Wednesday, November 30, 2011

Cerita di Ekamai (1)


Haiyah! Masih ada nggak yah Kereta?

Aku bertanya kepada diriku sendiri setengah panik. Waktu memang sudah menunjuk hampir ke angka 12. Aku ingat temanku pernah bilang, kereta di sini – atau terkenal dengan sebutan BTS - memang akan berhenti beroperasi pada jam 11.30 malam. Di sini, di kota Bangkok. Atau setidaknya itu akan menjadi kereta terakhir yang melintas malam itu.

Sebenarnya tidak terlalu masalah sih bagaimana Aku pulang. Aku bisa saja menggunakan taksi, toh perusahaan yang akan membayar semua biayanya. Tidak hanya taksi, apartemen, laundry dan segala macam pengeluaran yang aku keluarkan dengan tajuk mempercepat proyek selesai, akan diganti seluruhnya oleh perusahaan. Hanya saja Aku agak malas berkomunikasi dengan pengemudi taksi di kota ini. Kemampuan bahasa Inggris mereka sangat minim. Aku bisa mengerti sih, tulisan latin saja nampaknya mereka baru belajar setelah di bangku Sekolah Menengah Atas.

Ah! Untung BTS-nya masih ada.

Sorot lampu sen dapat kulihat dari jarak yang cukup jauh makin lama makin mendekat dan intensitas cahayanya makin tinggi. Kemudian aku mendengar suara mesin kereta listrik bersahut-sahutan. Makin mendekat, makin mendekat, melambat, dan kemudian berhenti tepat di depanku. Kereta itu panjangnya sekitar 200 meter. Lengkap dengan pintu listrik otomatis yang akan terbuka dan tertutup hanya saat kereta berada di stasiun. Untuk beberapa orang hal tersebut sepertinya biasa, namun untuk Software Engineer yang menciptakan sistem tersebut, hal itu tidak semudah yang dibayangkan. Ada begitu banyak algoritma yang digunakan. Misalnya, berapa lama pintu harus terbuka di stasiun A, dan berapa lama pintu harus terbuka di stasiun B. Tentunya beberapa stasiun perlu mendapat ekstra waktu karena transfer penumpang yang sangat banyak, sementara stasiun lain hanya sebentar saja karena bisa dikatakan sepi penumpang.

Aku menatap ke luar jendela. Beberapa Apartemen dengan beberapa lampu unit yang masih menyala, dan juga peralatan berat di lingkungan apartemen tersebut. Nampaknya akan dibangun gedung kedua di samping apartemen tersebut. Keberhasilan ada ditangan pemasaran tentunya. Kemudian aku melihat sekeliling. Kereta sangat sepi. Hampir-hampir tidak ada orang. Di satu gerbong denganku hanya ada seorang lelaki tua dengan topi menempel di kepalanya. Dia menggunakan syal hijau yang sudah agak kusam dengan motif garis-garis hijau tua bergantian dengan hijau yang lebih muda. Dia melihat ke arahku dan melemparkan senyuman. Aku membalas senyuman tersebut dengan senyuman khasku. Senyuman yang setidaknya menurutku ramah, namun tidak berlebihan.


Di sebelah kananku, di gerbong lain, terdapat sepasang kekasih, Kaukasian. Nampaknya mereka berasal dari Perancis. Mereka tidak malu bercumbu di tempat umum – mungkin karena sepi juga- dan dengan berusaha membaca gerak bibir nampaknya si Pria mengatakan Jé taime. Aku selalu suka gadis bule. Mata biru, rambut pirang, tinggi semampai dan menggunakan tangtop. Sementara si Pria berbadan tegap, tinggi dan atletis, rambut yang juga pirang, menjadikan mereka pasangan yang sangat serasi. Dan membuat sirik pemuda-pemudi Asia yang memiliki anugrah dari Tuhan berupa tampang dan postur tubuh yang kurang sempurna. Gadis itu nampak senang sekali. Berayunan di pegangan BTS, aku bingung kenapa mereka memilih bercumbu sambil berdiri. Toh tempat duduk sangat kosong. Ah! Mungkin mereka hanya akan ke stasiun berikutnya. Aku tidak melihat cincin di jemari mereka. Mungkin mereka menganut budaya hidup bersama di luar pernikahan. Orang-orang di Eropa dan Amerika Utara pada umumnya menganut budaya itu kan.

Semenit kemudian mataku sudah tertutup. Rasanya berat sekali. Beberapa hari ini memang aku susah tidur. Mungkin hanya 1 jam sehari. Kantukku sudah tidak dapat ku tahan lagi. Aku kemudian setengah terlelap.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku membuka mataku sebentar. Aku melihat jam tanganku. Nampaknya aku tertidur cukup lama. Sekitar 20 menit. Sayup-sayup aku mendengar suara rel kereta yang memacu dan suara wanita yang selalu mengingatkan nama stasiun, dan suara tangisan seorang bayi.

Apa? Tangisan bayi. Iya benar tangisan seorang bayi.

Aku menoleh ke sebelah kiri. Di sana ada seorang bayi. Lengkap dengan tas gendong bayi yang biasa dipakai para pria belakangan ini.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada orang lain. Bahkan jauh ke gerbong-gerbong lain aku melongok, tidak ada siapa-siapa.

Aku sendirian. Dengan bayi itu.

Ini gila kataku. Aku malas berurusan dengan hal seperti ini.

Stasiun keretaku hanya tinggal 2 stasiun jauhnya. Aku harus memutuskan. Aku harus memutuskan. Kemudian aku beranjak ke dekat pintu keluar. Berusaha tidak memerdulikan bayi itu. Dia menangis makin kencang.

Gila! Ini gila! Sakit jiwa! Gila!

Dan kemudian aku melihat sepucuk amplok menonjol dari tas gendong bayi itu. Dan paras bayi tersebut rasanya campuran antara bule dan orang lokal. Seorang bayi perempuan nampaknya. Sekitar 8 atau 10 bulan. Dia cantik sekali.

Pintu kemudian terbuka, aku keluar dari kereta meninggalkan bayi tersebut. Bayi tersebut menangis makin keras. Bahkan kali ini seperti melolong. Dia seperti memanggil namaku. Aku tidak peduli. Aku memacu langkahku menjauhi kereta.

Pikirku! Ah, pasti nanti ada petugas yang menemukannya.

Aku sudah dekat ke tangga turun. Pintu kereta masih belum tertutup. Stasiun Asok memang stasiun paling sibuk di kota Bangkok, karenanya pintu terbuka cukup lama. Tidak ada siapa-siapa di tempat itu. Hanya aku seorang. Dan lolongan bayi itu.

Tiba-tiba aku berlari sedemikian cepatnya ke arah kereta. Pintu hampir saja tertutup. Aku berhasil masuk. Aku melihat ke arah bayi tersebut. Kami berjarak 1 gerbong jauhnya.

Fiuhhh! Aku menghela nafas. Kemudian aku melangkah mendekati tas biru itu.

Kemudian aku melihatnya. Bayi perempuan cantik itu. Matanya biru bagai berlian. Sangat indah. Tiba-tiba ia berhenti menangis ketika melihat ke arahku. Ia memejamkan matanya. Seolah anak Harimau yang dipeluk oleh induknya.

Aku tertegun melihatnya sangat tenang. Seolah ada hubungan batin yang dalam antara aku dengan dia. Dia nampaknya sudah terbang ke alam mimpi. Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Kemudian bibirku bergerak seraya tiba-tiba berbisik kecil.

Amanda!