Thursday, October 14, 2010

Suatu Waktu Di Masa Lalu

Aku menendang ayunan itu,

braak...

Hingga mengeluarkan bunyi yang sangat keras. Di dalamnya ada seorang bayi. Bayiku. Hasil perbuatanku dengan kekasihku. Atau mungkin, mantan kekasihku.

Hatiku sakit. Setiap malam aku mendengar tangisan bayi itu, hatiku sakit. Teriris dengan pedih. Aku benci sebenci-bencinya kepada Ibu dari anak itu. Kenapa Ia dengan tega meninggalkan anak ini di sini.

Kenapa dia begitu saja merelakan tanggung jawab semuanya kepadaku?

Apalah aku? Aku hanya seorang tukang becak. Aku tak mampu untuk membeli susu anak ini. Setiap hari aku harus membawakan susu untuk anak ini. Kuat sekali dia minum susu.

Malam itu aku sudah tidak tahan lagi. Aku seperti kesetanan. Hatiku sudah sangat sakit, perih dan luka. Tak sadar aku menendang bayi itu. Ia jatuh terguling-guling hingga pintu depan. Belum berhenti sampai di situ, Ia terus terguling ke beberapa anak tangga di pintu depan. Umurnya baru 6 bulan. Kepalanya terbentur di setiap anak tangga. Sampai akhirnya anak itu berhenti terguling. Masih dibalut dengan kain seadanya.

Matilah. Pecah sudah kepala anak itu.

Aku bingung antara menyesal atau tidak melakukan hal itu kepada anak itu. Pelan-pelan aku kembali mengambilnya dan aku letakkan di tempat tidur. Ia menangis sangat keras. Aku tak tahan, aku memilih pergi dari tempat itu.

Malam itu aku keluar, berjalan di sepanjang kegelapan. Bukan lagi hanya jalan yang gelap, melainkan hatiku juga sudah gelap. Akal sehatku sudah mati, aku tidak tahu lagi bagaimana harus bertahan. Aku tidak tahu kemana lagi harus meminta pertolongan. Kedua orang tuaku juga orang miskin. Hidup pas-pasan. Aku tak mungkin meminta dari mereka. Aku harus berusaha sendiri.

Ya Ilah, apa yang harus aku lakukan?
Ini semua memang salahku. Dosa kemudaan memang pembual. Setan memang pembual. Ia merayuku, untuk melakukan semuanya itu. Aku memang seperti di atas angin waktu itu. Aku baru saja menyelesaikan sekolah tingkat atasku. Tidak ada satupun dari keluargaku yang seberhasil aku. Saat ini aku sudah bekerja di Jakarta. Punya gaji, punya kehidupan. Punya pacar yang baik dan aku siap menikahinya.

Sampai suatu saat datang wanita ini. Dia selalu menghinaku. Katanya aku hanya seorang Cleaning Service. Tidak akan mau wanita terhormat seperti aku, dengan seorang Cleaning Service.

Aku merasa sangat tertantang. Aku harus mendapatkan dia.

Aku berusaha mendekatinya. Aku mengerahkan segala cara untuk mendekatinya. Sampai akhirnya Ia jatuh juga kepelukanku. Dan sejujurnya, aku juga, jatuh kepelukannya. Hidup menjadi sangat indah waktu itu. Semua seperti berwarna. Sembunyi-sembunyi kami bermesraan. Kami mulai melangkah lebih jauh, kami mulai bercumbu. Bahkan kami melakukan yang lebih dari itu.

Semua sangat indah waktu itu. Seperti berada di surga. Bersama dengan orang yang aku cintai aku menjalani dunia ini. Sampai akhirnya kalimat itu keluar dari mulutnya:

Aku terlambat.

Runtuh rasanya duniaku. Tiba-tiba, duniaku langsung terbalik. Surgaku berubah menjadi neraka.

Bagimana dengan orang tua dia?
Aku harus bagaimana?
Apakah aku harus pergi? Atau bertanggung jawab?
Bagaimana dengan masalah pekerjaan?
Bagaimana dengan masalah kepercayaan?

Pertanyaan itu berulang-ulang di kepalaku. Dan bertambah-tambah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Mana mungkin keluarganya akan menerimaku?
Aku hanya seorang Cleaning Service. Mereka orang terhormat.
Apa yang bisa kuberikan kepada mereka? Gajiku tidak cukup.

Pertanyaan itu terus terputar tak mengenal waktu. Aku shocked berat. Ditambah lagi kekasihku memintaku menyiapkan dana berpuluh-puluh juta untuk meminangnya. Aku gak punya apa-apa. Aku hanya punya 1 juta. Tapi apa gunanya lah itu. Aku black out. Semua hidupku berasa seperti kemelut. Tak ada jalan keluar. Semua buntu. Aku selalu termenung.

Hingga suatu hari aku dipanggil bosku. Katanya aku di-skors sampai waktu yang tidak ditentukan. Seketika itu juga aku naik pitam.

Kalau mau pecat bilang aja, gak usah pake digantungin begini!!!

Aku mendatanginya seraya ingin menghabisinya. Aku kalap. Untung banyak orang-orang lain di sana yang merelai. Aku pergi dengan kemarahan. Dan menendang sana-sini dalam amarah.

Habis sudah. Semuanya habis. Tak punya apa-apa. Kehilangan pekerjaan. Habis sudah.

Malam itu akhirnya aku memutuskan untuk meneriwa tawaran temanku. Belum pernah aku melakukan ini sebelumnya. Aku terdesak. Aku terpaksa melakukannya.

Esok malamnya aku bersiap-siap. Ibuku sempat bertanya:

Ibu: Mau kemana?
Aku: Udah bu, doakan saja supaya selamat.
Ibu: Mau kemana?
Aku: Udah bu, doakan saja supaya saya selamat.

Aku menyiapkan semua peralatanku. Motor hasil sewaan juga sudah siap. Aku mengendarainya. Aku masih setengah-setengah. Sesekali aku berhenti, dan memutuskan untuk mundur. Kemudian aku kembali mengingat anakku. Aku harus melakukannya. Demi anakku.

Akhirnya aku sampai di depan rumah itu. Untuk ukuran rumah-rumah di kampung, rumah ini termasuk rumah gedongan. Maklum, almarhum pemilik rumah ini dulu perwira.

Aku ambil tang-ku, aku congkel pintunya.
Tidak terlalu sukar, aku sudah biasa melakukannya.
Kemudian, aku ambil kawat, aku buka kuncinya.
Juga tidak terlalu sulit.

Tidak ada lagi yang kupikirkan. Aku hanya melakukannya.

Sampai akhirnya semua terbuka. Aku melangkah masuk.
Tiba-tiba lampu menyala dan wanita itu, janda dari sang perwira berdiri tepat di depanku.

Beberapa lama kami saling bertatap-tatapan. Aku kalut setengah mati. Aku tidak menduga kejadian seperti ini akan terjadi.

Ia berteriak sangat keras. Keras sekali. Aku memukulnya tepat diperut. Ia terhuyung-huyung sebentar. Kemudian Ia berteriak lagi. Kali ini bahkan lebih keras. Aku kalap. Aku bingung. Yang terbayang kepadaku bagaimana kalau seluruh warga datang dan membinasakanku. Kemudian kejadian itu terjadi. Aku menusuk leher bagian kanannya dengan belati yang aku bawa. Clluuk... Bunyi belati yang tajam beradu dengan kulit lehernya. Ia terdiam. Darah mengalir dari lehernya, dan membasahi bagian ujung dari belati tersebut. Darah itu kemudian mengalir lebih deras dan menetes ke lantai.

Aku tak tahan melihatnya. Aku kemudian pergi ke kotak obat dan mengambil kapas, alkohol dan perban. Rumah sakit tempat ku bekerja mengajarkanku sedikit tentang hal ini. Kemudian aku merawatnya. Membersihkan lukanya. Menyapunya dengan alkohol. Dan memasangkan perban di lehernya.

Kemudian aku bicara kepadanya. Aku berbohong. Aku bilang aku menagih utang pacar dari Janda itu. Jadi aku meminta ganti rugi kepadanya secara langsung. Karena pacarnya telah kabur. Aku beralasan.

Aku meminta seluruh perhiasannya. Aku meminta barang-barangnya yang lain. Anehnya, Dia setuju. Bahkan Dia dengan rela ikut mengantarkanku ke luar. Ke depan gang, tempat motor sewaanku berada.

Akh, sial sekali aku. Ketika aku berjalan mendahului dia, tukang-tukang ojeg sedang mangkal tidak jauh dari motorku itu. Kala itu sudah jam 3 pagi. Aneh sekali. Seorang Janda membawa barang-barang keluar dari rumahnya. Bersama aku, orang yang tidak di kenal di Kampung itu. Dan ada bekas luka perban di lehernya.

Matilah aku. Dalam hatiku.

Sedikit saja Ia berteriak. Habis sudah nyawaku. Aku teringat dengan ucapan Ibuku ketika aku berangkat tadi. Aku memohon didoakan supaya selamat.

Ternyata inilah akhir hidupku. Inilah jalan kematianku. Habis sudah jalan hidupku di sini.

Langkahku gontai. Tidak ada lagi gairah dalam diriku. Bahkan ketika aku sampai di motor sewaanku aku sudah siap untuk dihabisi orang-orang.

Namun, nampaknya Surga masih memihakku.

Janda itu sama sekali tidak teriak. Ia bahkan membantuku merapihkan barang-barang itu di atas motorku. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tukang-tukang Ojeg yang mangkal itu pun tidak curiga. Padahal aku membawa begitu banyak kardus-kardus berisi barang-barang. Bahkan mereka tidak mendekat untuk bertanya. Aku tak tahu kenapa.

Kemudian aku siap berangkat. Kakiku masih lemas. Aku takut kalau-kalau Wanita itu berubah pikiran dan kemudian berteriak. Aku menjalankan motorku dengan pelan. Tanpa rasa, tanpa gairah. Habis sudah hidupku ku pikir.

Dalam kegelapan aku mengendarai motor. Sepuluh meter pertama terlewati. Dua puluh meter pertama. Wanita itu masih belum berteriak. Aku menoleh ke belakang Ia masih berdiri di sana sebentar melihat ke arahku. Entah apa yang ada dipikirannya.

Sampai akhirnya lampu jalan itu sudah tidak terlihat lagi. Hanya aku dan motor sewaanku, perhiasan-perhiasan itu, dan barang-barang yang kurampok dari rumah Wanita itu. Nampaknya wanita itu sama sekali tidak teriak. Bahkan sepertinya Ia melepasku pergi begitu saja.

Surga masih dipihakku, kupikir.
**********************************************************


Malam ini, aku bermain dengan anakku. Di rumah yang sangat besar. Bahkan lebih besar dari saksi kejahatanku dahulu. Aku bermain dengan anakku dan adiknya. Kami berlarian, berkejar-kejaran di-sofa. Sementara Ibu kandung dari anakku sedang berbincang-bincang dengan saudaranya di depan televisi.

Aku sangat bersyukur malam ini. Surga masih dipihakku. Tuhan telah menjadikan semuanya baik. Teramat baik. Untukku dan keluargaku. Berkat-berkatnya melimpah ruah dalam keluargaku. Sekarang aku berkecukupan. Tidak kaya, namun cukup.

Aku mampu membelikan apa yang diinginkan oleh anak-anakku. Dahulu, aku harus kena tendang dan pukulan-pukulan dari Ayahku karena aku memberanikan diri meminta Tahu Gejrot. Sekali-sekalinya dalam hidupku aku meminta. Sekali itu dalam hidupku, aku ingin seperti anak-anak normal lain pada umumnya. Membeli jajan. Aku mencoba meminta jajan pada Ayahku, namun yang ku terima adalah tendangan tepat di dadaku. Dan aku terpental hingga 2 meter ke belakang.

Masa itu sudah lewat. Terima kasih Tuhan sudah memberikan kami berkat berkecukupan.

Surga masih dipihakku.



-Dari suatu sumber-

2 comments:

ira said...

dari sumber mana ini, bang?

seram kali..

Unknown said...

I see this lovely, instead.