Sunday, February 05, 2012

Cerita di Ekamai (2)

Secarik kertas bertuliskan tulisan Thai yang sama sekali aku tidak mengerti apa maksudnya. Mengejanya saja aku bahkan tidak bisa. Tulisan itu ada bersama dengan tas Amanda yang kutemukan di BTS. Kertas itu dilipat asimetris dan dimasukkan ke dalam amplop. Nampaknya kertas itu dimasukkan dengan tergesa-gesa.

Aku bertanya-tanya, kenapa tulisannya berbahasa Thai, padahal aku sama sekali tidak bisa berbahasa Thai. Mungkin orang yang menuliskan itu menganggap diriku sebagai orang lokal Thailand. Memang perawakan orang Indonesia dan orang Thailand tidak berbeda jauh. Bahkan sekilas, jika orang melihatnya, seperti tidak ada perbedaan. Perbedaan akan terlihat ketika mereka mulai berbicara, karena kedua bangsa itu menggunakan bahasa yang berbeda.

Kemudian aku keluar di stasiun BTS Nana. Stasiun yang dari arah aku datang telah melewati soi apartemenku berada. Sekitar 80 meter lebih jauh. Aku biasanya turun di stasiun sebelumnya, yaitu stasiun Asoke. Karena insiden bayi tersebut aku jadi turun lebih jauh sedikit.

Aku turun dari tangga, berharap bertemu petugas kereta dan menjelaskan semuanya, namun aku tidak dapat menemukannya. Hari sudah berganti ternyata, pantas saja jika sang penjaga tidak lagi berada di tempatnya. Mungkin ia sedang makan. Mungkin ia sedang buang air. Atau apapun. Tidak ada jalan lain, aku harus meminta bantuan petugas apartemenku.

Aku berjalan menuruni tangga, sambil menggendong Amanda. Pikirkupun melayang:

Ini adalah kali pertama aku menggendong bayi dengan tas seperti ini. Aku merasa seperti seorang Ayah. Aku memang selalu ingin memiliki seorang putri. Ia tidur tenang sekali dibahu kiriku. Terlalu tenang. Nampaknya Ia menyukaiku. Tentu saja, aku orang yang baik dan ramah. Hal apa yang mungkin tidak disukai orang dariku.

Aku berjalan tidak terlalu jauh, kemudian aku mencari ponselku. Aku berhasil menemukannya, namun ternyata baterainya sudah habis. Penunjuk baterai di sebelah kiri atas menunjukkan warna merah, dan tidak ada lagi panel sinyal yang didapatkan. Kosong sama sekali. Aku berniat meminta resepsionis apartemen untuk menjemputku di depan gang apartemen. Biasanya percakapannya akan sbb.:

Aku: ”Hi Sir, could you please send the Tuc tuc to the main street?

Resepsionis: ”Right away Sir”.

Namun, kali itu karena baterai ku habis, tidak ada pilihan lain selain berjalan kaki memasuki lorong Soi sampai ke apartemen. Jalan yang harus kutempuh cukup jauh. Hampir 100 meter jauhnya. Dan kali ini aku harus sambil menggendong tas kerjaku, dan tambahan menggendong Amanda di depan.

Kepala Amanda tergerak. Semula ia menghadap ke sebelah kanan, kini berpindah ke sebelah kiri. Aku berhenti berjalan sejenak, sampai kurasakan Amanda benar-benar nyaman dan kembali terlelap. Aku berpikir:

Berapa berat nih anak. Berat bener! Tapi kata orang tua, gak boleh bilang bayi itu berat, nanti dia jatuh sakit dan kurus. Kalau hanya sebatas pemikiran boleh nggak yah?

Pikiranku memang sering melayang-layang, bahkan ke hal-hal yang sangat tidak perlu. Bahkan aku pernah memikirkan

Mengapa helm tidak memiliki whipper? Bukankah itu akan menjadi inovasi yang baik?

Atau,

Harusnya permainan sepak bola, dimainkan dengan 2 bola di dalam lapangan. Pasti akan menjadi lebih seru dan menarik.

Lamunanku pun akhirnya buyar, seraya aku masuk ke halaman apartemen. Aku melihat penjaga portal yang selalu membukakan portal untuk mobil yang keluar-masuk apartemen melihatku dengan penuh tanya. Mungkin Ia bertanya

Anak siapa tuh yang dia bawa?

Aku hanya bisa tersenyum, dan Ia membalasnya. Suatu kebiasaan basa-basi tanpa suara yang cukup efektif untuk membangun hubungan dengan garis batas yang tetap nyata.

Aku bergegas memasuki lobi apartemen dan segera berbicara kepada resepsionis. Ia adalah seorang pemuda Thailand, mungkin berumur sekitar 24 tahun. Tidak terlalu tinggi, rambut hitam, mukanya mulus. Tidak terlalu ramah. Dia adalah salah satu resepsionis yang tidak aku favoritkan.

Aku: ”I have a problem, please help me!” Aku memasang muka panik.

Resepsionis: ”What can I do for you Sir?”

Aku: ”I found this baby in the BTS Sky-train. She is alone. No one there beside me. I carried her away.”

Resepsionis: ”Ha ku da happeng Sir?”

Aku: ”Sorry”. Aku sulit memahami kalimat yang dia katakan.

Resepsionis: ”How could that happened Sir?”

Aku: ”Ouw, I don’t know. I fell a sleep in the BTS. When I woke up, suddenly this baby was beside me, with all these bag and equipments. And this letter.

Resepsionis itu mengambil amplop dari tangan kananku, sementara tangan kiriku memegang kepala Amanda. Ia melihat sebentar ke arah surat itu, kemudian melihat ke arahku.

Resepsionis: ”it says: PLEASE TAKE CARE OF HER, I WILL FIND YOU.

Aku: ”How can he/she can find me? Do this person know me before? Am i being followed?

Tiba-tiba kakiku lemas. Memikirkan bahwa aku berada di negeri orang dan diikuti oleh sekawanan mafia penjahat atau sejenisnya. Pikiranku kemudian melayang jauh. Membayangkan skenario-skenario yang mungkin terjadi, dan diakhiri dengan menuliskan surat wasiatku dan memberitahukan kepada ibuku di rumah.

Seraya aku makin cemas, Amanda seperti merasakannya, Ia kemudian juga menjadi gelisah. Kepalanya bergerak kesana kemari. Ia juga makin gelisah. Aku seperti terhubung dengannya secara emosional.

Aku berusaha menenangkan diriku. Dan berkata kepada resepsionis itu:

Aku: ”Could you please phone the police for me?”

Resepsionis: ”Okay Sir!”

Kemudian aku melihat Amanda terbangun. Ia melihat ke arahku. Menguap. Kemudian kembali terlelap.

Aku: ”Krub, may be you could contact the police in the morning. I belive the baby need to rest right now. Me as well. She could sleep with me tonight. I will take care of this tommorow.”

Resepsionis: ”Okay Sir, I will help you tomorrow.

Aku: ”Thank you for your help Sir, I really appreciate it.

Kemudian aku melangkah masuk lebih dalam ke dalam apartemen. Aku memijat tombol lift untuk meminta lift turun. Sesaat kemudian pintu lift terbuka dan aku masuk. Kali ini tas kerjaku tidak lagi aku gendong di punggung, melainkan aku menjinjingnya dengan tangan kananku. Aku memijat angka 12, lantai di mana apartemenku berada.

Sesaat sebelum pintu lift tertutup sepasang suami-isteri menaikki lift yang sama. Pasangan tua yang serasi. Mereka tidak terlihat lagi seperti sepasang kekasih, lebih seperti sepasang sahabat. Tapi aku yakin, mereka adalah pasangan yang sangat serasi ketika mereka muda.

Nyonya tua itu kemudian berkata kepadaku.

How lovely she is. What is her name?”

Aku sedikit tersentak dengan pertanyaan itu, aku tidak tahu harus menjawab apa. Pertama aku gugup harus menjawab apa. Dan di saat yang bersamaan pikiranku melayang lagi.

Bagaimana wanita ini bisa tahu yah kalau bayi yang aku gendong ini cewek.

”Amanda”. Aku menjawab singkat.

”Hi Amanda! She is so pretty. You have a lovely daughter.”. Kali ini lelaki tua itu yang menyambut dengan ramah.

Kemudian pintu terbuka di lantai 8. Nampaknya mereka menghuni lantai tersebut. Mereka pun berpamitan.

Well, good night! Good night Amanda, have a nice sleep. Sleep tight, don’t bother your daddy

Aku hanya bisa menjawab.

Good night, have a nice sleep to you to guys”.

Dan saat pintu lift tertutup. Aku tersenyum. Beberapa kata dalam percakapan tadi melintas.

Daughter.

Daddy.

Saturday, February 04, 2012

Life Is Hard for 30+ Unmarried in Indonesia

Life is hard for 30+ people unmarried in Indonesia. Somehow, whole universe like judging you. You know, like there is something wrong about you. Some questions which usually asked:
1. Are you afraid of commitment?
2. Were your parents divorced?
3. Are you a player?
4. Are you gay?
5. Are you financially insecure?
6. Do you have love problem or something?
And many elses.

The worse thing is, none of them really care. Whole of your surroundings never really ask you, what's your intention of being unmarried in such an old age. Like the whole system against you.

For example, I've tried to explain my intention to one person. Thankfully, he/she understand. Now imagine, almost 100 questions a day, even they come from the same person. Do you really want to explain that much. Energy wasting! Finally, that kind of people will just answered with cliche answer:
1. Soon
or,
2. Just pray for me
even sometimes,
3. I have, I just uninvited you with

Sometimes, I think too many pressure living unmarried in this country. Maybe someday, I will get married, just for avoiding this kind of questions. Might be.