Baru-baru ini aku memutuskan untuk mendaftar di sebuah Klub Fitnes. Pasalnya, Olah Raga adalah sesuatu yang sangat jarang aku lakukan semenjak aku pindah ke Jakarta. Dahulu, waktu masih di Bandung, Fitnes ataupun Jogging adalah rutin aku lakukan demi menjaga vitalitas tubuh. Namun semenjak di Jakarta, hal itu menjadi begitu jarang.
Banyak faktor yang membuat aku enggan atau malas berolah raga. Jakarta, adalah kota yang padat dan macet. Tak ayal, ketika seseorang pulang dari kantor, lebih memilih beristirahat di rumah dari pada mesti melakukan kegiatan lainnya. Bayangkan saja, seseorang bisa berada di Jalan sampai dengan 2 atau 3 jam. Keletihan di jalan, dan bawaannya ingin rileks dan santai. Faktor lainnya adalah waktu kerja yang tidak beraturan. Kadang harus kerja di jam kerja normal, kadang mesti kerja malam.
Akhirnya setelah menimbang-nimbang bahwa kehidupanku ini seperti stuck, hidup enggan, mati enggan, makanya aku memutuskan untuk kembali berolah raga. Sekalian mengikuti Klub yang mahal, sehingga merasa sayang atau rugi kalau jarang datang.
Ternyata hal itu lumayan berhasil. Sedikit banyak aku dipaksa untuk berolah raga.
Mindset orang fitnes adalah untuk membentuk otot, memperbaiki postur tubuh, dsb. Sementara kalau aku belum ke arah sana. Hanya ingin mengembalikan vitalitas tubuh, kebugaran dan kesehatan. Lumayan, semua lemak sepertinya terbakar. Dan sekarang sedang bertekad untuk membasmi lemak yang sudah menebal di sayap perut kanan dan kiri. Hihihihi.
Ternyata mau sehat saja susah. Semudah kita meracuni tubuh kita dengan makanan apapun, sesukar itu juga kita berusaha untuk menawar racun-racun tersebut dengan berolah raga.
Let's get in on!!
Saturday, September 25, 2010
Thursday, September 16, 2010
Menggubah Lagu: Haleluya, Syukur BagiMu
Sedang mencoba-coba menciptakan choral work, suatu karya yang hanya akan dimainkan dengan instrumen vokal manusia.
Liriknya sebagai berikut:
Karya ini aku ciptakan sebagai rasa syukur yang mendalam betapa Allah selalu ada dalam hidupku. Sekalipun aku sering mendukakan hatiNya.
Lagu ini terdiri dari 4 bagian. Bagian pertama adalah pembuka dan sekaligus juga penutupnya. Bunyi yang ingin terdengar dibagian pertama ini adalah: do re mi fa sol fa, fa mi do mi re do. Selanjutnya adalah bagian sahut-sahutan Alto dan Bass, kemudian sahut-sahutan Sopran 1, Sopran 2, Alto + Bass, dan ditutup oleh powerful Tenor.
Bagian ketiga adalah puncak dari lagunya. Bar ke-14 sampai dengan Bar ke-25. Bar-26 merupakan bagian yang harus dinyanyikan dengan kuat, sehingga menimbulkan perubahan efek yang drastis untuk bagian selanjutnya (bagian ke-4). Bagian ke-4 adalah bagian Allegro. Seluruh penyanyi harus bisa merasakan dan menyanyikan beat yang diminta di lagu ini. Dimulai dari messo forte Alto + Tenor + Sopran 2, kemudian disusul oleh Bass. Ketika Bass mulai masuk Alto + Tenor + Sopran 2 harus mengecil. Kemudian disusul oleh Sopran 1.
Diharapkan komposisi ini bisa menampilkan keindahan sekaligus sukacita hidup di dalam Tuhan kita Yesus Kristus. Dan tentunya menyentuh hati banyak orang. Tuhan Yesus memberkati.
PS: Bagi choral lovers yang ingin mencoba lagu ini, dapat meminta .pdf-nya kepada saya secara Japri melalui sahathutajulubo@yahoo.com.
Sebagai gantinya, mohon dikirimkan hasil rekaman dari lagu ini sebagai feedback untuk perbaikan. Terima kasih.
Liriknya sebagai berikut:
Haleluya, haleluya
Syukur bagi namaMu yang Kudus dan Mulia
S'bab Kau baik dalam hidupku
Tak pernah Kau meninggalkanku s'panjang umur hidupku
Kau tetap setia menjaga diriku
Dan ku kan bernyanyi:
Haleluya, Sukacita dalam Tuhan.
Haleluya, haleluya.
Karya ini aku ciptakan sebagai rasa syukur yang mendalam betapa Allah selalu ada dalam hidupku. Sekalipun aku sering mendukakan hatiNya.
Lagu ini terdiri dari 4 bagian. Bagian pertama adalah pembuka dan sekaligus juga penutupnya. Bunyi yang ingin terdengar dibagian pertama ini adalah: do re mi fa sol fa, fa mi do mi re do. Selanjutnya adalah bagian sahut-sahutan Alto dan Bass, kemudian sahut-sahutan Sopran 1, Sopran 2, Alto + Bass, dan ditutup oleh powerful Tenor.
Bagian ketiga adalah puncak dari lagunya. Bar ke-14 sampai dengan Bar ke-25. Bar-26 merupakan bagian yang harus dinyanyikan dengan kuat, sehingga menimbulkan perubahan efek yang drastis untuk bagian selanjutnya (bagian ke-4). Bagian ke-4 adalah bagian Allegro. Seluruh penyanyi harus bisa merasakan dan menyanyikan beat yang diminta di lagu ini. Dimulai dari messo forte Alto + Tenor + Sopran 2, kemudian disusul oleh Bass. Ketika Bass mulai masuk Alto + Tenor + Sopran 2 harus mengecil. Kemudian disusul oleh Sopran 1.
Diharapkan komposisi ini bisa menampilkan keindahan sekaligus sukacita hidup di dalam Tuhan kita Yesus Kristus. Dan tentunya menyentuh hati banyak orang. Tuhan Yesus memberkati.
PS: Bagi choral lovers yang ingin mencoba lagu ini, dapat meminta .pdf-nya kepada saya secara Japri melalui sahathutajulubo@yahoo.com.
Sebagai gantinya, mohon dikirimkan hasil rekaman dari lagu ini sebagai feedback untuk perbaikan. Terima kasih.
Tuesday, September 14, 2010
Kemarahan
Peristiwa penusukan anggota Majelis HKBP Ciketing dan penganiayaan Pendeta yang baru-baru ini terjadi, sedikit banyak telah mengusik diri gua.
Here's the point:
Setinggi-tinggi apapun gua sekolah, sebijak apapun gua mencoba menahan diri, tetap saja jiwa bestiality gua keluar.
Sebenarnya tulisan berikut sih, tidak membahas mengenai penusukan dan penganiayaan tersebut, tetapi lebih kepada penguasaan diri dan hakikat dari seorang manusia itu sendiri (berat benerrr nih tulisan).
Faktanya, dalam diri seseorang tersebut sebenarnya terpendam suatu nilai-nilai ideologis yang mengakar begitu dalam, sehingga sedikit saja nilai-nilai ideologis itu terusik, langsung! seolah-olah membangunkan seekor Singa.
Kadang gua berpikir, pikiran manusia itu kan sebenarnya sangat fleksibel yah, bisa seluas jagat raya, bisa mengecil seperti titik berwarna hitam. Bagaimana kalau sisi nilai-nilai ideologis tersebut secara berkala dan teratur diusik, dengan penambahan intensitas pada metode peng-usik-an tersebut. Niscaya, hal tersebut akan dianggap biasa dan normal oleh manusia itu sendiri. Perlahan, dan tidak sadar.
Artinya, dalam suatu kondisi lingkungan yang biasa mengusik nilai-nilai ideologis tersebut, respon dari seseorang tidak akan menjadi sangat ekstrim, sementara pada kondisi lingkungan yang biasanya tenang (minim pengusikan) hampir dipastikan terdapat lompatan respon yang ekstrim.
Di negara-negara barat, dengan budaya yang ceplas-ceplos, nampaknya masalah pengusikan ini sering terjadi. Tentunya untuk hal hakiki masing-masing personal yang berbeda-beda. Mungkin Agama, mungkin juga keluarga, mungkin ideologi, dsb. Nah, karena keseringan tersebut, sehingga respon pengusikan-pengusikan yang lain tidak terlalu ekstrim. Sementara di negara-negara yang sarat dengan sopan santun, pengusikan malah membawa kepada respon ekstrim "kiamat kecil".
Kesimpulannya, pengusikan terhadap diri ideologis dan kenyamanan seseorang, sebenarnya perlu dilakukan. Dalam kadar dan ukuran yang tepat. Menjaga-jaga, sehingga tidak terjadi ledakan ekstrim dalam diri seseorang tersebut. Hal ini juga akan membawa seseorang menjadi lebih down to earth.
Bagaimana dengan pengusikan kelompok orang dalam skala yang lebih besar? Tentunya, pengusikan juga harus dilakukan kepada kelompok tersebut. Namun, tentunya harus disertai dengan kesadaran bersama, bahwa pengusikan tersebut berakhir pada efek yang lebih baik. Sebagai contoh misalnya "kritik" pada suatu anggota tertentu. Tidak ada masalah dengan melayangkan kritik. Saya pikir, kritik adalah salah satu bentuk pengusikan yang dapat diterima oleh semua orang.
Here's the point:
Setinggi-tinggi apapun gua sekolah, sebijak apapun gua mencoba menahan diri, tetap saja jiwa bestiality gua keluar.
Sebenarnya tulisan berikut sih, tidak membahas mengenai penusukan dan penganiayaan tersebut, tetapi lebih kepada penguasaan diri dan hakikat dari seorang manusia itu sendiri (berat benerrr nih tulisan).
Faktanya, dalam diri seseorang tersebut sebenarnya terpendam suatu nilai-nilai ideologis yang mengakar begitu dalam, sehingga sedikit saja nilai-nilai ideologis itu terusik, langsung! seolah-olah membangunkan seekor Singa.
Kadang gua berpikir, pikiran manusia itu kan sebenarnya sangat fleksibel yah, bisa seluas jagat raya, bisa mengecil seperti titik berwarna hitam. Bagaimana kalau sisi nilai-nilai ideologis tersebut secara berkala dan teratur diusik, dengan penambahan intensitas pada metode peng-usik-an tersebut. Niscaya, hal tersebut akan dianggap biasa dan normal oleh manusia itu sendiri. Perlahan, dan tidak sadar.
Artinya, dalam suatu kondisi lingkungan yang biasa mengusik nilai-nilai ideologis tersebut, respon dari seseorang tidak akan menjadi sangat ekstrim, sementara pada kondisi lingkungan yang biasanya tenang (minim pengusikan) hampir dipastikan terdapat lompatan respon yang ekstrim.
Di negara-negara barat, dengan budaya yang ceplas-ceplos, nampaknya masalah pengusikan ini sering terjadi. Tentunya untuk hal hakiki masing-masing personal yang berbeda-beda. Mungkin Agama, mungkin juga keluarga, mungkin ideologi, dsb. Nah, karena keseringan tersebut, sehingga respon pengusikan-pengusikan yang lain tidak terlalu ekstrim. Sementara di negara-negara yang sarat dengan sopan santun, pengusikan malah membawa kepada respon ekstrim "kiamat kecil".
Kesimpulannya, pengusikan terhadap diri ideologis dan kenyamanan seseorang, sebenarnya perlu dilakukan. Dalam kadar dan ukuran yang tepat. Menjaga-jaga, sehingga tidak terjadi ledakan ekstrim dalam diri seseorang tersebut. Hal ini juga akan membawa seseorang menjadi lebih down to earth.
Bagaimana dengan pengusikan kelompok orang dalam skala yang lebih besar? Tentunya, pengusikan juga harus dilakukan kepada kelompok tersebut. Namun, tentunya harus disertai dengan kesadaran bersama, bahwa pengusikan tersebut berakhir pada efek yang lebih baik. Sebagai contoh misalnya "kritik" pada suatu anggota tertentu. Tidak ada masalah dengan melayangkan kritik. Saya pikir, kritik adalah salah satu bentuk pengusikan yang dapat diterima oleh semua orang.
Wednesday, September 01, 2010
There I Was
There I was..
stood before the altar, hold tight my microphone;
the moving lamps were everywhere, flew easily accross the room.
Church room.
Then I sung my first tone. That's it. It happened, and I could not turn back. I must went through to praise and worship the Lord, that entire long night.
Only one thing blew on my mind that time: how all of us can feel the new dimension of Praise and Worship, the new atmosfer and the real humble heart in worshipping the Lord.
I did my best. What I did was, to praise God it self in honesty, in Spirit and in truth.
I liked it. How the church people responded the way of our act in worshipping the Lord. They had their own style, and I fully understand it. It doesn't matter how you look in worshipping the Lord, it just need to come out from your deepest heart.
Remind me once again, who must had the night, except Lord Jesus, King of King and Lord of Lord.
Oh gosh, that was not what I saw. He was abandoned, and I felt really sad about it. Some famous artists, who happended to came very late, had the high chair that night. The offering was damaged and ruined. All did was to wait for those famous artists, and more programs added to wait them.
Even, the special song, which never been written before, played, so that the famous artist could sang, so that she can please people church, and no ticket will be returned because of disappointment of audiences.
For some people, it was a great way, to save the night.
For me, it was the way to abandoned The Lord, and replaced Him with those famous artists.
New graven image was borned that night.
I was really sad about it, and I still am.
stood before the altar, hold tight my microphone;
the moving lamps were everywhere, flew easily accross the room.
Church room.
Then I sung my first tone. That's it. It happened, and I could not turn back. I must went through to praise and worship the Lord, that entire long night.
Only one thing blew on my mind that time: how all of us can feel the new dimension of Praise and Worship, the new atmosfer and the real humble heart in worshipping the Lord.
I did my best. What I did was, to praise God it self in honesty, in Spirit and in truth.
I liked it. How the church people responded the way of our act in worshipping the Lord. They had their own style, and I fully understand it. It doesn't matter how you look in worshipping the Lord, it just need to come out from your deepest heart.
Remind me once again, who must had the night, except Lord Jesus, King of King and Lord of Lord.
Oh gosh, that was not what I saw. He was abandoned, and I felt really sad about it. Some famous artists, who happended to came very late, had the high chair that night. The offering was damaged and ruined. All did was to wait for those famous artists, and more programs added to wait them.
Even, the special song, which never been written before, played, so that the famous artist could sang, so that she can please people church, and no ticket will be returned because of disappointment of audiences.
For some people, it was a great way, to save the night.
For me, it was the way to abandoned The Lord, and replaced Him with those famous artists.
New graven image was borned that night.
I was really sad about it, and I still am.
Lagi gak jelas
Terkadang bingung juga, dan bertanya-tanya:
Hmm... untuk beberapa orang, pertanyaan ini memang menjadi suatu pertanyaan yang sangat bodoh. Namun, untuk orang yang seperti gundah sepertiku, nampaknya hal ini menjadi lazim dan sangat masuk akal.
Pasalnya, kegundahan diriku sama sekali tanpa sebab. Tidak ada apa-apa. Tidak ada masalah yang berarti. Mungkin ego-ku yang sedikit terganggu, tapi harusnya tidak sebesar ini lah efeknya.
Mungkin juga aku sudah jenuh akan kehidupanku dan butuh sesuatu yang baru. Tapi nampaknya tidak sejauh itu. Kegundahanku hanya sesuatu yang simpel nampaknya. Tidak tahu kenapa. Hanya gundah saja. That's it. Titik. Tanpa sebab, dan mungkin besok sudah hilang.
Aku kesaaaaalll...
Aku benciiiiiiiiiii...
Mungkin dengan meneriakan itu bisa membantuku sedikit. Atau malah sedikit berbisik:
Aku cemas...
Aku letih...
Aku lelah...
Aku capek...
Nampaknya itu semua adalah kata yang sama. Hanya pengulangan saja.
Pun begitu, aku merasa senang saat ini. Karena, akhirnya setelah sekian lama, blog ini terisi lagi. Mungkin nanti ketika aku lebih berani dan jujur kepada diri sendiri, aku bisa lebih berani menuliskan apa yang ada dipikiranku di-blog ini. Transparan. Tidak ditutup-tutupi.
Mengapa yah Tuhan menciptakan emosi
Hmm... untuk beberapa orang, pertanyaan ini memang menjadi suatu pertanyaan yang sangat bodoh. Namun, untuk orang yang seperti gundah sepertiku, nampaknya hal ini menjadi lazim dan sangat masuk akal.
Pasalnya, kegundahan diriku sama sekali tanpa sebab. Tidak ada apa-apa. Tidak ada masalah yang berarti. Mungkin ego-ku yang sedikit terganggu, tapi harusnya tidak sebesar ini lah efeknya.
Mungkin juga aku sudah jenuh akan kehidupanku dan butuh sesuatu yang baru. Tapi nampaknya tidak sejauh itu. Kegundahanku hanya sesuatu yang simpel nampaknya. Tidak tahu kenapa. Hanya gundah saja. That's it. Titik. Tanpa sebab, dan mungkin besok sudah hilang.
Aku kesaaaaalll...
Aku benciiiiiiiiiii...
Mungkin dengan meneriakan itu bisa membantuku sedikit. Atau malah sedikit berbisik:
Aku cemas...
Aku letih...
Aku lelah...
Aku capek...
Nampaknya itu semua adalah kata yang sama. Hanya pengulangan saja.
Pun begitu, aku merasa senang saat ini. Karena, akhirnya setelah sekian lama, blog ini terisi lagi. Mungkin nanti ketika aku lebih berani dan jujur kepada diri sendiri, aku bisa lebih berani menuliskan apa yang ada dipikiranku di-blog ini. Transparan. Tidak ditutup-tutupi.
Subscribe to:
Posts (Atom)