Wednesday, February 28, 2007

What a reality

Ngeri juga kalo ngomongin masalah realita di dunia ini

Kisahnya, kemaren gua pulang dari Jakarta. Tepatnya minggu malam, 25 Februari 2007. Gua ambil kereta jam 14.25 dari Gambir. Pas nyampe Bandung ternyata hujan. Untung gua bawa payung. Payung berwarna merah yang gua beli di Xiamen. Gua berhenti bentar karena lapar, beli gorengan. Mmm...hangat.

Di angkot menuju mess kantor (St. Hall-Gd Bage) gua bersama dengan seorang Bapak dan seorang Ibu duduk di belakang. Kami nggak saling mengenal satu sama lain. Namun kami memilih hubungan singkat untuk membicarakan hal-hal yang tidak dalam. Pembicaraan dimulai dari Ibu tersebut yang menanyakan arah, cuaca Bandung, dsb. Waktu itu gua lebih memilih mengenakan handsfree HP gua dan mendengarkan musik sepanjang jalan. Namun, dengan
sedikit membaca gerak bibir dan suara dB rendah yang masuk ditelinga gua, gua bisa menerka apa yang mereka bicarakan.

Tadinya gua gak perduli dengan pembicaraan mereka, sampai tiba-tiba di suatu perempatan lampu merah, seorang pengamen wanita cilik mampir ke angkot kami. Dia melantunkan sebuah lagu dan si Ibu langsung memberi dia selembar uang Rp.1000,- seraya tersenyum. Kemudian Bapak itu angkat bicara.

Bapak : "Kesian yah anak-anak itu"
Ibu : "Iyah, Ibunya pada kemana itu"
Bapak : "Ibu atau Kakaknya mah dipinggir jalan Ibu, tuh di situ (sambil menunjuk). Nti uangnya langsung diambil ama Kakaknya, terus kalo kurang adiknya itu dipukuli. Saya sering tuh berdiri di sana, jadi ngeliatin. Gak perduli cowo atau cewe dipukulin juga"
Ibu : Oh gitu pak...
Bapak : Iya...

Kemudian keadaan mengening sesaat. Sebenarnya kebenaran itu udah gua tau dari lama, makanya gua gak mau ngasih uang ke anak-anak jalanan itu. Paling kalo gua lagi pegang makanan, ya gua kasih makanan itu. Tapi gua tertarik aja mendengar pembicaraan mereka tentang anak jalanan tadi. Gua lepasin deh Handsfree gua sambil memberikan gestur-gestur yang mengisyaratkan gua siap ambil bagian dalam pembicaraan. Tiba-tiba hujan tambah deras dan suara kedua orang tadi makin mengecil. Akhirnya keheningan kami tenggelam bersama suara deru hujan yang gede banget (Kayak hujan di Jakarta yang bikin banjir kemaren).

Tiba-tiba gua liat lagi, realita yang sebenarnya. Seorang pengamen cilik di perempatan lampu merah. Hujan bener-bener deres banget dan dia menggigil kedinginan. Dia menari-nari kecil sambil tanpa sadar dirinya bergetar. Dia mengenakan kaos garis-garis dan celana pendek berwarna coklat. Bermodalkan "kecrekan" dia melantunkan sebuah lagu. Belom selesai dia menyanyi di mobil kami, sebuah mobil sedan di samping angkot kami maju sedikit dan dari dalam kaca sebuah tangan terulur menggenggam-lagi-selembar Rp.1000,-. Setelah mengambil pemberian itu, adik cilik itu kembali lagi ke pinggir jalan.

Hyuuh... gua menghela napas melihat keberadaannya. Bukan hanya keadaan fisiknya saat itu, melainkan apa yang ada dibenaknya. Gua ngelihat bahwa sepertinya dia tahu apa yang dilakukan (setidaknya menurut dia). Dia paham betul bahwa dia harus melakukannya, ngamen di malam hari hujan seperti itu. Padahal malam dingin sekali waktu itu. Tapi gua yakin, dia merasa dia harus melakukannya. Makanya dia menari-nari kecil untuk menyemangati dirinya. Tidak ada lagi senyum gua temukan tersungging dibibirnya. Dia hanya mencoba melakukan bagiannya. Itulah yang membuat gua sangat sedih. Gambaran itu masih terekam jelas di kepala gua belakangan ini. Ah... andai saja gua bisa mengambil gambarnya saat itu, niscaya banyak orang tersentuh.

Sambil angkot itu berlalu di lampu hijau, gua menengok ke sudut-sudut lampu merah itu. Benar kata Bapak tadi. Ada Kakak yang sedang menunggu berteduh di pinggir swalayan sana. Dan kemudian gua hanya bisa tersenyum-senyum;pedih;melihat kenyataan itu.

No comments: