The Journey
Semenjak peperangan dengan Romawi beberapa ratus tahun yang lalu, bangsa Persia jarang sekali melalukan perjalanan ke negeri asing. Apalagi mendekati daerah kekuasaan Romawi, itu sangatlah pantang bagi mereka. Sama saja bunuh diri. Tapi tidak bagi rombongan itu. Rombongan itu membawa surat resmi dari raja Persia: Parthia. Surat itu mendukung ekspedisi Gaspar dan rombongan mengikuti sang Bintang Timur. Setelah belasan tahun berdiam diri di atas gunung, kini Gaspar kembali ke dunia nyata , turun gunung mengikuti kata hatinya, mengejar sang Bintang Timur.
Tujuan rombongan perjalanan itu adalah Yerusalem. Suatu kota besar bangsa Yahudi. Memang itu letaknya di barat Persia. Daerah kekuasaan Romawi. Melalui daerah itu berarti harus melalui prajurit-prajurit Romawi yang bodoh yang tidak mengerti arti kuasa dari surat Raja Parthia. Gaspar sangat gugup menghadapi hal tersebut. Sekaligus dia sangat senang; senang sekali; ingin bertemu, dengan juruselamat versi dirinya sendiri.
Tidak banyak orang persia yang mengenal daerah orang Yahudi. Hubungan itu putus 300 tahun yang lalu ketika Romawi berhasil menguasai daerah itu. Hanya segelintir yang mengenal daerah orang Yahudi di Persia. Dan kalaupun ada, orang-orang tersebut pastinya dari barisan para majus. Menchor salah seorang Kapten kerajaan Parthia. Dia adalah seorang ekspeditur. Selain daerah barat, ia juga sering mengunjungi daerah timur, Cina. Menchor dipercaya raja untuk memimpin ekspedisi kali ini. Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang mudah. Musim kering membawa angin yang sangat menusuk. Padang gurun yang dilewati juga sangat menyeramkan. Angin malam bahkan lebih berbahaya lagi. Mereka akan berkemah di suatu tempat di padang gurun. Bersyukur jika ada desa atau penginapan saat malam. Bagaimana jikalau mereka harus membangun tenda di padang pasir. Mereka harus memperhitungkan waktu dengan tepat, sehingga pada waktu malam mereka tidak berada di luar. Angin puting beliung bisa saja melanda mereka dan merenggut segala persediaan mereka; bahkan mungkin nyawa mereka.
”Perjalanan ini akan ditempuh sekitar 6 bulan. Kita akan melewati jalur darat maupun jalur air. Ini tidak akan menjadi perjalanan yang mudah, tapi kita harus yakin kita berhasil. Selain itu kita juga membawa banyak sekali persembahan untuk Mesias yang kita tuju. Kita harus berhati-hati terhadap perompak di lautan lepas nanti. Kita harus siaga kepada para pencoleng dan gerombolan lain. Di atas semuanya itu, kita harus yakin kita akan sampai pada tujuan, sang Bintang Timur.” Merchon memberi semangat sebagai ketua rombongan.
Rombongan itu ada seratus orang lebih banyaknya. Rombongan itu terdiri dari 70 orang prajurit, 30 orang majus dan 30 orang budak yang bersama dengan mereka. Mereka semua berjalan beriringan mengejar sang Bintang Timur.
Awal perjalanan mereka berjalan dengan mulus; tentu saja mereka masih berada di daerah kekuasaan Persia. Sebentar mereka meninggalkan pelabuhan dan tiba di daerah orang Yahudi, daerah bangsa Israel, mereka harus berhati-hati. Akan banyak pemungut-pemungkut cukai yang akan menggerogoti mereka.
Di kapal itu, Gaspar sering sekali merenung. Waktu favoritnya adalah saat malam hari. Saat gelap dan hanya ada bulan dan bintang yang menerangi bumi. Ia suka sekali memandangi Bintang Terang itu. Bahkan sesekali terlihat Gaspar seperti bercakap-cakap dengan bintang tersebut, mungkin lebih tepatnya berkata-kata sendiri.
”Apa yang akan kau lakukan ketika pertama kali Engkau sampai ke Bintang Terang tersebut?” Baltazhar bertanya kepada Gaspar. Di situ juga hadir Merchon.
”Aku tidak tahu. Aku bahkan belum mampu membayangkannya.” Gaspar menjawab.
”Kalau aku, aku akan minta isteriku di sembuhkannya. Ia sudah lama sekali menderita. Aku tak tahan melihatnya.” Sang Kapten angkat bicara.
Gaspar dan Baltazhar kaget karena sang kapten berbicara seperti itu. Ternyata sang kapten juga memegang kepercayaan yang kuat dalam perjalanan itu. Setidaknya ia memiliki harapan. Gaspar sangat malu mendengar hal itu. Ia seharusnya memiliki harapan yang lebih kuat dalam perjalanan itu.
”Hmm… kalau begitu aku akan meminta supaya aku makin pintar dan makin berhikmat sebagai seorang pendeta majus. Aku ingin budaya pengetahuan ini tidak lekang dimakan waktu. Aku ingin kegiatan mengerus pengetahuan ini terus berkembang. Tidak hanya untuk Persia, tapi untuk kehidupan manusia.” Baltazhar juga mengeluarkan isi hatinya.
Keduanya kini melihat ke Gaspar. Gaspar tahu, sekarang gilirannya untuk mengatakan isi hatinya. Dengan sangat tertunduk Gaspar berkata:
”Aku hanya ingin bertanya apakah aku masih diterima. Aku adalah seorang pembunuh. Aku ingin diampuni, aku ingin diselamatkan.”
Kini ketiganya memandang bintang itu. Sambil bersandar di tiang pembatas kapal semuanya memandang Bintang Timur itu. Lo. Sang mesias.
Sang kapten memilih kembali ke tempatnya terlebih dahulu. Ia tahu esok hari akan berat. Mereka sudah tidak lagi didaerah kekuasaan Persia. Mereka akan masuk daerah Romawi. Mereka akan berhadapan langsung dengan tentara-tentara Romawi. Walaupun terdapat perjanjian damai antara Persia dan Romawi, walaupun ada surat kuasa dari Raja Parthia, namun segala sesuatunya bisa saja terjadi, apalagi didaerah orang Romawi. Belum lagi gurun yang harus mereka hadapi. Semuanya membuat sang Kapten gugup. Meski begitu Gaspar dan Baltazhar memilih tinggal di tempat itu dan berbincang-bincang. Mereka memang selalu begitu ketika bertemu. Ada saja yang dibicarakan.
Sudah lima hari lamanya rombongan itu berjalan. Beberapa orang budak terkena penyakit. Namun jangan ditanya, Pendeta Majus juga merupakan orang-orang yang tahu banyak tentang obat. Sebut saja mereka tabib. Sebut juga mereka ahli bintang. Sebut juga mereka ahli pengetahuan. Itulah hobi mereka, itulah hidup mereka.
Sampai saat ini mereka tidak menemui banyak kesulitan. Merchon adalah kapten yang handal. Semua perencanaannya tepat. Mereka belum pernah sekalipun menemui kesulitan. Terima kasih untuk peta yang dibuat Merchon. Begitulah jika pengalaman, keberanian dan pengetahuan bersatu; semuanya menjadi sangat baik dan teratur.
Mereka kini sudah berada di Yudea. Herodes adalah rajanya pada masa itu. Namun mereka tidak berencana menuju sana. Bintang itu tidak mengarah ke sana. Ke Yerusalem. Arah tenggara dari Yerusalem.
Di suatu kota yang tidak mereka kenal, mereka harus membeli bahan makanan untuk perjalanan. Kota itu adalah kota yang besar. Sang Kapten sangat gugup jika harus melalui suatu kota besar. Pikirnya, jika saja kita tidak perlu melalui kota-kota besar ini untuk membeli makanan, kita pasti aman. Namun itu mustahil. Hanya kota-kota besar yang mampu menyediakan kebutuhan untuk seratus orang lebih.
Di dalam kota Kapten selalu memerintahkan agar rombongan itu tetap bersatu. Tidak boleh berpisah. Dan yang paling penting adalah untuk tidak mencari masalah dengan prajurit-prajurit manapun.
Rombongan besar itu mengetuk pintu, seorang prajurit membukakan pintu gerbang yang besar itu.
”Kami adalah rombongan dari Persia, kami datang untuk suatu misi.” Sang Kapten angkat bicara sambil menunjukkan surat dari Raja. Merchon tahu persis prajurit itu tidak bisa mengerti tulisan, namun tetap saja ia pura-pura membaca. Tolol. Merchon berseru dalam hatinya. Tiba-tiba prajurit itu berbalik badan dan berteriak kepada teman-temannya dalam bahasa Romawi. Serentak seluruh prajurit itu tertawa.
”Orang Persia bodoh.” Baltazhar berbisik kepada Gaspar. Baltazhar bisa berbahasa Romawi. Ia sangat pintar. Ia juga mahir berbahasa Yunani. Ia yang menulis surat Raja itu. Pada zaman itu tulisan dan bahasa Yunani adalah bahasa Universal.
Gaspar mengangguk mendengar hal itu. Ia sedikit gugup. Ia melihat ke arah Kapten. Nampaknya Kapten juga mengerti kalau mereka sedang diolok-olok. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun mereka harus berbuat bijak di negeri orang lain. Tepatnya di negeri lawan.
Suasana menjadi sangat mencekam. Saat rombongan itu berjalan dan setiap tentara yang mereka lewati menelanjangi mereka satu persatu. Sepertinya mereka sedang memilih satu-persatu mana yang akan menjadi mangsa mereka. Para budak dalam rombongan itu tidak terlalu ambil pusing. Pikir mereka, paling akan pindah tuan saja. Namun lain hal dengan para majus. Mereka memang pintar, tapi tidak cukup berani untuk bertarung. Mereka memang tidak dididik untuk bertarung.
Sang kapten memerintahkan semua untuk menunggu di alun-alun kota dan tetap dalam satu rombongan, dan untuk tidak mencari gara-gara dengan semua pasukan yang berada di sana. Sementara sang Kapten, Gaspar dan Baltazhar menghadap Walikota di tempat itu, mereka beristirahat di tempat terbuka itu. Mereka semua memilih duduk.
Keadaan makin mencekam ketika beberapa perwira Romawi datang mendekat. Mereka berkata-kata dalam bahasa Romawi dan tertawa-tawa. Mereka tahu mereka sedang menjadi bahan tertawaan. Namun mereka memilih diam. Tidak satupun dari mereka yang berkeming. Bahkan tidak satu orang pun yang berbicara di rombongan itu. Mereka hanya terdiam dan mengalihkan pandangan dari perwira-perwira itu. Mereka takut keributan muncul di tempat itu.
Bukannya dianggap sebagai tamu, para prajurit Romawi menganggap mereka seperti anjing-anjing jalanan. Prajurit-prajurit itu seperti sedang mabuk. Mereka menyumpahi setiap orang yang ada di tempat itu, mengolok-olok ibu mereka dan mengutukinya satu persatu. Kini mereka lebih berani. Mereka menunjuk salah seorang dari pendeta majus dan memeragakan seorang wanita. Mereka sedang berkelakar kalau orang-orang majus adalah kumpulan para banci. Salah seorang prajurit Persia hampir saja berdiri dan ingin menantang mereka, untung saja temannya mencegah dia, dan prajurit itu kembali duduk.
Tiba-tiba perwira-perwira Romawi itu pergi dari tempat itu. Suasana menjadi sangat lepas kembali. Mereka seperti diizinkan berbicara seorang kepada yang lain. Seperti lepas dari kungkungan.
Belum beberapa menit mereka lepas dari kungkungan itu prajurit-prajurit romawi itu kembali lagi. Kali ini dengan massa yang lebih banyak. Mereka membawa kain perca. Kain itu berasal dari Persia. Kain itu digambar lambang kerajaan Persia.
Awalnya kain itu dikibar-kibarkan dihadapan mereka. Mungkin itu tanda damai. Tapi tiba-tiba bendera itu dilepaskan DENGAN SENGAJA dari tangan yang mengibarkannya. Bendera tersebut kini diinjak-injak. Bagaikan kasut kain perca berlambangkan kerajaa Persia itu diinjak-injak di tanah. Kini kain itu berwarna merah bercampur dengan tanah merah di tempat itu. Tidak cukup sampai di situ, para prajurit romawi mengencingi kain itu begerombol. Sambil tertawa-tawa.
Salah seorang prajurit Persia bangun dari duduknya. Ia berdiri tegak. Seorang diri. Ia memandang lurus ke arah prajurit-prajurit Romawi itu. Suasana menjadi sangat tegang. Semua orang dirombongan itu menjadi sangat panik. Entah apakah mereka masih bisa melihat bulan terbit lagi malam ini.
Prajurit Romawi tidak berhenti di situ. Mereka kini mengambil api dan membakar kain itu. Kini prajurit Persia yang berdiri tidak hanya satu orang. Hampir semua prajurit sudah berdiri di tempat itu. Orang kepercayaan Merchon mengambil inisiatif. Dari pada perang besar, dia harus membuat tontonan. Tontonan untuk semua orang. Ia juga memerintahkan Pathon untuk memanggil tuannya di tempat Walikota.
”Cepat panggil Kapten.” Letnan itu berbisik kepada Pathon.
Kini Letnan itu berdiri. Ia menanggalkan senjatanya. Baju perangnya. Semua yang melekat pada dia kecuali pakaian dalamnya. Ia mengajak duel seorang lawan seorang. Ia hanya ingin mengulur waktu sampai kapten datang dengan walikota.
Saat ini jumlah prajurit Romawi dan prajurit Persia sudah terbalik banyaknya. Prajurit Romawi berdatangan. Kini jumlah mereka sudah hampir dua ratusan banyaknya. Mereka semua berdiri di sebelah sana.
Seorang prajurit Romawi keluar dari barisan. Ia raksasa. Besar sekali. Tinggi sekali. Tingginya 3 hasta lebih dan badannya sangat besar sekali. Sang Letnan menelan ludahnya sendiri ketika melihat Prajurit Romawi itu. Tapi tantangan sudah dilemparkan, sang letnan harus bertanggung jawab untuk seluruh rombongan. Ia harus mengulur waktu.
Kedua kubu sudah berkumpul. Tentara Romawi di sebelah sana, tentara Persia di sebelah sini. Mereka kini bersorak sangat keras menyemangati jagoan mereka. Seperti sedang sabung ayam mereka berteriak-teriak.
Sang Letnan tidak banyak menyerang. Ia hanya menyerang seadanya. Aku tidak boleh menang. Aku tidak boleh kalah. Aku harus mengulur waktu. Ia melayangkan pukulan keras ke arah pipi kiri Raksasa itu. Pukulan itu mendarat persis di pipi raksasa itu, namun raksasa itu hanya tersenyum. Bahkan ia menunjukkan giginya yang rusak itu kepada sang Letnan. Sang Letnan sadar betul bahwa ia sudah memukul dengan keras dan cepat, namun itu tidak membuat raksasa itu berkeming. Ia malah seperti sedang dikelitiki dengan pukulan itu. Sebulir keringat menetes dari dahi sang Letnan. Sekarang ia harus menghadapi kematiannya sendiri dan tanggung jawab terhadap rombongan dalam waktu bersamaan. Ia sebenarnya sangat cemas, namun Ia tidak menunjukkannya. Tidak boleh. Itu hanya akan membuat rombongan itu makin cemas.
Perkelahian itu makin membosankan. Teriakan semangat itu berubah menjadi teriakan mengolok.
”Wooo… wooo… wooo…”
Tentu saja teriakan itu ditujukan untuk Sang Letnan. Dari tadi dia yang hanya menghindar dan tidak melakukan serangan. Serangan-serangan kecil yang dibuat sang Letnan sangat membosankan. Sang Letnan menyadari hal itu. Tak ada cara lain. Ia harus menyerahkan diri kali ini. Satu pukulan mendarat diwajahnya, satu bantingan pasti bisa membuat seluruh Prajurit Romawi itu bersorak kembali.
Betul saja. Raksasa itu berhasil menangkap dia, menguncinya. Dan seluruh pasukan romawi bersorak kesenangan. Sangat keras. Namun, hampir saja tulang Letnan tersebut dipatahkan Ia berhasil melepaskan diri.
Salah seorang majus berteriak dalam bahasa Persia:
”Jangan pikirkan kami dulu Letnan. Bunuh saja Raksasa Gendut itu. Kalahkan dia. Masalah nantinya bagaimana, nanti saja dipikirkan.”
Dalam keletihan, sang Letnan mengiyakan kalimat itu. Kini Ia siap menyerang. Sang Letnan sangat lincah dan adalah petarung yang handal. Raksasa seperti ini bukanlah pertama yang ia kalahkan, atau tepatnya ia bunuh. Letnan adalah seorang petarung yang buas. Ia memiliki insting yang kuat dalam pertarungan hidup mati.
Kini sang Letnan mengarah lengan kiri raksasa itu. Ia memelintirnya dan sang raksasa kesakitan. Keadaan berbalik, seluruh pendeta majus dan pasukan Persia berteriak kegirangan. Perkelahian makin seru. Sang Letnan berhasil mengunci raksasa itu. Raksasa itu berteriak sangat kesakitan. Namun begitu, raksasa itu tidak menyerah. Ia membalikkan badan dan kemudian, mendorong Letnan itu jauh untuk melepas kunciannya.
”Hmmh… tangguh juga kau gembul.” Gumam sang Letnan.
Tiba-tiba sebatang kaki menahan kaki Sang Letnan sehingga ia terjatuh. Itu adalah kaki salah seorang penonton dari pasukan romawi. Raksasa itu berlari dengan cepat ke arah Letnan, ia memijakkan kakinya ke arah Letnan. Untung saja sang Letnan sempat berguling. Hanya kainnya saja yang sedikit robek dan hampir lepas. Setelah membenarkan pakaiannya Letnan kemudian berdiri tegak lagi. Ia berlari sangat cepat dan seperti hendak menyerang raksasa itu dari depan. Namun ia tiba-tiba berputar ke arah belakang dan mengunci leher raksasa itu. Seluruh badan raksasa itu sekarang sudah terkunci. Sang Letnan menjatuhkan badan besar tak berkutik itu ke tanah. Sang raksasa sudah kalah, seluruh penonton mengetahuinya.
Tiba-tiba sebuah batu mendarat di kepala sang Letnan. Batu itu di lempar oleh salah seorang prajurit Romawi. Serentak seluruh orang ditempat itu menjadi kalap. Semua prajurit mencabut pedang masing-masing.
Pertarungan besar itu akhirnya terjadi.
Pathon, Gaspar, Merchon dan Baltazhar berlari sangat kencang menuju alun-alun kota. Dari kejauhan mereka mendengar suara pedang beradu dan gaduh yang sangat kuat. Sang kapten mempercepat langkah dan mendahului yang lain. Sementara itu walikota malah berjalan sangat santai. Sepertinya ia sengaja untuk berlama-lama. Padahal dialah yang bisa merelai pertempuran itu.
Saat Merchon sampai ke tempat itu, ia melihat sudah banyak mayat bergelimpangan. Tempat itu menjadi medan perang kecil antara pasukan Persia dan pasukan Romawi. Spontan ia berteriak dalam bahasa Romawi dan Persia bergantian:
”Berhenti! Berhenti! Lepaskan pedangmu, turunkan senjatamu.”
Seluruh pasukan Persia mundur dan membuang pedangnya. Namun tidak begitu dengan pasukan Romawi. Sekalipun berhenti mereka tidak menjatuhkan pedangnya. Mereka seperti makin haus dengan lebih banyak mayat di alun-alun itu.
Kemudian kereta kuda dengan Walikota didalamnya tiba di tempat itu. Walikota itu berkata-kata dalam bahasa Romawi kuno, kemudian seluruh pasukan menurunkan senjatanya. Kemudian Walikota berbicara kepada Merchon, sang Kapten, dalam bahasa Yunani yang terbata-bata.
”Kami, tidak mampu membantu kalian. Persediaan kami juga hampir habis. Pergilah ke kota lain.”
Merchon memerintahkan orang-orangnya untuk berkemas dan untuk sesegera mungkin bergerak. Makin cepat mereka berangkat makin baik. Makin jauh mereka dari kota itu saat malam tiba makin baik. Kapten takut akan pengejaran di malam hari.
Rombongan itu semua tahu, keadaan akan tidak semulus perjalanan-perjalanan sebelumnya. Mereka kali ini b erangkat tanpa persediaan makanan, mereka harus sangat berhemat. Perjalanan ini bukan lagi perjalanan piknik. Kini ini bisa menjadi pengejaran dan penderitaan. Mereka harus siap dan makin siaga.
Semua orang yang terluka dipanggul oleh mereka yang masih kuat. Biar bagaimanapun mereka letih. Namun mereka harus terus berjalan dari kota itu. Harus jauh dan tidak beristirahat.
Malam hari mereka terus berjalan, tidak biasanya Kapten memerintahkan hal ini. Pasti ada sesuatu yang tidak beres kali ini. Gaspar bertanya kepada Merchon:
”Apakah ada yang tidak beres, mengapa kita masih terus berjalan?”
Merchon menjawab. Tapi bukan dengan kata-kata. Ia menempelkan kupingnya ke tanah. Gaspar mengikutinya. Gaspar mengerti maksud sang Kapten.
”Mereka hanya tertinggal beberapa jam saja dari kita. Tidak ada cara lain. Kita harus berpisah.” Kita harus memecah dua. Jalan yang teraman adalah ke Yerusalem.
“Biar kami yang menghadang mereka Kapten. Sebaiknya engkau terus melanjutkan perjalanan ini bersama mereka. Hanya sampaikan salamku kepada Sang Mesias.” Sang Letnan memberi solusi.
Kapten tahu, juga sang Letnan, kalau itu adalah satu-satunya cara untuk meneruskan misi ini. Mereka harus berpisah.
Dari kejauhan prajurit-prajurit romawi itu dapat melihat rombongan Persia memecah diri menjadi dua. Mereka melihat obor api yang dibawanya. Mereka melihat telapak kaki di kasut mereka. Mereka ditugaskan membabat habis para majus. Pendeta majuslah yang selalu menggagalkan Roma menguasai Persia. Kalau kali ini mereka bisa dibantai habis, pasti seluruh Persia akan sangat mudah dikalahkan.
Mereka pun memilih jalan ke Tenggara. Ke arah Bintang Timur itu. Merchon memang telah menceritakan perihal pengejaran bintang itu kepada Walikota.
Pasukan romawi itu memacu kudanya lebih cepat. Sambil berbisik kejam sang kepala pasukan berkata:
”Mari bantai seluruh orang-orang majus itu.”
Gaspar, Baltazhar, Merchon dan orang majus lainnya berlari sangat kencang. Kencang sekali. Dinginnya angin malam tidak lagi bisa menusuk mereka. Ketakutan yang lebih dalam mengancam mereka. Kematian. Pengejaran oleh pasukan romawi. Mereka berlari sekuat tenaga di padang yang luas itu.
Pasukan romawi berhasil menyusul mereka. Mereka melihat jubah-jubah para majus tertiup angin dari kejauhan. Mereka juga melihat buku demi buku dijatuhkan. Nampakanya mereka tahu mereka sedang di kejar. Pemimpin pasukan itu memerintahkan pasukan kuda itu bergerak lebih cepat.
”Kita bantai mereka. Kita permainkan dulu mereka. Hahaahaha.....”
Para orang majus itu berlari sangat kencang tidak ada waktu istirahat untuk mereka. Pikir mereka dari pada kematian melanda mereka.
Pasukan romawi berhasil mengepung para orang majus itu. Mereka mengelilingi mereka dan berhenti tepat menghalangi orang-orang majus itu. Orang-orang majus itu tertunduk. Sepertinya mereka sangat takut. Pasukan romawi mulai turun satu-satu dan mendekati para orang majus itu. Mereka mulai mempermalukan mereka lagi dan mulai meledek mereka lagi. Kali ini dengan lebih garang. Karena mereka tahu nyawa orang-orang majus itu ada ditangan mereka saat ini.
Pasukan romawi makin mendekat dan tertawa, ketika tiba-tiba terdengar suara pedang berdesing tercabut dari sarungnya. Dan tiba-tiba ada yang berteriak:
”Ini jebakan!”. Teriakan itu terdengar dari mulut kepala pasukan romawi.
Suara pedang beradu terdengar dikejauhan. Merchon tau Pasukan Sang Letnan sudah mulai bertempur dengan pasukan Romawi. Merchon memerintahkan seluruh orang majus itu untuk bergerak lebih cepat. Orang-orang majus itu tidak lagi menggunakan jubahnya. Mereka semua telah menanggalkannya. Jubah dan kasut mereka, mereka berikan kepada 70 pasukan pemberani dan 15 orang budak yang berperang saat ini dengan pasukan romawi. Mereka terus berlari sampai akhirnya matahari terbit dan mereka tiba di suatu desa kecil. Desa orang yahudi. Ketika melihat rombongan besar itu mereka seperti ketakutan. Sampai akhirnya ada seorang wanita yang mengisi tempat air mereka. Setelah mengisi tempat air mereka, wanita itu pergi begitu saja. Aksi itu diikuti oleh banyak wanita lainnya. Mereka mengisi tempat air minum mereka itu satu demi satu dan kemudian pergi.
Sampai tibalah giliran tempat air minum Gaspar yang diisi. Seorang wanita wajahnya tertutup kerudung hendak mengisi tempat minum Gaspar. Dalam sekelebat mata, pandangan mereka bertemu. Apakah ini. Gaspar mengingat akan keindahan Bintang Timur ketika Gaspar melihat kedua bola mata wanita itu. Sangat cantik. Sangat indah. Gaspar terpesona. Belom pernah seumur hidupnya dia terpesona dengan seorang wanita. Ia telah mengorbankan masa mudanya untuk dendamnya.
Wanita itu menuang sedikit air dari buli-bulinya ke buli-buli Gaspar yang terbuat dari kulit hewan. Setetes air mengalir turun dari buli-buli itu. Buli-buli Gaspar bocor. Cepat-cepat ia meminum air dari wanita itu. Gaspar meneguk air itu dengan sangat dalam. Ia memang sangat kehausan. Gaspar bahkan boros dengan air itu. Selain diminum ia juga menumpahkan seluruh air itu ke mukanya. Ia menengadahkan wajahnya ke langit dan menuang seluruh air itu ke mukanya sambil ia menutup matanya dan membuka mulutnya untuk minum. Ini menimbulkan kesan basah pada Gaspar, dan memang untuk ukuran pria 40 tahun-an Gaspar masih sangat gagah. Ia dahulu adalah seorang komandan pasukan, tentu saja ia masih terlihat sangat kekar.
Wanita itu belum beranjak. Entah karena kasihan atau apa, wanita itu menukar buli-buli milik Gaspar dengan miliknya. Kemudian ia pergi. Bersama dengan seluruh rombongan wanita pengambil air itu. Mereka semua menggunakan kerudung. Seluruh tubuhnya tertutup kecuali kedua belah matanya. Setelah beberapa langkah, wanita itu menengok kebelakang melihat kepada Gaspar. Ada yang aneh dengan pandangannya. Gaspar menyukainya.
Sekarang tinggal Gaspar melihat wanita itu berjalan dari belakang. Angin berhembus meniup kain wanita itu. Akibatnya kain wanita itu menempel ketat dengan kulit, mulai dari bagian leher hingga ke tumit. Gaspar menikmati tubuh wanita itu dengan pandangannya. Untuk pertama kalinya, ia tergoda oleh seorang wanita. Ada perasaan aneh yang mengusik hatinya tiba-tiba. Rasa penasaran yang tak tertahankan. Sampai tiba-tiba ada suara yang mengganggunya:
”Wanita hah...?”, itu adalah suara Baltazhar. ”Akhirnya terbuka juga matamu akan keindahan seorang wanita?”
”Kau sendiri, kenapa kau tidak menikah?” Gaspar balas menyerang.
”Hahahahaa... aku pendeta majus Gaspar, aku tidak akan menikah. Dan lagi sepertinya tidak akan ada wanita yang mau kepadaku. Hahahahahaha...”
Mereka berdua tertawa. Kini mereka mengikuti rombongan Persia ke arah mata air. Nampaknya air dari wanita-wanita tadi kurang untuk memuaskan rasa haus seluruh rombongan.
Bintang itu tidak ada. Ia tidak ada di timur. Ia juga tidak ada di Barat. Ia tidak ada di utara maupun selatan. Ia tidak ada di mana-mana.
Gaspar bisa menangani sakit, kehausan, kelelahan, maut di depan mata. Tapi ia tidak siap dan tidak akan pernah siap kehilangan Bintang Timurnya. Ia sama sekali tidak siap. Ia memacu kudanya sangat cepat ke arah timur, ke arah barat, Ia pergi selama beberapa jam untuk mencari bintangnya. Sudah lama ia tidak mengeluarkan tenaga sebanyak itu. Sekalipun ia dahulunya adalah seorang prajurit terlatih, namun tubuhnya tidak mampu menahan pengeluaran tenaga yang berlebihan seperti itu.
Tidak dapat dipungkiri, bukan hanya Gaspar yang cemas. Seluruh rombongan Persia pun cemas, akankah Bintang Timur itu kembali muncul. Bintang yang selama 5 bulan ini menuntun mereka, kini hilang seperti ditelan langit. Semua orang cemas bagaimana melanjutkan perjalanan ini ataukah pulang dan tidak tahu menjawab apa kepada raja.
Gaspar termangu seorang diri malam itu. Desa demi desa telah mereka lalui. Tidak mungkin. Ini terlalu cepat. Tidak mungkin bintang timur menghilang. Ini belum waktunya. Kata Gaspar dalam hatinya. Ia sangat terpukul. Ia membayangkan ia tidak jadi bertemu dengan juruselamatnya.
Ia terlalu putus asa. Sampai-sampai ia berpikir. Akh, lagi pula Ia belum tentu nyata.
“Hanya ada satu cara, kita harus ke Yerusalem. Kita bertanya kepada ahli-ahli kitab mereka”, suara itu membangunkan lamunan Gaspar. “Mereka pasti bisa menjawab di mana tempat itu berada.” Suara itu adalah suara Merchon.
“Hmm, tidak mungkin. Kita bisa tertangkap jika kita pergi ke sana. Pakaian kita lusuh. Raja Herodes pasti akan bertanya kenapa bisa seperti ini. Kenapa kita tidak lagi membawa apa-apa. Apa yang akan kita jawab jikalau begitu? Kalau kita beritahu kita dikejar pasukan Romawi, nanti malahan kita diserahkan kepada pasukan Romawi di tempat itu.”. Gaspar mengisyaratkan bendera putih tanda menyerah.
“Apakah engkau berisyarat untuk menyerah?” Merchon tak percaya Gaspar bisa seperti itu.
Gaspar tidak menjawab dan memilih diam.
“Sudah sejauh ini, seluruh anak buahku bahkan telah mengorbankan nyawanya untuk kita bisa bertemu dengan si Bintang Timur dan engkau mau menyerah begitu saja”. Merchon menarik lengan baju Gaspar. Ia sangat kesal.
Gaspar tidak marah Merchon kesal. Ia malah tertohok dengan perkataan sang Kapten. Ia tetunduk. Ia menatap Merchon dalam-dalam. Ia sangat kaget dengan semangat sang Kapten. Nampaknya tidak ada sedikit pun keraguan darinya tentang keberadaan sang Juruselamat. Apakah dia benar-benar ada atau tidak nantinya. Gaspar malu; malu sekali. Ia yang sudah menggali langsung mengenai Bintang Timur malah masih meragukannya, sementara Merchon yang hanya mendengar bisa sangat terbakar untuk bertemu dengan Bintang Timur.
Merchon mendorong Gaspar seraya melepaskan genggamannya pada baju Gaspar. Ia melangkah menjauhi Gaspar, membelakangi Gaspar.
Gaspar dan Baltazhar sekarang saling menatap. Ruangan itu kini menjadi hening. Ruangan itu berbentuk kotak, luasnya setara dengan dua kali tempat penyembahan orang Persia kepada dewa-dewa. Angin di luar bertiup sangat dingin. Angin itu seolah-olah menambah keraguan Gaspar malam itu.
”Engkau memang benar-benar seorang Kapten”. Gaspar memecah kesunyian. Ada nada optimis di gurauan dia kali ini.
Baltazhar tersenyum dan ia siap untuk petualangan kali ini.
”Kita berangkat esok pagi ke Yerusalem. Kita harus ekstra hati-hati besok.”
Raja Herodes adalah raja yang terkenal akan ketamakannya. Ia memakai banyak sekali perhiasan di tubuhnya. Kalung, gelang tangan, gelang kaki, seluruh tubuhnya menggunakan banyak sekali perhiasan-perhiasan. Jubah yang digunakan pun terbuat dari campuran satin dan sutera. Namun itu semua tetap tidak bisa menutupi sifat buruk Raja Yahudi itu. Ia sangat rakus. Ia juga memiliki banyak sekali selir. Ia bukan raja yang arif. Ia hanya penerus tahta dari Raja sebelumnya. Perut gendutnya mengisyaratkan hatinya yang jahat. Rakyat tidak suka kepadanya, ia hanya berlindung dibalik kekuasaan pasukan Romawi.
Beberapa tahun yang lalu ia mengeluarkan konsep pemungut cukai. Orang yahudi akan ditarik pajak oleh Raja dan pajak itu akan digunakan untuk kepentingan rakyat, terutama diteruskan untuk menjadi pajak bagi Kaisar Agustus. Namun itu sebenarnya hanya proposal semata saja. Praktiknya, Raja memerintahkan untuk pemungut cukai mengambil dua kali lipat dari yang disyaratkan oleh Kaisar Agustus. Hal ini benar-benar mencekik rakyat. Dan jikalau, ada rakyat yang tidak membayar, maka pasukan romawi yang akan langsung turun tangan mengatasi pemberontak tersebut.
Baltazhar harus sangat hati-hati berbicara kepada Raja. Ia tidak boleh salah langkah. Ia adalah satu-satunya orang yang mampu berbahasa Yahudi di tempat itu. Kepentingan Baltazhar hanya satu, yakni Bintang Timur, di luar itu ia tidak tertarik. Namun Herodes tetap Herodes, tidak ada sesuatu yang gratis bagi dia. Dan Herodes sangat licik.
”Paduka, perkenankan kami orang-orang majus dari Timur nan jauh di sana, menghadap paduka untuk membawa persembahan yang kami bawa.” Baltazhar berbicara dalam bahasa orang Yahudi.
”Ouw... emas yang bagus, kain perca dari persia, hmm.. mutiara yang indah...” Herodes berjalan ke sana ke mari melihat upeti untuknya. ”Hmm... untuk semua ini, apa yang kalian inginkan dariku?” Herodes bisa mencium kepentingan dari orang-orang Persia itu.
”Kami ingin meminta petunjuk. Dimanakah Dia, raja orang yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.”
Herodes kaget setengah mati mendengar hal itu. Ia dan seluruh orang di tempat itu. Bagaimana mungkin ada Raja lain selain daripadaku?
Kenapa waktu aku lahir tidak ada orang yang memberikan persembahan kepadaku?
Siapa calon Raja itu. Apakah anakku nanti tidak menjadi Raja?
Bagaimana bisa orang-orang ini mengetahui sementara aku tidak?
Berbagai pertanyaan terbersit di pikiran Herodes.
”Kami hanya ingin mengetahui tempatnya. Mungkin ahli-ahli kitab bangsa ini bisa membantu kami.”
Herodes, tidak langsung menjawab. Pikirannya melayang ke tempat lain. Masih bertanya-tanya akan segala sesuatu.
Ah, ia tidak mungkin begitu saja jadi Raja. Lagi katanya dia baru lahir. Mungkin setelah aku tua. Dan lagi mana mungkin ada raja yang dapat bangkit melawan kerajaan Romawi.
Akhirnya Herodes menjawab: ”Bagaimana kalau kalian bermalam dulu di istanaku ini, nanti akan ku kumpulkan imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat untuk membantumu.”
Baltazhar, Gaspar dan Merchon berdiskusi dalam bahasa Persia. Herodes tidak mengerti apa yang mereka katakan. Ia benci jikalau hal seperti ini terjadi. Ia takut orang-orang Persia itu merencanakan sesuatu yang buruk kepadanya.
”Paduka, jikalau boleh, dan dengan tidak mengurangi rasa hormat, bagaimana jikalau, imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat engkau kumpulkan kemari. Kami sedang bergegas. Tidak banyak waktu lagi yang kami miliki.” Baltazhar menjawab Raja. Nampaknya itu adalah hasil diskusi mereka bertiga.
”Oh... kalian ingin yang cepat yah? Baiklah kalau begitu. Pengawal panggilkan para imam kepala dan ahli taurat. Sementara itu mari kita hibur tamu-tamu kita ini dengan apa yang biasa kita lakukan.” Herodes menyetujui permohonan Baltazhar.
Tidak beberapa lama kemudian terdengar kecapi dan gendang yang ditabuh. Musik mulai mengalun. Musik yang asing bagi orang-orang majus itu. Tidak beberapa lama kemudian, seorang penari muncul dari belakang. Ia adalah seorang wanita. Tubuhnya sangat mulus. Bentuknya indah seperti kecapi. Rambutnya tebal hitam. Ia meliak-liuk kesana-kemari dengan sangat luwes. Ia mengenakan cadar transparan menutupi sebagian wajahnya. Tubuhnya tertutup celana panjang berwarna jingga, dan penutup payu dara yang juga berwarna jingga juga. Sementara itu bagian perut dan punggung bawahnya terlihat bebas sangat mulus, dan sangat menggoda. Herodes sangat menyukai hal-hal seperti ini.
Wanita itu kini mendekati Gaspar yang sedang terduduk di lantai. Wanita itu berdiri tepat di depannya. Bahkan kadang secara sengaja, gadis itu menyentuh Gaspar. Gaspar menikmatinya. Sampai suatu saat Ia bertemu pandang dengan wanita itu. Ia mengenali mata itu. Mata yang sangat indah. Ia teringat Bintang Timur, ketika melihat tatapan itu. Itu adalah wanita yang menuang air ke buli-bulinya. Gaspar mengenalinya.
Apa yang dilakukan dia di tempat ini. Atau, apakah yang dilakukannya di sana waktu itu? Gaspar bertanya-tanya dalam hatinya. Namun, Gaspar suka wanita itu ada di situ. Ia menari, kini dengan sangat serius, di depan Gaspar. Walaupun ia telah menjauhi Gaspar dan kembali ke tengah ruangan, ia sesekali menatap ke arah Gaspar. Gaspar tidak berkedip melihat wanita itu menari. Entah mengapa, tarian wanita itu menjadi sangat indah, lebih indah dari yang pertama-tama tadi.
Baltazhar yang dari tadi memperhatikan keduanya, Gaspar dan sang Penari, bertatap-tatapan, bertanya: ”Apakah itu wanitamu yang waktu itu?”
Gaspar melihat ke arah Baltazhar dan menjawab: ”Iya, itu dia. Bagaimana mungkin yah ia berada di sini?”.
“Aku tidak tahu” Baltazhar kembali menikmati buah-buahan yang dihidangkan di depannya. Dan kembali melihat tarian itu.
“Apakah kamu suka dia?” Baltazhar bertanya lagi, penasaran.
“Ah... kau ada-ada saja. Aku kan sudah tua.”
”Memang kenapa kalau sudah tua. Lagi kau masih terlihat sangat gagah koq, wajar saja kalau banyak wanita suka kepadamu. Salah sendiri kenapa tinggal di gunung, jadi perjaka tua. Hahaha...” Baltazhar tertawa kecil.
Kini pandangan Gaspar tidak lagi mengarah kepada wanita itu, melainkan kepada Herodes. Ia sedang dibisikkan sesuatu oleh salah seorang pengawalnya. Gaspar sangat takut kalau itu adalah info bahwa mereka adalah buronan pasukan romawi di suatu kota. Ia takut kalau Herodes menyerahkan mereka kepada bangsa Romawi. Merchon juga mengamati kejadian itu. Ia kemudian menyentuh lengan Gaspar tanda Ia juga cemas dengan isi bisikan pengawal itu.
”Imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat datang!” Salah seorang penjaga istana berteriak.
Sekumpulan orang-orang dengan jubah abu-abu hitam memasuki tempat itu. Janggut-janggut mereka sangat tebal dan panjang. Kira-kira lima puluhan umur mereka semua. Semua mereka menggunakan tudung di kepalanya. Mereka kelihatan sangat kompak. Mereka melihat wanita penari itu dengan sangat nazis. Gaspar memperhatikan hal tersebut. Nampaknya kehidupan penyembahan di Yahudi sangat kental.
”Kami menghadap raja, dan telah membawa apa yang raja minta” Salah seorang dari mereka, yang paling tua, sepertinya itu pemimpin mereka, angkat bicara.
”Jadi, dimanakah Raja Orang Yahudi itu akan lahir?” Herodes langsung bertanya tanpa basi-basi. Tidak biasanya ia seperti itu.
“Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikian ada tertulis dalam kitab nabi: Dan engkau sekali-sekali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.“
“Betlehem tanah Yudea! Bukankah itu nama sebuah kota kecil di barat daya?“ Herodes bertanya.
“Benar Raja, Betlehem kota kecil itu“
“Jadi di sana orang yang disebut-sebut Mesias itu akan lahir?“ Herodes menimbang-nimbang.
“Hai orang majus katakan kepadaku, kapankah Bintang Timur itu muncul?“ Herodes bertanya. Ada yang aneh pada perkataannya.
“Kami melihatnya dari beberapa bulan yang lalu. Sudah sekitar 6 bulan kami melihat Bintang Timur ini.” Yang menjawab kali ini adalah Gaspar. Mereka tidak tahu arah pembicaraan Herodes.
”Kalau begitu pergi dan selidikilah dengan seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya akupun datang menyembah Dia”. Herodes berbohong. Ia ingin membunuh Anak itu. Ia tidak rela tahtanya diambil orang lain.
Maka seluruh rombongan itu bergerak ke arah barat daya. Ketika sampai di pintu gerbang tampillah Merchon menghitung jumlah rombongannya. Mereka membeli perbekalan dari kota Yerusalem dan membawa beberapa kereta kuda dan gerobak bersama mereka. Persediaan itu seharusnya cukup untuk beberapa minggu ke depan. Untuk mereka boleh sampai di Betlehem tanah Yudea. Maka berjalanlah rombongan itu ke arah barat daya. Mereka tidak tahu apalagi yang akan menimpa mereka kali ini di depan, tapi telah keluar dari Yerusalem setidaknya mampu membuat mereka bernafas lega.
No comments:
Post a Comment