Serba-serbi menuju bandara (sebelum ide itu akhirnya hilang)

Menuju Bandara...

Menelanjangi
Di jalan gua sepertinya berhak menelanjangi setiap orang dengan pandangan gua. Dengan kaca transparan buram sekitar 60% kayaknya gua berhak melihat secara detail setiap orang yang gua lewatin. Yang lebih aneh lagi, gua sepertinya berhak menilai mereka begitu saja. Lihat tampang mereka dan menilai kalau dia adalah karya Tuhan yang jelek, kurang sempurna. Atau, ah dia biasa-biasa saja. Atau, dasar gak ngerti fashion pakaian gak nyambung banget. Atau, waaahh.. cantiknya. Dan lain-lain. Manusia emang suka menilai. Apa lagi pada saat pandangan pertama. Manusia cenderung untuk memetakan kepribadian orang bahkan sebelum perkenalan terjadi. Heran!

Gagal
Gua mencoba menjadi orang yang ramah kala itu. Tepatnya, gua memaksakan diri gua untuk ramah sore itu.
”Pak Nelson Halak Kita yah?”
Dia menjawab, ”nggak Pak, saya dari Padang”
Tweng.. tweng.. tweng.. tweng... Udah mencoba ramah dan bergumul dengan diri sendiri selama 5 menit untuk menyapa sang supir taksi, tiba-tiba gagal. Runtuh semua... Gua pikir usaha itu akan bagus sampai akhirnya kami terlibat pembicaraan sampai dengan Bandara. Ternyata, gagal. Selanjutnya, kami diam membeku selama hampir 1 jam terakhir.

Kangen
Gua teringat akan kamar gua di Bandung. Sulanjana X nomor 1. Gua teringat akan kenangan-kenangan yang ada di dalamnya. Kenangan itu menyambar. Tiba-tiba gua kangen dengan si Avanza Merah tempat kami bersenda gurau. Selanjutnya gua mendengarkan rekaman-rekaman suara dan lagu yang pernah gua buat dengan teman-teman terkasih. Gua rindu banget kepada kamar itu. Suasana itu. Suasana yang hangat, bersahabat, penuh sayang, penuh kasih di kamar tersebut. Gua rindu Bandung. Gua rindu kehidupan gua dulu di Bandung.

Generous
Seseorang memberikan selembar uang 100 ribu rupiah kepada si adik penyemir sepatu. Anak itu bahkan tidak menyemir sepatu orang itu. what a very generous act.