It's been a very long time since I write in this blog. Let see, what are the updates:
1. I'm still me, with more laziness
2. I stuck in the same chapter of life
3. I... , don't know else what to write. Don't really like to write anymore, nor playing music, even my love to singing is decreasing.
4. I can not recognize my self anymore. Seems I'm at one particular phase.
God, please help me through this phase.
Monday, June 29, 2009
Sunday, June 14, 2009
ITB Choir Pre-Competition Concert 2009 Jakarta
Aku:
Waduh macet banget nih Jakarta. Ancur banget, udah jam setengah delapan kurang 5 menit masih di lampu merah Gatsu. Mana lampu merahnya lama banget lagi.
Togar: Gua taksir kita akan sampai setengah delapan pas deh pokoknya.
Rombongan di Mobil: ^@%&^(*(*&(#^&@().. Gubrak!!!
Rikka: Dari tadi juga loe ngomong gitu 'gar, tapi kita gak nyampe-nyampe tuh.
Hahahaha.. gua bisa juga tertawa kecil dalam hati bareng teman-teman di mobil. Tapi sih dalam hati sedikit stress juga gara-gara trafik Jakarta. Yakin deh pasti bakal ketinggalan 3 lagu. Hmm.. untung beberapa teman-teman yang lain udah pada di sana, jadi gak semua terlambat. Maklum, nonton konser kali ini, gua bawa pasukan Koor NHKBP Tanjung Priok Timur turut serta. Belajar dari ITB Choir yang sudah mapan terdahulu.
Begitu masuk gua langsung disuguhi pemutaran film dalam konser itu. Itu pun ternyata gua baru sadar, ternyata masih ada beberapa anggota pasukan yang berada di luar. Maak... langsung serta-merta gua turun lagi dari barisan atas, terus ke pintu utama. Langsung deh jemput anggota pasukan yang ternyata udah clingak-clinguk kayak anak ayam kehilangan induk. Begitu kami masuk, ternyata udah mulai lagu Fair Phyllis. Gua nonton berdiri pas di tengah-tengah podium pintu masuk. Gak tau gua yang salah, atau emang Choir-nya yang belum tune in yah sama konser, sehingga menurut gua pembawaan lagu itu biasa banget. Yang nyanyi kebetulan juga kelompok kecilnya, dan yang pasti gua gak menikmati banget lagu itu.
Begitu, udah kelar lagu kedua itu, gua langsung ngajak anggota pasukan naik ke barisan paling atas. Maklum, cuman sanggup membeli tiket reguler. Hmm.. kalau di lihat-lihat sih emang tiket reguler tuh udah abis. Yang VIP juga penuh. VVIP yang kosong. Tempatnya enak. Dinginnya passss. Kayak nonton bioskop rasanya. Hehehe.
Udah gua duga, setelah mendaratkan seluruh anggota pasukan ke bangkunya masing-masing, gua berusaha tune-in dalam konser, Abendlied pasti bakal kurang Romantik. Tapi memang gak separah tahun lalu sih. Hmm.. sebenarnya suasana Romantik itu udah sedikit terbangun sih dengan musik yang diciptakan, tetapi koq suaranya tipis banget yah. Suaranya terlalu Asia untuk menyanyikan lagu-lagu Romantic. Teknik dan suasana yang dibangun sama dengan lagu sebelumnya. Padahal sebelumnya kan lagu jaman Renaisance. Gak ngerti deh... emang ilmu choir gua aja kali yah yang belum terlalu dalem.
Lagu-lagu berikutnya ITB Choir benar-benar luar biasa. Menurut gua choir ini telah berhasil menciptakan suatu pertunjukan yang bermutu kepada para penonton. Rangkaian lagu Hope, faith, life, love, Un sonet per tu, Waternight, Jokpiniana No.1 dan Karimata Nu Kuicha, membuktikan bahwa ITB Choir telah sangat berkembang. Beberapa catatan yang saya buat:
* Interpretasi musik dari Choir ini meningkat drastis. Disinyalir karena Choir ini akhirnya membuka wawasan dari Choirs lain yang juga menyanyikan lagu yang sama. Coba dengar Waternight ITB Choir tahun ini, dengan yang dibawakan 2 tahun lalu. Sangat teramat berbeda. Musik yang diciptakan lebih dapet!! Hahaha. Wacana Choir ini juga nampaknya sudah berubah. Tidak lagi berkisar mengenai teknik vokal tetapi interpretasi musik yang diciptakan.
* Kualitas tidak pernah berbohong. Jika pada lagu pertama sampai dengan lagu ke-4 teman-teman saya banyak ngobrol selama lagu, mungkin karena bosan, mulai dari lagu ke-5 ini, Hope, faith, life, love, mereka duduk terdiam, menganga. Mendengar disonan-disonan dengan overtune yang sempurna, tidak bisa tidak, orang yang bahkan tidak menyukai Paduan Suara sekalipun akan terdiam. Bahkan, ketika puncak lagu: truth.. truth.. truth.. truth.. truth.. truth.. teman-teman saya itu sentak bertepuk tangan kecil. Waah.. memang sadisss, apa yang ITB Choir tampilkan lewat lagu itu (konser lagi... konser lagi... konser lagi... ). Maak, overtune yang diciptakan, gak ada lawannya. Teramat berbeda memang menonton live concert dengan mendengarkan mp3. Aku bahkan sampai turun sedikit dari kursiku, sangking gugupnya ketika mereka masuk bagian Joy! Aku menanti-nanti bagian yang menurutku teramat riskan untuk salah. Ternyata mereka tidak salah. Rasa khawatirku itu kemudian berubah menjadi rasa puas mendengarkan overtune yang begitu banyak di sekitarku saat itu.
* Un Sonet per tu, lagu ini memang indah sekali diciptakan. Musik yang ditampilkan bersahut-sahutan sepanjang lagu, dan musik grandioso sebagai puncak lagu memang sangat indah dikomposisikan. Tapi teramat susah dinyanyikan. Kami sebagai penikmat lagu memang enak mendengarnya, tetapi para penyanyi dirijen bersusah keras, dengan hati-hati memunculkan mana yang harus menjadi lead vocal dan accompaniment dalam setiap bagian. Wow... musiknya jelas terdengar. Memang hanya choir tingkat dunia yang bisa menampilkan ini. Yang aku sedikit tidak puas adalah tempo awal lagu yang menurutku terlalu cepat. Hmm.. bingung menimbang-nimbang apakah sang dirijen sengaja mempercepat lagu agar waktu saat di Festival nanti tidak melebihi waktu yang ditentukan panitia, atau memang lagu itu dikomposisikan seperti itu. Hmm.. kenikmatan itu tidak menjadi maksimal ketika mendengar lagu di awal agak terlalu cepat. Pun aku memperhatikan kalau puncak lagu agak kurang lambat sedikit. Hmm.. lagi-lagi aku kurang mengerti apa memang itu yang diminta lagu tersebut, atau hanya karena glosarry musikku saja yang masih terlampau sedikit. Puncak lagu pun aku merasakan kurang full. Penyanyi seperti menahan diri. Tidak semua keluar. Takut juga sih, kalau terlalu memaksa nanti overtune itu hilang.
* Jokpiniana No. 1: Sempurna!!! Yang perlu disoroti di sini adalah suara Sopran. Khusus lagu ini suara Sopran menjadi sangat luar biasa. Pada lagu-lagu lainnya, menurut hemat saya, kualitas sopran sangat kurang. Terlalu kecil dan seperti tercekik di leher. Nampaknya Sopran tidak menyisakan sedikit porsi untuk resonansi dada ikut bergetar di setiap nada. Coba dengarkan Sopran di nada rendah (misalnya lagu Un Sonet), pasti kualitasnya turun luar biasa. Namun khusus lagu ini, suara sopran menjadi sangat indah. Walaupun nada tinggi, namun blending dengan golongan suara lain pas. Dan juga suara yang dihasilkan: Padat, ringing, nyaring, berisi, sehingga tidak mengganggu. Hmm.. andai saja sepanjang konser Sopran seperti ini, pasti akan menjadi lain ceritanya.
* Karimata Nu Kuicha yang ku dengar sangat berbeda dengan tahun lalu. Kali ini musik yang diinginkan komposer sudah jadi dan berhasil dengan apik ditampilkan kepada penonton.
Sesi I aku simpulkan luar biasa (kecuali Water, yang bahkan tidak perlu ku komentari. Belum jadi.). ITB Choir tidak lagi menjadi Choir yang sedang belajar, tetapi berkembang menjadi entertainer di setiap lagu yang dibawakan. Aku menangkap aura percaya diri yang luar biasa dalam diri mereka, entah dari mana itu berasal. Aku tidak pernah melihat itu sebelumnya, bahkan tidak pada diriku sendiri.
Sesi II nampaknya teman-temanku lebih bisa menikmati. Lagu-lagu yang dibawakan lebih ringan dan menghibur. Tentu saja tidak buatku. Ketika lagu Sin-sin Sibatu Manikam dinyanyikan, tentu saja warga asli Batak disekitarku itu ikut bernyanyi. Hehe. Serasa di kampung halaman katanya. Beberapa catatan yang saya buat di sesi II adalah sbb.:
* Karena penyanyi jalan ke penonton, Blending suara terpecah. Dan suara asli masing-masing penyanyi pun terdengar. Hahaha... terdengar deh kualitas aslinya.
* Bengawan solo sangat mantab dinyanyikan.
* Luk-luk lumbu, suara Sopran kembali mengecil dan seperti tercekik. Kali ini malah lebih parah. Terlalu kecil seperti tidak terdengar. Aku memang melihat barisan Sopran tidak lagi diduduki Soprano-Soprano kelas berat seperti sebelumnya. Kebanyakan adalah Soprano-Soprano baru yang berdiri di sana. Aku menjadi sangat cemas dengan Sopran.
* Lagu Soleram dan Bubuy Bulan dengan mulus dinyanyikan. Dan keindahan lagu sangat terasa. Sekali lagi, Blending paduan suara ini maaakk.. polll banget. Gak ada matinya. Yang menarik pada lagu Bubuy Bulan bagian solo, ada bagian lonceng yang bergemerincing lebih kuat sesuai dengan aba-aba sang dirijen. Hehe... boleh juga nih manuver-nya. Suara solis Sopran sangat kecil. Nampaknya Ia sangat kecapekan. Aku pernah mendengar yang lebih bagus dari itu.
* Wor adalah lagu baru buatku. Suara solo Tenor di bagian awal sangat memukau. Cukup efektif menarik perhatian penonton. Yang menjadi catatan saya adalah, koreografi lagu ini sederhana tetapi sangat efektif. Gerakannya tidak susah tetapi sangat mendukung lagu. Luar biasa.
* Janger. Udah biasa. Tapi tetep bagus. Aku juga pernah berada di situ. Di tengah lagi. Hehehe.
Yang membuat saya terheran-heran malahan muncul pada bagian encore.
Kemudian Choir ini menampilkan kembali lagu Wor tetapi dengan menambah efek hujan dan guntur di awal dan akhir lagu. Aku pernah bercerita hal tersebut ke teman-temanku Koor NHKBP. Kali ini mereka melihatnya sendiri live. Hahaha... puas rasanya bisa membuktikan pada mereka bahwa suatu Choir dapat menciptakan musik apa saja. Mulai dari gendang dangdut, sampai bunyi hujan dan guntur. Pasukan Koor NHKBP Tanjung Priok Timur seperti terheran-heran melihat pertunjukan Choir di depan mereka.
Yang sangat aneh lagi, aneh dalam arti positif, adalah ketika ITB Choir menyanyikan lagu Tanah Air. Saya ingat, seorang komentator pernah mengomentari ITB Choir 3 tahun lalu, ketika ITB Choir menampilkan lagu Tanah Air dengan seadanya di akhir konser. Walaupun itu akhir konser, tetapi bukan berarti tidak dipelajari, begitu kira-kira yang bisa disimpulkan dari komentar tersebut. Kali ini, nampaknya ITB Choir tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Bahkan pada saat lagu Tanah Air pun kualitas mereka tetap mereka jaga. Luar biasa!! Benar-benar Choir yang mau belajar dari kesalahannya.
Catatan umum saya:
* Suara Alto, Tenor dan Bass sudah sangat menyatu. Sayang hal ini belum diikuti sepenuhnya oleh Sopran. Teknik Sopran juga masih seperti tercekik di leher. Hmm.. semoga dalam waktu yang ada ITB Choir mampu memperbaiki dirinya menjadi lebih baik. Sempurna.
* Saya kerap melihat-lihat juara Grand Prix Europe Choir seperti Madz, APZ Tomsic, Vasna Children Choir, Utah Singers, dan yang terbaru Coro Universitario de Mendoza (maak.. keren banget), dll. Rata-rata mereka memiliki warna yang khas dan percaya diri luar biasa akan apa yang mereka tampilkan. Kedua hal penting tersebut menurut saya telah melekat dalam diri ITB Choir. Tetapi ITB Choir harus lebih belajar lagi menampilkan sesuatu yang wah keluar dari dalam hati mereka.
* Selamat kepada ITB Choir karena telah berhasil menampilkan sesuatu pertunjukan yang memukau sepanjang konser. Terus semangat dan harumkan nama bangsa di kancah Internasional. Kami akan menjadi teramat bangga, ketika ITB Choir ternyata berhasil membawa pulang piala Grand Prix Europe Choir, pertama kali, atas nama Indonesia, seperti yang dicita-citakan.
-Sahat Hutajulu
Waduh macet banget nih Jakarta. Ancur banget, udah jam setengah delapan kurang 5 menit masih di lampu merah Gatsu. Mana lampu merahnya lama banget lagi.
Togar: Gua taksir kita akan sampai setengah delapan pas deh pokoknya.
Rombongan di Mobil: ^@%&^(*(*&(#^&@().. Gubrak!!!
Rikka: Dari tadi juga loe ngomong gitu 'gar, tapi kita gak nyampe-nyampe tuh.
Hahahaha.. gua bisa juga tertawa kecil dalam hati bareng teman-teman di mobil. Tapi sih dalam hati sedikit stress juga gara-gara trafik Jakarta. Yakin deh pasti bakal ketinggalan 3 lagu. Hmm.. untung beberapa teman-teman yang lain udah pada di sana, jadi gak semua terlambat. Maklum, nonton konser kali ini, gua bawa pasukan Koor NHKBP Tanjung Priok Timur turut serta. Belajar dari ITB Choir yang sudah mapan terdahulu.
Begitu masuk gua langsung disuguhi pemutaran film dalam konser itu. Itu pun ternyata gua baru sadar, ternyata masih ada beberapa anggota pasukan yang berada di luar. Maak... langsung serta-merta gua turun lagi dari barisan atas, terus ke pintu utama. Langsung deh jemput anggota pasukan yang ternyata udah clingak-clinguk kayak anak ayam kehilangan induk. Begitu kami masuk, ternyata udah mulai lagu Fair Phyllis. Gua nonton berdiri pas di tengah-tengah podium pintu masuk. Gak tau gua yang salah, atau emang Choir-nya yang belum tune in yah sama konser, sehingga menurut gua pembawaan lagu itu biasa banget. Yang nyanyi kebetulan juga kelompok kecilnya, dan yang pasti gua gak menikmati banget lagu itu.
Begitu, udah kelar lagu kedua itu, gua langsung ngajak anggota pasukan naik ke barisan paling atas. Maklum, cuman sanggup membeli tiket reguler. Hmm.. kalau di lihat-lihat sih emang tiket reguler tuh udah abis. Yang VIP juga penuh. VVIP yang kosong. Tempatnya enak. Dinginnya passss. Kayak nonton bioskop rasanya. Hehehe.
Udah gua duga, setelah mendaratkan seluruh anggota pasukan ke bangkunya masing-masing, gua berusaha tune-in dalam konser, Abendlied pasti bakal kurang Romantik. Tapi memang gak separah tahun lalu sih. Hmm.. sebenarnya suasana Romantik itu udah sedikit terbangun sih dengan musik yang diciptakan, tetapi koq suaranya tipis banget yah. Suaranya terlalu Asia untuk menyanyikan lagu-lagu Romantic. Teknik dan suasana yang dibangun sama dengan lagu sebelumnya. Padahal sebelumnya kan lagu jaman Renaisance. Gak ngerti deh... emang ilmu choir gua aja kali yah yang belum terlalu dalem.
Lagu-lagu berikutnya ITB Choir benar-benar luar biasa. Menurut gua choir ini telah berhasil menciptakan suatu pertunjukan yang bermutu kepada para penonton. Rangkaian lagu Hope, faith, life, love, Un sonet per tu, Waternight, Jokpiniana No.1 dan Karimata Nu Kuicha, membuktikan bahwa ITB Choir telah sangat berkembang. Beberapa catatan yang saya buat:
* Interpretasi musik dari Choir ini meningkat drastis. Disinyalir karena Choir ini akhirnya membuka wawasan dari Choirs lain yang juga menyanyikan lagu yang sama. Coba dengar Waternight ITB Choir tahun ini, dengan yang dibawakan 2 tahun lalu. Sangat teramat berbeda. Musik yang diciptakan lebih dapet!! Hahaha. Wacana Choir ini juga nampaknya sudah berubah. Tidak lagi berkisar mengenai teknik vokal tetapi interpretasi musik yang diciptakan.
* Kualitas tidak pernah berbohong. Jika pada lagu pertama sampai dengan lagu ke-4 teman-teman saya banyak ngobrol selama lagu, mungkin karena bosan, mulai dari lagu ke-5 ini, Hope, faith, life, love, mereka duduk terdiam, menganga. Mendengar disonan-disonan dengan overtune yang sempurna, tidak bisa tidak, orang yang bahkan tidak menyukai Paduan Suara sekalipun akan terdiam. Bahkan, ketika puncak lagu: truth.. truth.. truth.. truth.. truth.. truth.. teman-teman saya itu sentak bertepuk tangan kecil. Waah.. memang sadisss, apa yang ITB Choir tampilkan lewat lagu itu (konser lagi... konser lagi... konser lagi... ). Maak, overtune yang diciptakan, gak ada lawannya. Teramat berbeda memang menonton live concert dengan mendengarkan mp3. Aku bahkan sampai turun sedikit dari kursiku, sangking gugupnya ketika mereka masuk bagian Joy! Aku menanti-nanti bagian yang menurutku teramat riskan untuk salah. Ternyata mereka tidak salah. Rasa khawatirku itu kemudian berubah menjadi rasa puas mendengarkan overtune yang begitu banyak di sekitarku saat itu.
* Un Sonet per tu, lagu ini memang indah sekali diciptakan. Musik yang ditampilkan bersahut-sahutan sepanjang lagu, dan musik grandioso sebagai puncak lagu memang sangat indah dikomposisikan. Tapi teramat susah dinyanyikan. Kami sebagai penikmat lagu memang enak mendengarnya, tetapi para penyanyi dirijen bersusah keras, dengan hati-hati memunculkan mana yang harus menjadi lead vocal dan accompaniment dalam setiap bagian. Wow... musiknya jelas terdengar. Memang hanya choir tingkat dunia yang bisa menampilkan ini. Yang aku sedikit tidak puas adalah tempo awal lagu yang menurutku terlalu cepat. Hmm.. bingung menimbang-nimbang apakah sang dirijen sengaja mempercepat lagu agar waktu saat di Festival nanti tidak melebihi waktu yang ditentukan panitia, atau memang lagu itu dikomposisikan seperti itu. Hmm.. kenikmatan itu tidak menjadi maksimal ketika mendengar lagu di awal agak terlalu cepat. Pun aku memperhatikan kalau puncak lagu agak kurang lambat sedikit. Hmm.. lagi-lagi aku kurang mengerti apa memang itu yang diminta lagu tersebut, atau hanya karena glosarry musikku saja yang masih terlampau sedikit. Puncak lagu pun aku merasakan kurang full. Penyanyi seperti menahan diri. Tidak semua keluar. Takut juga sih, kalau terlalu memaksa nanti overtune itu hilang.
* Jokpiniana No. 1: Sempurna!!! Yang perlu disoroti di sini adalah suara Sopran. Khusus lagu ini suara Sopran menjadi sangat luar biasa. Pada lagu-lagu lainnya, menurut hemat saya, kualitas sopran sangat kurang. Terlalu kecil dan seperti tercekik di leher. Nampaknya Sopran tidak menyisakan sedikit porsi untuk resonansi dada ikut bergetar di setiap nada. Coba dengarkan Sopran di nada rendah (misalnya lagu Un Sonet), pasti kualitasnya turun luar biasa. Namun khusus lagu ini, suara sopran menjadi sangat indah. Walaupun nada tinggi, namun blending dengan golongan suara lain pas. Dan juga suara yang dihasilkan: Padat, ringing, nyaring, berisi, sehingga tidak mengganggu. Hmm.. andai saja sepanjang konser Sopran seperti ini, pasti akan menjadi lain ceritanya.
* Karimata Nu Kuicha yang ku dengar sangat berbeda dengan tahun lalu. Kali ini musik yang diinginkan komposer sudah jadi dan berhasil dengan apik ditampilkan kepada penonton.
Sesi I aku simpulkan luar biasa (kecuali Water, yang bahkan tidak perlu ku komentari. Belum jadi.). ITB Choir tidak lagi menjadi Choir yang sedang belajar, tetapi berkembang menjadi entertainer di setiap lagu yang dibawakan. Aku menangkap aura percaya diri yang luar biasa dalam diri mereka, entah dari mana itu berasal. Aku tidak pernah melihat itu sebelumnya, bahkan tidak pada diriku sendiri.
Sesi II nampaknya teman-temanku lebih bisa menikmati. Lagu-lagu yang dibawakan lebih ringan dan menghibur. Tentu saja tidak buatku. Ketika lagu Sin-sin Sibatu Manikam dinyanyikan, tentu saja warga asli Batak disekitarku itu ikut bernyanyi. Hehe. Serasa di kampung halaman katanya. Beberapa catatan yang saya buat di sesi II adalah sbb.:
* Karena penyanyi jalan ke penonton, Blending suara terpecah. Dan suara asli masing-masing penyanyi pun terdengar. Hahaha... terdengar deh kualitas aslinya.
* Bengawan solo sangat mantab dinyanyikan.
* Luk-luk lumbu, suara Sopran kembali mengecil dan seperti tercekik. Kali ini malah lebih parah. Terlalu kecil seperti tidak terdengar. Aku memang melihat barisan Sopran tidak lagi diduduki Soprano-Soprano kelas berat seperti sebelumnya. Kebanyakan adalah Soprano-Soprano baru yang berdiri di sana. Aku menjadi sangat cemas dengan Sopran.
* Lagu Soleram dan Bubuy Bulan dengan mulus dinyanyikan. Dan keindahan lagu sangat terasa. Sekali lagi, Blending paduan suara ini maaakk.. polll banget. Gak ada matinya. Yang menarik pada lagu Bubuy Bulan bagian solo, ada bagian lonceng yang bergemerincing lebih kuat sesuai dengan aba-aba sang dirijen. Hehe... boleh juga nih manuver-nya. Suara solis Sopran sangat kecil. Nampaknya Ia sangat kecapekan. Aku pernah mendengar yang lebih bagus dari itu.
* Wor adalah lagu baru buatku. Suara solo Tenor di bagian awal sangat memukau. Cukup efektif menarik perhatian penonton. Yang menjadi catatan saya adalah, koreografi lagu ini sederhana tetapi sangat efektif. Gerakannya tidak susah tetapi sangat mendukung lagu. Luar biasa.
* Janger. Udah biasa. Tapi tetep bagus. Aku juga pernah berada di situ. Di tengah lagi. Hehehe.
Yang membuat saya terheran-heran malahan muncul pada bagian encore.
Amor De Mi Alma.Dinyanyikan oleh kelompok kecil saja, sementara yang lain sedang berganti kostum mempersiapkan lagu untuk yang lain. Sejenak aku menatap pada pahlawan-pahlawan ITB Choir yang ada didepanku, kelompok Rayoeth yang dengan setia mengikuti dan turut mengembangkan ITB Choir. Nampaknya mereka sangat menikmati lagu tersebut. Kualitas yang ditampilkan pun hebat. Tidak seperti tahun lalu yang dinyanyikan oleh kelompok besar tetapi seperti sedang bernyanyi Pop. Hmm... aku bisa mengerti sih kepusingan mereka dengan dana keberangkatan yang sangat minim, bahkan katanya mereka getir kalau malahan tidak jadi berangkat tahun ini. Hmmh.. setidaknya aku bisa melihat mereka menikmati lagu tersebut, menyanyikan bait demi bait dengan begitu indah. Nampaknya mereka melupakan sejenak kepusingan mereka akan pembayaran-pembayaran yang menanti di depan mata. Yang penting menikmati lagu dulu. Hehehe. Semangat!!
Kemudian Choir ini menampilkan kembali lagu Wor tetapi dengan menambah efek hujan dan guntur di awal dan akhir lagu. Aku pernah bercerita hal tersebut ke teman-temanku Koor NHKBP. Kali ini mereka melihatnya sendiri live. Hahaha... puas rasanya bisa membuktikan pada mereka bahwa suatu Choir dapat menciptakan musik apa saja. Mulai dari gendang dangdut, sampai bunyi hujan dan guntur. Pasukan Koor NHKBP Tanjung Priok Timur seperti terheran-heran melihat pertunjukan Choir di depan mereka.
Yang sangat aneh lagi, aneh dalam arti positif, adalah ketika ITB Choir menyanyikan lagu Tanah Air. Saya ingat, seorang komentator pernah mengomentari ITB Choir 3 tahun lalu, ketika ITB Choir menampilkan lagu Tanah Air dengan seadanya di akhir konser. Walaupun itu akhir konser, tetapi bukan berarti tidak dipelajari, begitu kira-kira yang bisa disimpulkan dari komentar tersebut. Kali ini, nampaknya ITB Choir tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Bahkan pada saat lagu Tanah Air pun kualitas mereka tetap mereka jaga. Luar biasa!! Benar-benar Choir yang mau belajar dari kesalahannya.
Catatan umum saya:
* Suara Alto, Tenor dan Bass sudah sangat menyatu. Sayang hal ini belum diikuti sepenuhnya oleh Sopran. Teknik Sopran juga masih seperti tercekik di leher. Hmm.. semoga dalam waktu yang ada ITB Choir mampu memperbaiki dirinya menjadi lebih baik. Sempurna.
* Saya kerap melihat-lihat juara Grand Prix Europe Choir seperti Madz, APZ Tomsic, Vasna Children Choir, Utah Singers, dan yang terbaru Coro Universitario de Mendoza (maak.. keren banget), dll. Rata-rata mereka memiliki warna yang khas dan percaya diri luar biasa akan apa yang mereka tampilkan. Kedua hal penting tersebut menurut saya telah melekat dalam diri ITB Choir. Tetapi ITB Choir harus lebih belajar lagi menampilkan sesuatu yang wah keluar dari dalam hati mereka.
* Selamat kepada ITB Choir karena telah berhasil menampilkan sesuatu pertunjukan yang memukau sepanjang konser. Terus semangat dan harumkan nama bangsa di kancah Internasional. Kami akan menjadi teramat bangga, ketika ITB Choir ternyata berhasil membawa pulang piala Grand Prix Europe Choir, pertama kali, atas nama Indonesia, seperti yang dicita-citakan.
-Sahat Hutajulu
Subscribe to:
Posts (Atom)