Sang Bintang Terang
“Nek, kenapa sih ayah pergi berperang terus? Nanti kalau ayah tidak kembali lagi bagaimana? Untuk apa sih ayah mesti pergi ke negri itu? Mau merampas dan menguasai segala lagi? Kan, negara kita juga sudah kaya. Orang-orangnya pun sudah senang-senang. Bahkan kemarin waktu berjalan-jalan dengan kakak saya melihat bahwa warga kita hanya bersenang-senang saja kerjanya”. Gaspar menggerutu luar biasa karena ayahanda tercintanya hendak pergi, lagi, untuk berperang. Sebenarnya hati kecilnya sedih, sekaligus takut jikalau kali ini ayah tercintanya tidak akan kembali lagi.
”Hmm... begitulah manusia, Gaspar. Tidak pernah puas. Memang dari dasarnya begitu manusia itu. Hatinya sudah berubah, sudah rusak dan hanya ingin menyakiti dan menguasai.” Seru sang nenek. Dia juga sangat kesal dengan manusia yang selalu ingin menyakiti sesamanya. Dia selalu bertanya-tanya tentang hal ini.
Sang nenek bukanlah ibu kandung dari ayah Gaspar, melainkan ibu asuh yang merawat ayahnya sejak kecil. Dia juga yang merawat Gaspar sejak lahir. Dia adalah seorang wanita yang pada masa kecilnya ikut pembuangan dari negri jauh di sana. Dia sendiri tidak bisa ingat dari mana dia berasal. Hanya penggalan-penggalan kecil dari masa kecilnya yang mampu dia ingat.
”Tapi!” sang nenek terdiam sejenak.
”Tapi apa nek?” Gaspar kecil penasaran.
”Akh.. sudahlah, sebaiknya kau tidur saja, sudah malam” sang pengasuh membatalkan niatnya. Hal yang akan diceritakannya, sebetulnya dia sendiri masih setengah percaya. Hanya entah kenapa, dia ingin sekali menceritakan itu kepada semua orang. Hal itu selalu menghantui dia selama ini.
”Hmm... padahal aku ingin sekali mendengar dongeng-dongeng nenek. ceritalah nek”, bujuk Gaspar, ”sekali lagi, sebelum aku tidur. Tentang Simson yang membunuh beribu-ribu orang dengan tulang hewan. Hiyaahh...”, gaspar kecil melompat di atas tempat tidur, ”tentang Daud yang berhasil menjatuhkan raksasa dengan ketapel, Psiuu...”; gaspar memperagakan orang yang sedang melempar ketapel; ”aaaaakhhh....”; kali ini dia memerankan sang raksasa yang tumbang terkena ketapel; ”tentang lelaki tua yang bisa membelah lautan dengan tongkatnya, nek. Whoooaaaaa.... byeeerrrrr...”. Gaspar memang selalu suka mendengar dongeng nenek tentang kisah-kisah supranatural itu. Tentang harapan demi harapan dan tentang doa dan kebenaran.
”Akh... sudahlah, kau lebih baik tidur saja. Besok ayahmu berangkat. Lagi pula, nenek di larang bercerita tentang, dongeng-dongeng ini oleh ayahmu, katanya kurang baik untuk dirimu”. Ayah Gaspar, Margot, memang melarang nenek untuk bercerita tentang hal-hal itu lagi. Margot merasa bahwa cerita itu hanya harapan-harapan kosong belaka. Margot juga pernah mendengar cerita-cerita itu sejak kecilnya, dan ia merasa teracuni dengan cerita-cerita pengasuhnya itu. Bagi Margot, setalah ia dewasa, hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Kenaza menyelimuti Gaspar yang sudah berbaring, kemudian ia mematikan lentera terang dan membiarkan yang kecil tetap menyala. Cahaya redup kemerahan dari lentera kecil itu tidak mampu memenuhi seluruh ruangan. Kenaza berjalan ke arah jendela dan hendak menutupnya. Tiba-tiba ia terdiam, dan berdiri seperti membeku. Pandangannya kosong ke depan.
”Kenapa Nek?” Gaspar penasaran.
”Bintang jatuh”. Jawab sang nenek tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Sudah lama sekali dia tidak melihat bintang jatuh. Terakhir dia melihat bintang itu, malam sebelum dia kehilangan seluruh keluarganya.
Kenaza teringat, malam itu kakeknya menceritakan sesuatu yang sangat indah tentang bintang. Tentang harapan. Harapan bahwa keluarga mereka akan diselamatkan. Akan bebas dan akan hidup bahagia selamanya. Tidak lagi di pembuangan. Dia sangat tersentuh dengan cerita itu. Dia memegang harapan itu dalam-dalam. Dia percaya akan harapan itu. Walaupun kenyataannya berbeda, keluarganya berpisah dengannya keesokan harinya, dan sampai saat ini dia hidup di negeri yang terasing, Kenaza, diam-diam masih memegang harapan itu di hatinya. Kalau suatu saat nanti, bintang itu akan bersinar terang di ufuk timur.
”Mana nek?” Gaspar sudah berada di rangkulan sang nenek. Kini mereka berdua memandang ke arah bintang-bintang di langit.
”Kau lihat bintang itu”. Kenaza tidak menjawab.
”Wah, bagus sekali ya nek, kemilaunya terang sekali”. Gaspar sudah melupakan tentang bintang jatuh.
”Suatu saat nanti akan terbit bintang yang jauh lebih terang dari pada itu. Jauh lebih indah dari pada itu dan jauh lebih kemilau dari pada itu. Di sebelah Barat. Jikalau engkau melihat bintang itu, bintang tersebut akan menyinari hatimu, jauh ke dalam. Engkau akan mengetahui rahasia-rahasia kehidupan sepanjang zaman yang belum pernah di ketahui selama ini. Bintang itu adalah bintang pengharapan. Bintang itu akan membawamu ke dalam keselamatan. Bintang itu adalah bintang kedamaian.”
”Waah... berarti tidak ada perang lagi dong Nek. Asyiiik. Kapan bintang itu terbit Nek? Asyiiik. Ayah tidak perlu pergi perang lagi. Kapan nek?”. Gaspar begitu gembira mendengar cerita sang Nenek.
”Suatu saat nanti Gaspar, suatu saat nanti...” Sang nenek menjawab seraya mengembalikan Gaspar ke tempat tidur. Ia mengibas-ibaskan permukaan tempat tidur tersebut dan menyelimuti Gaspar untuk kedua kalinya. Ia membelai-belai rambut Gaspar dan kemudian melangkah keluar.
Belum lagi Kenaza sampai di pintu kamar tersebut, Gaspar bertanya:
”Nenek tidak bohong kan?” Gaspar kembali bertanya tentang bintang itu.
Pertanyaan itu menguak kembali seluruh kehidupan Kenaza. Masa di mana dia menyatakan percaya akan Bintang tersebut, namun keesokan harinya ia mesti berpisah dengan keluarganya, dan sampai saat ini dia tinggal terasing di negeri orang. Harapan dia tidak terbukti. Namun hati kecilnya tidak bisa menolak ini. Dia percaya Bintang Terang itu suatu saat akan terbit. Entah kapan. Dan akan menyinari dunia ini dengan harapan. Dia percaya akan hal ini. Sekalipun kenyataannya berbeda. Ada sesuatu dibalik rahasia ini, yang belum dia mengerti.
”Tidak Gaspar, Nenek tidak bohong. Suatu saat nanti Bintang Terang itu akan terbit di sebelah barat”. Kenaza meneteskan sebulir air mata sambil menjawab hal tersebut. Ia tidak mengarahkan wajahnya ke Gaspar saat menjawab hal itu. Ia takut Gaspar bertanya-tanya kenapa. Air mata itu adalah air mata kepedihan. Air mata yang meninggalkan kenyataan-kenyataan pahit yang terjadi selama ini dan kembali berpaling kepada harapan. Ia terlalu sedih melihat jalan kehidupannya. Ia menyelesaikannya dengan air mata itu. Kemudian ia menegakkan kepalanya dan kembali berharap. Sesuatu yang besar terjadi di hatinya saat itu. Dadanya berdegup kencang.
”Baiklah Nek, aku akan menunggu Bintang itu terbit.” Gaspar memejamkan matanya.
”Bintang itu yang akan menuntunmu nak, Ia akan menuntunmu kepadanya”. Kenaza membuka pintu dan kemudian menutupnya. Agak lama ia bersandar di pintu tersebut. Ia mengarahkan mukanya ke langit-langit dan ia memejamkan matanya. Ia menghela nafas panjang dan Ia berjalan pergi menyusuri lorong.
1 comment:
oh, ini yang soal orang Majus itu..
agak susah ditemukan, blog ini bisa menyesatkan tanpa petunjuk jalan.. syubidubidu..
*dibaca dulu..
Post a Comment