Sunday, April 13, 2008

Tatapan Kosong Itu

Manusia itu bertumbuh ramping, Dia agak kurus, tingginya sekitar 165 cm dan rambutnya, yah... rambutnya terdiri dari beberapa warna; nampaknya Ia melakukannya dengan sengaja mewarnai rambutnya itu. Dia adalah seorang laki-laki. Umurnya kira-kira sekitar 14 tahunan, masih remaja. Ia menggunakan banyak sekali pernak-pernik. Anting ditindik di hidungnya, rantai-rantai di celananya, gelang-gelang besi di pergelangan tangan kanan dan kirinya. Ia menggunakan celana jeans hitam yang sudah tua dan agak kotor. Begitu juga dengan kaos oblong hitam bergambar (yang sudah agak pudar) dan kelihatan junkies menempel di badannya.

Dia baru saja terbangun dari tidurnya. Dia bukan baru terbaring di kasur empuk di suatu kamar dengan bantal yang nyaman (seperti kamarku), tidak!, dia baru saja terbangun dari tidurnya di sebuah dinding yang tidak tinggi yang memiliki bagian tikungan ke arah bawah yang panjangnya tidak lebih dari 1 meter. Untuk itu, dia perlu menekuk badannya menjadi dua sehingga dia bisa nyaman tertidur di tahtanya itu. Ada sebuah atap warung di atas kepalanya, namun tetap saja tahtanya itu dingin. Sebab warung tenda memang tidak berdinding dan dia mesti kedinginan di tempat tidurnya itu.

Aku sempat melihat Ia tertidur. Hampir saja aku meletakkan uang sebesar 100.000 rupiah di depannya, sehingga ketika Dia terbangun, Dia melihat mukjizat di depan matanya. Namun norma-norma kehidupan itu, ilmu pengetahuan yang kupelajari, semua itu menahan hasratku untuk membantu sesama. Mereka mengatakan ada kode etik khusus dalam membantu sesama. Aneh, padahal aku tidak pernah ada yang mengatakan hal seperti itu padaku, namun hal itu seperti sudah terdoktrin sangat dalam dipikiranku.

Ia tidak menguap ketika ia duduk tegak di tahtanya. Ia hanya menatap kosong ke depan. Aku melihat tatapannya itu. Menimbang-nimbang dan memikirkan, kira-kira apa yang ada di pikirannya saat itu.

Apa yang mesti gua lakuin yah hari ini?
Maen kemana lagi yah hari ini?
Makan apa yah pagi ini?
Gua mesti ngapain yah pagi ini biar bisa makan?
Kenapa yah gua ada di sini? Kenapa juga gua gak punya rumah?
Kenapa gua gak di lahirkan di keluarga yang kaya dan bahagia?
Kenapa gua gak bisa memilih orang tua gua yah?
Ah... andai saja

Kemudian lelaki remaja itu berdiri. Sambil menikmati bubur di hadapanku, aku memperhatikan lelaki itu. Ia berjalan sedikit ke arah kiri, kemudian ia membuka resleting celananya dan ia merapatkan dirinya ke dinding. Nampaknya ia menjauh agar tahtanya tidak menjadi bau. Nampak sedikit kepuasan tersirat di wajahnya. Kemudian ia berjalan menjauh dan sepertinya dia kembali melangkah gontai menjalani harinya. Aku masih bertanya-tanya, apa yang akan dia lakukan pagi itu.

Sementara di sisi kiri, tidak jauh dari situ. Ada sepasang lelaki remaja dan perempuan remaja. Mereka juga menggunakan banyak sekali ornamen pada pakaiannya. Rambutnya juga diwarnai. Pakaian mereka juga lusuh. Lelaki yang ini lebih tinggi dan terlihat lebih matang dari yang tadi. Sesekali lelaki ini melakukan gerakan agak memaksa pada perempuan itu. Ada sedikit gerak-gerak penolakan pada perempuan itu, namun aku yakin, sebenarnya Ia menyukai juga diperlakukan seperti itu. Akhirnya mereka menempelkan hidung mereka dan mereka saling berdekatan. Mereka kemudian berjalan berdua menuju kehidupan keras itu, lagi!

Demikian kira-kira aku memandang potret keras kehidupan anak jalanan pagi itu. Kemudian aku bergegas menuju pekerjaanku. Hmmh... minggu pagi yang penuh perjalanan.

No comments: