The hate, the misery
Margot adalah seorang yang perkasa. Badannya tinggi, tegap dan kekar. Ia memang sering melatih tubuhnya. Kesukaannya adalah berburu. Menghadapai binatang buas manapun adalah hobinya. Ia juga memiliki insting seperti seekor binatang. Ia jarang mengalami kekalahan dalam suatu pertarungan. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Nampaknya didikan ayahnya berhasil membunuh hati nuraninya dan membuatnya menjadi sangat kuat. Margot percaya, hati nurani hanya membuat seseorang lemah.
Ia pernah suatu kali berhadapan dengan sepuluh orang sekaligus. Ia tak berkeming sedikitpun. Tidak ada rasa takut sedikitpun tergores di hatinya. Nampaknya kematian bukanlah sesuatu yang ditakutinya. Entah apa yang dipikirkannya. Namun Ia selalu percaya Ia pasti menang. Sepuluh orang tersebut bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah prajurit pilihan bangsa Romawi yang ingin menguasai negerinya. Mereka semua tinggi besar. Lebih besar sedikit dari Margot. Namun Margot berhasil mengalahkan mereka. Di situlah Ia mendapatkan luka di bahunya. Lukanya cukup dalam. Bahkan Margot membawa pulang kepala mereka semua dan digantungnya di alun-alun kota. Ini membangkitkan semangat seluruh negeri itu untuk bertarung melawan penjajah.
Akhirnya pertempuran itu datanglah. Ketika negeri Persia dipaksa tunduk oleh bangsa Romawi. Oleh pemimpinnya yang bernama Julius Caesar. Padahal saat itu Persia sudah kembali bersatu. Namun tetap saja Romawi memang terlalu kuat. Suatu perjanjian antara Romawi dan Persia menyatakan bahwa Romawi dan Persia harus berbagi daerah kekuasaan. Kurang beruntung bagi Margot, negerinya berada di seberang sungai Efrat. Terpaksa negeri itu harus mengabdi pada bangsa Romawi. Hal ini tidak dapat dielakkan lagi. Parthia, raja Persia saat itu harus melakukan suatu tindakan pencegahan politik dari pada seluruh Persia direnggut paksa oleh bangsa Romawi.
Kasdopia, sebelah barat daya Armenia, telah menjadi tempat tinggal Margot sejak kecil. Negeri itu memang sangat indah. Tanahnya subur dan berlimpah. Rakyatnya pun makmur. Margot dan sebelumnya, ayah Margot, memimpin bangsa itu dengan sangat baik. Dan selain itu keduanya berpolitik dan kalau terpaksa berperang dengan baik menjaga negeri tersebut. Ancaman dari Bangsa Romawi yang membuat Margot, harus mampu melakukan ini. Ia tidak ingin dan tidak rela jika negerinya di kuasai negara lain. Margot mencintai Kasdopia. Ia juga mendidik Gaspar seperti itu. Ia ingin Gaspar menjadi orang yang cukup kuat untuk berperang dan cukup cerdik untuk berpolitik melawan Romawi. Margot tau persis Raja Persia tidak lagi bisa diharapkan untuk menyelamatkan negerinya. Ia harus bekerja sendiri. Untuk negerinya.
Sedikit kekecewaan ada di Hati Margot. Saat ia terpojok seperti itu ia merasa takut. Bukan takut akan kematian. Tapi ia takut Kasdopia akan mati dengan kematiannya hari itu. Margot sebenarnya sangat mengharapkan Gaspar, anaknya untuk mempercepat dirinya dalam memimpin negeri itu kalau ada apa-apa dengan dia di medan perang. Namun, ia tak yakin akan Gaspar. Gaspar sangat berbeda dari anak Ksatria lainnya. Sekalipun Gaspar sembunyi-sembunyi, Margot mengetahui bahwa Gaspar lebih suka Perbintangan dari pada Perang. Ia lebih suka Pena dari pada Pedang. Ia tidak terlalu suka berkelahi, Ia lebih suka menyendiri. Margot merasa Gaspar tidak bisa diharapkan. Ia tidak tahu jika Ia meninggal siapa yang akan menggantikan dia.
Tak biasanya Margot menangis. Kali itu, Ia menangis. Ia melihat sekilas ke seantero negerinya, dan Ia mencabut pedangnya. Kemudian berlari ke Pintu Gerbang untuk menahan para Romawi. Ia berteriak keras
”Maju... usir para keparat itu dari negeri kita!!!”
Hal itu membangkitkan semangat prajurit Kasdopia. Margot memang selalu sensasional
Peperangan berlangsung lama di Pintu Gerbang. Namun pasukan Romawi memang sangat banyak. Perlahan-lahan pasukan Kasdopia mulai kelelahan. Mereka tidak menyangka prajurit Romawi sebanyak itu. Mereka seperti sudah tidak lagi mampu menahan mereka. Dan tepat di saat kelelahan sangat melanda mereka, tiba-tiba terdengar suara:
”Raja terluka! Raja terluka! Mundur!”
Semua pasukan bergerak mundur ke Istana. Raja diangkat dengan tandu ke Istana. Ternyata paduka terkena anak panah di dada kirinya. Meleset sedikit dari Jantungnya. Ia pun kelelahan. Pasukan Romawi tidak berhenti, mereka terus menyerang dan bergerak maju. Markus, panglima yang memimpin penyerangan itu bahkan kali ini berada di garis depan. Ia meminta Margot untuk menyerah sejak lama. Namun Margot mencampakkan surat peringatan itu dan membunuh suruhan Markus.
Margot terpojok dan Ia berhadapan langsung dengan Markus. Markus berbadan sangat tegap. Ia seperti kesetanan. Ia tertawa keras sekali tanda kemenangan. Seketika itu juga ia menghunuskan pedangnya ke arah Margot. Margot tak dapat mengelak. Darah menyembul dari perutnya. Margot mulai kehilangan kesadaran, ketika sepasang tangan memangku kepalanya. Itu adalah tangan Gaspar. Harusnya Gaspar tidak lagi ada di situ. Ia harusnya sudah ada di pengungsian. Margot kaget dan takut setengah mati melihat Gaspar berada di situ, namun hati kecilnya bahagia juga. Ia sangat menyayangi putranya itu, Ia suka menghadapi kematiannya seorang diri. Margot sempat melihat Gaspar membuka mulutnya dan meraung sangat keras, namun Ia tidak lagi dapat mendengar suara Gaspar. Sampai akhirnya Ia tidak lagi melihat apapun. Semuanya gelap.
Untuk pertama kalinya seumur hidup Gaspar merasa sangat marah. Ia meledak-ledak dan berusaha membunuh Markus. Namun Ia masih terlalu kecil. Ia meninju-ninjukan tangannya ke Markus namun Ia hanya tertawa. Makin kuat Gaspar memukul makin kuat tawa Markus. Ia terus memukul. Hati Gaspar juga bingung sebenarnya kenapa Ia memukul-mukul lelaki besar itu. Gaspar merasa itu tidak perlu. Tidak tahu mengapa Ia bisa merasa seperti itu. Namun pikiran itu hanya sejenak saja mampir di dirinya. Selanjutnya Ia mengenang semua cinta ayahnya dan merasa sangat sakit ketika tahu hal itu direnggut darinya. Sampai akhirnya dua pasang tangan memegang Gaspar sangat kuat dan tiba-tiba Gaspar tak sadarkan diri.
No comments:
Post a Comment