timur”.
”Maksudmu pecah mereka menjadi dua?” suara yang sangat berat memotong. Nadanya sangat bijak. Sepertinya ia berusaha memvisualisasikan apa yang dikatakan Gaspar.
”Mereka akan terpojok. Akan ada bukit di sebelah barat. Siapkan juga orang-orang kita di sana. Kita bisa menghabiskan mereka di sana”. Gaspar tidak menjawab. Ia hanya memberikan pandangan ke arah suara itu dan kemudian menunjuk ke arah lain. ”Sementara untuk yang satu lagi, tidak ada jalan lain. Kita harus mengerahkan banyak tenaga di sana”.
”Plok... plok... plok...” tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan. Tepuk tangan penghinaan. ”Dari mana kau tahu akan ada hujan lebat? Atau sangat lebat seperti yang kau bilang itu? Memangnya kau majus? Hahahahaha.... Jangan bermimpi anak muda.” Seluruh ruangan tertawa.
Hanya ada dua orang yang tidak tertawa. Yang satu Gaspar, dan yang satu lagi adalah pria itu, yang memotong Gaspar saat bicara. Itu adalah Raja besar Persia. Ia lebih mementingkan kerajaannya dari pada egonya. Saat itu dia memikirkan semua kemungkinan untuk menyelamatkan negerinya. Bahkan kalau saat itu pun ada seorang anak kecil yang memberikan usul untuk mereka semua pura-pura mati, ia akan memikirkannya.
”Panggilkan para Majus” sang raja memerintahkan.
Tiba-tiba seluruh ruangan hening. Air muka Gaspar berubah, yang tadinya kesal menjadi cerah. Ia yakin, Raja akan mengikuti usulnya.
Ruangan menjadi agak tegang. Terjadi pro dan kontra di tempat itu. Terutama jendral-jendral besar itu. Mereka merasa dilecehkan. Strategi dan usul mereka dengan segudang pengalaman mereka bisa jadi dimentahkan begitu saja. Kalau tadinya mereka membawa ide masing-masing untuk sang raja, kali ini mereka merasa: ide siapapun asal jangan anak ingusan tersebut.
Mata mereka mulai menjelajah Gaspar. Rambutnya yang panjang. Pakaian kulitnya. Pedangnya. Otot tubuhnya yang kuat sekaligus lentur. Brewoknya di sekitar mulut. Matanya yang tajam. Kasutnya. Kedua telapak kakinya yang tidak simetris terbuka. Kuda-kudanya yang selalu siaga.
”Lumayan”. Salah seorang bergumam.
Sebenarnya sangat lumayan. Anak ingusan itu masih sangat muda tetapi dia sudah sangat awas. Mereka masing-masing saja baru mencapai apa yang Gaspar capai ketika hampir berumur separuh baya. Namun Gaspar masih sangat muda. Tapi tetap saja, ego para Jendral itu lebih tinggi dari akal sehat mereka.
Raja menengok sesaat dan mengamati seluruh ruangan yang sedang mengamati Gaspar. Ia bisa merasakan ego yang saling bertarung di tempat itu. Sebenarnya Ia ingin sekali menyelesaikan itu; dengan memberikan penjelasan bahwa ide yang menyelamatkan negaralah yang akan dipilih, untuk bangsa, bukan ego seseorang semata. Tapi Raja terlalu letih untuk melakukan itu. Ia lebih memilih kembali membaca strategi-strategi itu sampai pendeta-pendeta majus itu datang.
”Kami Majus menghadap Raja”. Tiga orang masuk ke dalam ruangan dan sedikit membungkuk.
Kepalanya menunduk tapi hatinya tidak. Raja tahu hal itu. Dua orang dari mereka sudah tua, berjanggut putih dan panjang, sementara yang seorang lagi masih sangat muda. Yang tua berpakaian sangat gemerlap. Dengan kain perca nan indah khas Persia, dan pernak-pernik perhiasan mutiara laut yang menempel di jubah mereka tersebut. Sementara yang lebih muda berpakaian lebih sederhana. Ia membawa buku besar berisi catatan-catatan perbintangan, cuaca dan alam.
”Katakan kepadaku pendeta, 30 hari dari sekarang, akankah hujan lebat melanda Mesopotamia?”
Kedua pendeta itu tersedak mendengar pertanyaan itu. Itu bukanlah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Pertanyaan itu sangat spesifik. Sementara yang satu lagi sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk memperhatikan orang baru di depannya itu. Itu adalah Gaspar. Ia yakin mengenal pahlawan yang satu ini. Tapi ia tidak berani menanyakannya di tempat itu. Ia merasa sangat aneh jikalau hal itu terjadi. Di depan raja dan para jendral-jendral tua. Juga di depan gurunya.
Bagaimana kalau jawabannya salah? Ia tidak mau mengambil resiko itu.
Sang pendeta melirik sebentar ke arah Gaspar dan berkata: ”Saya sudah mendengar sedikit apa yang terjadi di pertemuan ini tadi selama di perjalanan. Mempertaruhkan nasib negara di atas kemungkinan-kemungkinan adalah kurang bijak. Saya bukannya bilang mustahil, tetapi ada juga kemungkinan. Namun peluang itu sangat kecil”. Kali ini ia berjalan mengitari ruangan. Selanjutnya ia mulai menjelaskan bahwa masa itu adalah masa kering di Mesopotamia, kemungkinannya sangat kecil untuk hujan. Kemudian Ia menerangkan kedudukan bintang, angin yang bertiup, dan sebagainya, yang tidak lagi dapat dimengerti Raja.
”Jadi, kemanakah arah jawabanmu pendeta?” Raja memotong dengan sedikit nada gusar.
Ia senang melakukanya.
Pendeta majus itu tiba-tiba merasa tertekan.
Ia tidak mampu menjawab pertanyaan Raja. Sebenarnya ada satu orang yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Asgix. Mantan pemimpin para pendeta majus. Tapi tentu saja ia tidak akan mau merendahkan dirinya dengan bertanya kepada Asgix.
”Gaspar!”, tiba-tiba lelaki muda itu bergumam. Ia berhasil mengenali pria muda itu. “Iya, kau Gaspar kan?” Kali ini dengan suara sedang ia bertanya.
Semua orang terperanjat. Gaspar. Anak dari Margot. Raja Perkasa dari Kasdopia. Semua orang tahu apa yang terjadi pada Ayahnya. Semua orang tahu mengenai dendamnya. Dan yang terpenting, Asmigar, pendeta majus itu tau Gaspar diasuh oleh Asgix sejak kecil. Semua benar-benar terperanjat.
”Iya Baltazhar, ini aku” Gaspar menjawab dengan tenang, seraya menyambut jabat tangan teman lamanya itu.
Mereka berdua dulu, suka berburu bintang saat kecil. Mereka suka menamai bintang-bintang. Mereka suka mengganggu para pendeta majus, dan suka sekali bermain-main dengan mereka. Gaspar dan Baltazhar memang sahabat sejati dahulu. Mereka dipersatukan oleh bintang. Minat mereka berdua memang sama. Mereka sama-sama ingin menjadi kawanan majus. Namun tentu saja Gaspar harus mengikuti jejak ayahnya, sementara Baltazhar dapat dengan mudah memasuki perguruan majus.
”Tetapi baginda, bisa saja, Domara terjadi”. Baltazhar berbalik arah. ”Domara, badai besar yang terjadi satu abad satu kali. Besar, sangat besar. Badai ini datang di musim kering. Saat matahari sangat menyengat dan saat angin sangat kering. Saat
si bintang merah bersinar di langit sebelah tenggara, dan saat
si nyala redup bernyala amat terang di utara. Tertulis di buku besar. Badai ini sanggup membuat gurun kering mesopotamia menjadi sangat berlumpur.”
Baltazhar tidak pernah menentang Asmigar. Tapi kali ini ia melakukannya.
Ia melakukannya dengan sengaja. Untuk sahabat lamanya. Untuk majus yang sesungguhnya. Pekerjaan yang berjasa untuk bangsa persia.
”Kalau begitu mari siapkan semuanya. Kita hancurkan Romawi keparat itu” Raja berseru dengan garang.
Semua juga nampaknya sudah setuju. Nama besar Margot dan Asgix memang sangat diakui oleh berbagai pihak. Juga oleh Jendral-Jendral besar itu. Kini kedua darah itu melekat pada seorang pria bernama Gaspar. Gaspar tersenyum.
Selangkah lagi sebelum membalas dendam, selangkah lagi.