Thursday, January 31, 2008

Next Project

After writing my own novel, Kisah Seorang Majus, now it's time to create my own music Album.

Yey... full of spirit.

Till now on I already created four songs:
1. Rain in The Doom
2. No Body Knows
3. Love Fill Me Again
4. Jalanku (OST of Kisah Seorang Majus)

Thankfully, I got additional track from my friends:
5. Lagu Untukmu (By Alm. Ogy; Arr: Ronald)
6. ? (By Jimmy)
7. ? (By Jimmy), at least he promised me
8. Kerinduanku (By Sari Simorangkir), I need to phone her before the recording.

I will contact my friends for the band and I also need several back-up singers here. Three women and one rapper.

Hmm... nice!

Hopefully this project can run smoothly. Maybe I'll execute it on March or April.

Here we go...

HSUPA Enhanced Uplink

Katanya gua orang Indonesia pertama lho yang pakai layanan ini. (Cie... cie...).
Apa itu HSUPA Enhanced Uplink?

Itu adalah layanan telco terbaru yang akan segera masuk ke operator-operator di Indonesia. Layanan ini sih sebenernya udah gak asing lagi untuk operator-operator luar negeri, tapi kalo di Indonesia, ini anyar banget.
Seperti yang kita ketahui bahwa suatu komunikasi nirkabel itu terdiri dari Uplink dan Downlink. Kira-kira begini gambarnya:


Nah, si Uplink dan Downlink itu punya kecepatan transfer data masing-masing. Satuannya itu lho, yang biasa kita dengar, kbps atau mbps.

Nah lagi, biasanya kecepatan transfer data
Uplink = 384 kbps,
Downlink= 3, 2 Mbps (Indosat).

Tapi kemaren waktu trial untuk Telkomsel, dengan fitur-fitur baru dari Ericsson, maka didapatkan kecepatan maksimal transfer data:
Uplink = 1,4 Mbps
Downlink = 5,6 Mbps.
Yippie. Dan itu ngetesnya pake laptop gua lho. Bukan laptop gua beneran sih, tapi punya kantor.

Contoh riil layanan Uplink misalnya kita mau upload file gitu ke suatu url atau ftp. Sementara kalo layanan downlink, ya sebaliknya download.

Sekarang bayangin kalo upload or download file dengan kecepatan segitu rupa! Mp3 mah cuman beberapa detik juga udah masuk di kompie kita. Kalo gua sih dengan layanan ini bakal banyak banget download film nih yang terbaru. DVD ripped-an gitu. Hehehehe.

Gitu dong. Ayo maju terus Indonesah...!

Monday, January 28, 2008

Good Bye Pak Harto

This noon I wathced a cut of funeral of ex-president of Republic of Indonesia. Seems like all TV station play that funeral. I saw Cendana Family spread the flowers onto the coffin. Also the President of Indonesia symbolized the buried by spreading the sands. It was military funeral. Not too crowded, but so many Important People come. Politicians, Governs, Generals, elses, all came together for the funeral. All gave the last respect for the Father.

He was believed as a dictator. Lot of bad things he had done in his life, they believed, but my self, I believe everybody has a mistake in their life. Whether it's small or big, every body has mistakes in their life.
Yet, in his funeral, lot of people gave him salut for his achievement in his life. It is true. At the end of someone else life, the good things conquer all the bad things.

As a human, I also regret for the mortality. But as we all know, we must die someday, and this is Pak Harto turns. It's alright I believe.

And in the end of his life, I would say:

So long Pak Harto, Farewell!
Whatever had happened, thank you for your life.

Sunday, January 27, 2008

Rehearsal at Bandung

Bandung, 27 January 2008

It's been a long time since I have rehearsal with ITB Choir. Finally, I got the assessment and start singing again with the choir. Gosh, it's very satisfying. To sing in harmony in a big choir.

Actually I also sang these days in choir at my church, but it's practically a small choir, stands of only 9 to 15 people. It was very difficult to build the harmony in small choir, that's why I was not too satisfied with the harmony.

Hmm... my hope also, as I start singing again in ITB Choir, great choir, I can share my skills to my small choir in church. So we can sing better and better.

The problem is to manage my time. As I also must share my time for both choir, for keyboardist schedule in Sunday Service, my brother wedding plan, my load work, etc. I believe God will help me regarding HIS priority.

Then I should ask from you also, prayers, so I can stay health and strong to do all this things.

Something big comes up. Some spirit needs to be collected.

Friday, January 25, 2008

Jakarta This Morning

Ojek Driver: When actually you must arrive at the office?
Lady Passenger: At nine

Then the Ojeg run slowly and smoothly through all the traffic. Seems the ojeg driver concern more to the safety than the velocity. It just 8.20 after all. I heard the conversation at the stop of red traffic light this morning.

Jakarta is gloomy this morning and so did my heart. Nothing special happened this day, just usual traffic which was going heavy in every red traffic light.

I met my friend, who also on his motorcycle this morning. But I refused to called him. Since I was in the full speed and also I was not sure enough if it was him. I messaged him later on and confirmed that it was really him.

Jakarta was not raining this morning, thank God for that, and no demonstration from demonstrats this morning. Neither in front of White House, nor Bunderan HI.

Jakarta was ready this morning, to start a new day and new busyness.

Tuesday, January 22, 2008

Berbohong

Gua sering menganggap diri gua adalah orang baik. Ya setidaknya gua menganggap diri gua begitu. Tapi gua baru nyadar kemaren, ternyata emang semua orang adalah jahat.

Hari minggu kemaren gua berbohong, gak tau kenapa gua memilih berbohong. Biasanya sih kalo gua berbohong pasti alasannya cari aman. Gak mau terlalu dipersalahkan.

Kayaknya gua mesti belajar banget deh masalah kejujuran ini. Ya, mesti mengatakan yang sebenarnya walopun itu menjatuhkan harkat dan martabat gua. Dan emang harkat martabat gua udah rendah kali, ngapain pula sok-sok dipertahankan.

Wakakaakakakakk...

Tapi emang sebaiknya gua mesti mulai jujur. Baik kepada orang lain maupun kepada diri gua sendiri.

Jadi mungkin sebaiknya tulisan ini gua ganti kali ya judulnya, bukan berbohong tapi Jujur. Jadi intinya jujurlah. Jujur ada dua.
1. Jujur kepada diri sendiri. Melihat diri sendiri apa adanya dan memperbaikinya.
2. Jujur kepada orang lain. Mengatakan yang sebenarnya, apapun kondisinya.

Itu lebih baik.

Z. Randall Strope

Z. Randall Strope. Seorang Composer

Kayaknya gua nge-fan deh ama orang ini. Setidaknya ada dua lagu dia yang udah pernah gua denger, dan, gua rasa musiknya dia itu cocok banget ama gua.

We Behold Once Again The Stars. Gua denger lagu ini di Video final Grand Prix Euro 2007 Arezzo-Italy. Yang nyanyiin Philippine Madrigal Singer. Ma'... bagus banget. Udah komposisinya bagus, koor-nya juga bagus banget. Mantabs. Kayak para malaikat lagi bernyanyi.

Satu lagi, Love of My Soul (Amor de mi Alma), iihh... bisa-bisanya nih bapak create lagu macam begini. Bikin damai hati kalo dengernya. Mana yang nyanyi juga bagus banget, suaranya pas banget.

Hmm... jadi pengen nyiptain lagu buat koor juga nih. Nti deh kalau terinspirasi.

Tuesday, January 15, 2008



Barusan gua ikut tes ini.


Blog ini termasuk level jenius.

Gua tau banget deh ini. Ini tuh cuma ngeliat panjangnya code html doang deh. Makin panjang pasti makin jenius. Makin pendek, pasti makin kurang jenius. Ah... ketebak.

Hehe.

My Fourth Song

This is my fourth song.

No body knows.

Another four songs, then I'll complete my first album.

But again, and still, my private collection. Since no one will buy it.


Reff:
No Body Knows
What You give for me is so big and real
No Body knows what You give for me
Whooaa…

In the deepest dark of my life
I am sucks and I’m alive
I am foolish I am dirty and I am worthy for a knife
Like a shadows walk in the dark
I am sinners with no light
I am faraway no reason to meet the heaven above

But You think it not so
By a grace you choose me so
And You give me a chance
To be walk in the love

Back to Reff:

And the Sun and the Moon
In the night in the noon
It’s Your grace that I liveth
It’s Your faith that I need

Rap:

No body knows no body knows
Only You and me to know uh’
What that I did where have I been who do I meet in the dark of me ah’

You really did You really meet, my real deep down of beast of my heart
It is You were not afraid and touch me and ask me to home with You ah’

Rapper and Lead Vocal Canonic:

And the Sun and the Moon (and with the Sun and with the Moon ah’)
In the night in the noon (I saw you grace standing for me ah’)
It’s your grace that I liveth
It’s your grace that I need

Kirim Naskah ke Penerbit

Baru pertama kalinya dalam sejarah hidup gua, gua coba menerbitkan buku.

Baru aja gua mengirim novel yang gua cipta kemaren ke tiga penerbit di Indonesia.
1. Escaeva
2. Penerbit Andi
3. Penerbit Kanisius

Semogalah novel gua ini diterima dan diterbitkan. Hmm... gila juga gua. Ternyata serius juga gua nulis.

Btw, buat siapapun yang pengen baca novel ini, boleh kirim email langsung ke gua ke sahathutajulubo@gmail.com. Nti langsung gua kirim deh softcopy-nya tapi ya.

Ntar kalo buku gua gak laku-laku juga di penerbit manapun, kayaknya gua bakal cetak sendiri aja deh. Sepuluh eksemplar. Buat koleksi pribadi ama buat temen-temen aja.

Hahahaha...

Mimpi jadi penulis terkenal nih gua.

Indonesia Ganti Nama

Biasanya kalo anak kecil sakit-sakitan, orang tua akan berinisiatif untuk mengganti namanya. Harapannya supaya anak tersebut tidak sakit-sakitan lagi. Beberapa masih melakukannya walaupun sebenarnya gak ngerti deh gimana logikanya bisa begitu. Something beyond my limit.

Contohnya temen gua. Dulu namanya Rifael Simarmata. Terus gara-gara dia sakit-sakitan (Mulai dari sakit panas, demam, sakit ayan, otak miring, syinting, sakit jiwa ampe sakit hati karena cinta) nama beliau diganti oleh kedua orang tuanya. Akhirnya ama beliau ditambah dengan Daniel, sehingga sekarang menjadi Daniel Rifael Simarmata. Meski begitu beberapa sakitnya belum bisa disembuhkan sampai sekarang, yakni sakit jiwa dan sakit gila. Wakakakakakakak... (Peace Niel!)

Back to the topic, Indonesia mungkin juga perlu mengganti nama. Pasalnya, udah sebelas tahun ini Bangsa ini sakit-sakitan. Siapa tahu dengan mengganti nama, bangsa ini menjadi lebih segar seperti pengalaman teman gua waktu itu. Lagi, keren juga kan kalo tiba-tiba ada suatu bangsa yang mengganti nama. Pasti jadi negara pertama di dunia yang mengganti nama. Siapa tahu bisa jadi trendsetter. Nanti negara-negara di dunia ikut-ikutan ganti nama. Bosen juga kan kalo namanya itu-itu aja.

Kalo gua sendiri punya beberapa usulan nama baru buat Indonesia:

1. Anthorexia (Jawa banget namanya)
2. Nismis (Mistis kan namanya)
3. Majusama (Jadi kalo lagi pertandingan internasional gampang nyorakinnya)
4. Indon-flexi or Indon-fren (rather than Indon-esia)
5. Endonesia (Soalnya waktu nyanyi lagu kebangsaan dibaca "e" bukannya "i")
6. Atau biar lagu kebangsaanya enak ganti aja namanya jadi "Diana", entar lagu kebangsaannya minta Koes Ploes aja yang nyiptain.
7. Hmm... nurut kamu nama barunya apa?


PS: just for fun

Monday, January 14, 2008

Persipura Vs. Sriwijaya FC

Untuk segala sesuatu ada yang pertama.

Dan minggu tanggal 13 Januari lalu adalah pengalaman pertama buat gua nonton bola live@senayan Jakarta.




Gara-gara ide yang diprakarsai oleh teman-teman gila gue, maka gua memberanikan diri nonton di Senayan. Buat gua itu adalah ide yang aneh banget. Secara:

1. Gua gak suka bola
2. Gua gak suka teriak-teriak
3. Senayan jauhnya 1 jam dari rumah gua
4. Gua masih ada acara keluarga juga hari itu

Pokoknya gak banget. Tapi akhirnya gua nekat dateng juga. Dalam hati gua, nonton beginian nih tarohannya nyawa. Kalo suporter salah satu tim ngamuk, wadoh bisa berabe. Bisa-bisa:

1. Abis kami digebukin
2. Ada peluru nyasar aparat keamanan

Tapi untunglah kejadian begitu gak pernah terjadi. Malah suporternya baik-baik aja tuh. Seneng gua.

Dan nonton live ama nonton di tivi beda.
Gemuruhnya beda
Rasanya beda
Teriakannya beda
Acaranya juga beda, gak ada iklan
Suporternya yahut.

Recommended juga ternyata nonton live itu.
Segala sesuatu pasti ada akhirnya. Kayaknya ini juga deh terakhir kalinya gua nonton bola live di stadion. Males euy. Pulangnya jam 00.30 pagi. Yang ada ngantuk-ngantuk di kantor.

Congrat untuk Sriwijaya FC yang jadi juara piala Copa tahun ini.

Hidup Indonesia!


Kisah seorang Majus (Bagian VIII)

The Messiah


”Ada seseorang di kereta kuda itu, ada orang di sana.” Salah seorang rombongan berbisik kepada Merchon pemimpin rombongan.

Merchon lalu menyiapkan senjatanya. Ia yakin itu adalah mata-mata Herodes. Ia yakin ada yang tidak beres dengan perkataan Herodes. Ia terlalu mudah melepaskan mereka, pasti ada sesuatu dibalik itu. Kini Merchon yakin dengan pikirannya itu. Merchon memerintahkan rombongan untuk berjalan seperti biasa sementara ia dengan kudanya mengarah ke kereta kuda yang berisi orang tersebut.

Dan saat menyingkapkan kain penutup itu alangkah kagetnya Merchon ternyata orang itu adalah seorang wanita.

”Apa maumu? Katakan sejujurnya atau pedang ini akan menusuk lehermu!” Merchon mengancam sambil menempelkan mata pedang ke leher wanita itu.

Gadis itu kemudian berkata-kata dalam bahasa asing, bahasa Yahudi. Merchon tidak bisa mengerti. Lalu Gaspar dan Baltazhar tiba di tempat itu.

”Ada apa?” Baltazhar yang duluan bertanya.

”Kita kedatangan mata-mata.” Merchon menjawab.

Wanita itu berambut tebal. Tubuhnya sangat indah. Ia berpakaian seperti seorang penari. Malahan, ia memang seorang penari. Suaranya sangat lembut dan ia terdengar sangat sopan. Yang sangat indah dari dirinya adalah matanya. Matanya sangat indah bagai Bintang Timur.

”Itu adalah sang penari” Baltazhar mengagetkan seluruh rombongan.

Iya itu adalah penari tadi. Yang menari di istana Herodes. Wanita yang sama yang mengisi buli-buli Gaspar di suatu desa yang mereka tidak kenal waktu itu.

Tiba-tiba wanita itu bergerak turun dan menyembah di hadapan Gaspar, sambil berkata-kata dalam bahasa Yahudi. Entah kenapa ia memilih Gaspar untuk dimintai tolong. Baltazhar sudah menduga akan hal itu.

Gaspar turun dari kudanya dan mengangkat wanita itu dari sujudnya. Gaspar menopang wanita itu untuk berdiri. Gaspar mengangkatnya dengan sangat lembut.

“Ehem.. ehem..” Baltazhar menggoda Gaspar.

“Tolong Baltazhar, katakan apa yang wanita ini maksudkan?” Gaspar memohon.

“Baiklah” Baltazhar menjawab. Katanya: “Ia menyukaimu”. Baltazhar menggoda Gaspar lagi.

Tatapan tajam mengalir deras ke arah Baltazhar. Kali ini tidak hanya dari Gaspar tetapi dari seluruh rombongan. Nampaknya gurauan Baltazhar sangat tidak berhasil.

“Baiklah. Ia minta diizinkan ikut rombongan ini. Katanya, Ia ingin melihat sang Mesias itu lahir. Ia memohon agar diizinkan untuk melihat Mesias itu. Ia berjanji tidak akan merepotkan. Ia hanya ingin ikut”. Sambil berlalu Baltazhar menggoda Gaspar lagi. ”Alasan saja sebenarnya itu mah, bilang saja dia ingin melihat Mesiasnya yang satu ini, hahahaha”. Baltazhar tertawa kecil.

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Penari itu diperbolehkan ikut oleh Gaspar dan Ia diberikan tempat oleh Gaspar di salah satu kereta kuda. Wanita itu mendapat perhatian lebih dari Gaspar, walaupun mereka tidak bisa berkomunikasi secara langsung.

Senja pun tiba. Mereka beristirahat di sebuah penginapan di suatu desa.

“Sebaiknya egnkau memberi makan wanita itu. Nampaknya ia sangat kelaparan.” Baltazhar menggoda Gaspar lagi.

Selanjutnya Gaspar minta diajarkan beberapa patah kata Yahudi oleh Baltazhar. Dan kemudian ia menghampiri wanita itu.

Gaspar memberikan kepadanya satu bungkus makanan. Wanita itu dengan malu-malu mengambilnya dan langsung makan di depan Gaspar dengan lahap. Baltazhar benar, wanita itu memang sangat lapar. Gaspar menikmati pemandangan di depannya, wanita yang mahal dengan lahapnya. Ia tersenyum sedikit. Ada sesuatu yang aneh di hati Gaspar. Ia belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Wanita itu balas memandang Gaspar. Ia menawarkan potongan makanan itu kepada Gaspar, namun Gaspar menolak. Ia menyuruh wanita itu menghabiskan makanannya.

Mereka tidak berkata-kata, tetapi mereka sepertinya saling mengerti. Gaspar memperhatikan lagi wanita itu, kali ini dengan sangat dalam. Ia memuaskan dirinya untuk berani menatap wanita itu dalam-dalam. Ia menyukai wanita itu. Dari pertama bertemu pun ia sudah suka. Wanita itu membalas tatapan Gaspar. Gaspar tak kuasa menahan tatapan itu. Buat dia itu sangat aneh. Sangat kuat hingga ia memilih untuk menoleh ke tempat lain. Ke luar kereta kuda itu. Dan saat ia menoleh ia melihat di atas sana. Bintang Timur.

”Bintang itu muncul lagi.” Mata Gaspar berkaca-kaca seraya mengatakannya. ”Bintang timur, sang Juruselamat. Aku akan datang kepadaMu.” Ia begitu terpana melihat bintang itu. Ia sangat berbahagia melihat bintang itu muncul kembali. Sebulir air mata mengalir di pipi Gaspar. Ia sedikit terisak karenanya.

Tiba-tiba segenggam tangan menggenggam tangan Gaspar. Itu adalah tangan wanita itu. Tangan itu sangat halus dan lembut. Tangan itu tidak hanya memberi kekuatan kepada Gaspar tetapi tangan itu juga terus merasuk ke hati Gaspar, menyentuhnya dan memberikan dia kesegaran.

Gaspar tidak sanggup melakukan apa-apa, ia hanya mampu menggenggam tangan itu kuat-kuat sambil tetap berkata-kata dalam hatinya. Akhirnya aku akan bertemu denganMu wahai penciptaku. Ia bahagia sekali malam itu. Bukan hanya ia melihat Bintang itu. Tangannya juga menggenggam tangan seorang wanita yang memberikan kesegaran kepada jiwanya.


Bintang itu menuntun mereka ke Betlehem kota kecil di bagian barat daya. Sebuah kota yang tidak terlalu besar. Ini memudahkan mereka untuk mencari Anak itu. Yang baru saja dilahirkan. Sang mesias.

Baltazhar dan wanita itu bertanya-tanya kepada seluruh isi kota mengenai bayi yang baru saja dilahirkan di tempat itu. Dan akhirnya mereka bertemu dengan Yusuf. Ia bukan penduduk asli kota itu. Ia hanya di situ untuk mendaftarkan diri untuk keperluan kependudukan.

Yusuf pun membawa mereka ke rumah penginapan mereka. Sambil jalan Yusuf menceritakan segalanya tentang Anak itu.

”Anak itu adalah anak kudus. Tuhan semesta alam sendiri yang mendatangi Istriku. Istriku di kandung Roh Kudus maka perutnya membesar dan Anak itu pun lahirlah. Mesias itu lahir di kandang domba, karena tak ada satupun penginapan yang kosong untuk kami. Ia lahir malam itu dan banyak gembala-gembala datang kepada Anak itu. Mereka mendengar kabar itu dari sepasukan bala tentara Allah. Mereka tiba-tiba saja datang menyembah Anak itu” Yusuf terus bercerita mengenai apa yang terjadi.

Setiap kata yang dikatakan Yusuf membuat seluruh rombongan itu berdegup keras jantungnya. Pikir mereka dalam hatinya tidak sia-sia seluruh pengorbanan ini, kami bisa menyembah yang maha kuasa pada akhirnya.

Sore hari itu, ketika tiba di penginapan tempat Yusuf dan Maria istrinya tinggal, mereka akhirnya melihat Anak itu. Bayi yang baru dilahirkan beberapa hari. Ia tidur tenang di tempat tidur itu. Saat itu juga semua dari mereka sujud menyembah dia. Kepala mereka sampai menyentuh tanah. Seperti apa yang mereka biasa lakukan di Persia. Penghormatan paling dalam yang pernah mereka lakukan.

Akhirnya mereka berkesempatan menyembah Raja Semesta Alam. Ia merendahkan dirinya turun ke bumi menjadi manusia untuk menebus dosa manusia. Gaspar memimpin penghormatan itu kepada sang Anak.

Satu kali

Tanda mereka menyembah yang mereka sembah dengan seluruh tubuhnya.

Dua kali

Tanda mereka menyembah yang mereka sembah dengan seluruh jiwanya.

Tiga kali

Tanda mereka menyembah yang mereka sembah dengan segenap rohnya.

Biasanya mereka akan langsung bangun dan memberikan persembahan kepada dewa yang mereka sembah. Tapi kali ini Gaspar yang memimpin penyembahan tetap membungkukkan dirinya sampai menyentuh tanah. Lama. Sangat lama. Pemujaan untuk Tuhan semesta alam.

Dan tiba-tiba Anak itu bersinar dengan sangat terang. Namun sinar itu tidak menyilaukan hati. Sinar itu membawa kedamaian bagi siapapun yang melihatnya. Sinar itu menyelidiki hati sampai kedalamannya. Dan seperti ada suara dalam bahasa yang mereka kenal berkata:

”AKU MENERIMA SEMBAHMU HAI PARA ORANG MAJUS. TERPUJILAH ENGKAU DI ANTARA ORANG-ORANG BERHIKMAT.”

Gaspar menatap anak itu dalam-dalam, dan ada suara berbisik kepada hati gaspar.

SUNGGUH AKU MENGASIHIMU GASPAR. AKU TAHU ENGKAU MENGASIHIKU. TERIMA KASIH UNTUK PERJUANGANMU MENYEMBAHKU. ENGKAU BERKENAN KEPADAKU, RAJA SEMESTA. ENGKAU TELAH DIAMPUNI. KESALAHAN MASA LALUMU DIAMPUNI. PEMBUNUHANMU TELAH DILUPAKAN. MULAI SAAT INI ENGKAU AKAN DIPANGGIL KERUB KARENA ENGKAU MENYEMBAHKU DENGAN BENAR.

Suara itu jelas terdengar di hati Kerub. Dan kemudian ia tertunduk dan menangis. Ia menangis begitu rupa. Lega rasanya mengetahui, ia seorang pembunuh, ia bersalah, namun yang terpenting ia diampuni. Raja semesta alam mengampuni Kerub. Kerub menerima pengampunan itu dan Ia berterima kasih untuk pengampunan itu. Hatinya seperti baru sekarang.

Alunan musik para malaikat mengiringi penyembahan mereka saat itu. Itu merupakan praktik penyembahan yang sangat dalam. Mereka sangat puas menyembah Raja Semesta Alam. Mereka tidak ingin itu berlalu. Mereka tertunduk, kepalanya menempel kepada tanah sangat lama. Dan sepertinya mereka tidak ingin berhenti.

Kemudian sinar itu pun reduplah. Mereka bangkit berdiri dan memberikan satu kotak persembahan mereka kepada Anak itu.

Gaspar sendiri mengeluarkan benda kesayangannya untuk diserahkan kepada anak itu. Kalung emas. Kalung itu adalah miliknya sejak kecil. Satu-satunya peninggalan ayahnya yang tersisa. Benda kesayangannya. Ia mengalungkannya untuk anak itu.

Cepatlah besar hai juruselamat.

Baltazhar melakukan hal yang sama. Ia mengeluarkan senjata rahasia seorang majus: Kemenyan. Ia memberikannya juga kepada anak itu.

Merchon yang masih terisak-isak memberikan Mur. Itu adalah titipan istrinya ketika ia mengabarkan ia akan bertemu sang Juruselamat.

Satu-satu dari mereka juga memberikan yang paling berharga dari mereka kepada Sang Juruselamat. Kini untuk mereka tidak ada lagi yang lebih berharga selain dari pada juruselamat itu sendiri.


Satu-satu dari mereka tidak ada yang bisa tidur malam itu. Mereka masih memikirkan kejadian sore itu. Itu adalah kejadian paling luar biasa dalam hidup mereka, tidak akan ada lagi yang seperti ini. Sekali seumur hidup. Sekali sejak dunia dijadikan sampai pada kesudahannya.

Setiap mereka mendapat pesan pribadi dari Raja Semesta alam. Itulah yang mereka pikirkan.

Kecuali Baltazhar. Ia terlelap dengan sangat di tempatnya. Bukannya Baltazhar seorang penidur, tetapi Raja Semesta Alam membuatnya tertidur pulas.

Kemudian seorang malaikat menghampiri Baltazhar dalam mimpinya:

”SALAM, JANGANLAH ENGKAU ROMBONGANMU KEMBALI KEPADA HERODES, MELAINKAN KEMBALILAH MELALUI JALAN DARAT”

Dan Baltazhar terbangun dari tidurnya. Ia lalu mengabarkan itu kepada Kerub. Namun nampaknya Kerub sedang asyik duduk berdua dengan wanita itu di depan sana. Mereka memandang bintang. Kerub mempesona wanita itu dengan pengtahuannya akan perbintangan.

Baltazhar pun pergi kepada Merchon, dan Merchon percaya kepada perkataan Baltazhar. Kalau kejadian seperti tadi siang belum pernah terjadi seumur hidupnya, mungkin ia tidak semudah itu percaya kepada Baltazhar, namun karena itu telah terjadi maka ia percaya kepada Baltazhar.

Merekapun kembali ke negri mereka dengan jalan darat. Mereka dianugerahi hikmat yang sangat besar oleh Raja Semesta Alam, sehingga mereka dapat kembali ke Persia dan menceritakan segala yang terjadi kepada Raja.

Cerita itu pun sangat luaslah terdengar. Tentang penyembahan orang-orang majus kepada sang Juruselamat. Dan orang majus membukukan hal itu pada buku besar mereka.

Cerita itu kemudian menjadi rumor, rumor itu pun menjadi kisah, kisah itu pun menjadi legenda. Dan legenda itu terus membahana di hati semua umat manusia.

Penyembahan orang majus tidak akan pernah terlupakan selamanya. Hanya sekali saja hal itu pernah terjadi. Sekali sejak dunia diciptakan. Sekali sampai akhirnya seluruh dunia tiba pada kesudahannya.

Kisah seorang Majus (Bagian VII)

The Journey

Semenjak peperangan dengan Romawi beberapa ratus tahun yang lalu, bangsa Persia jarang sekali melalukan perjalanan ke negeri asing. Apalagi mendekati daerah kekuasaan Romawi, itu sangatlah pantang bagi mereka. Sama saja bunuh diri. Tapi tidak bagi rombongan itu. Rombongan itu membawa surat resmi dari raja Persia: Parthia. Surat itu mendukung ekspedisi Gaspar dan rombongan mengikuti sang Bintang Timur. Setelah belasan tahun berdiam diri di atas gunung, kini Gaspar kembali ke dunia nyata , turun gunung mengikuti kata hatinya, mengejar sang Bintang Timur.

Tujuan rombongan perjalanan itu adalah Yerusalem. Suatu kota besar bangsa Yahudi. Memang itu letaknya di barat Persia. Daerah kekuasaan Romawi. Melalui daerah itu berarti harus melalui prajurit-prajurit Romawi yang bodoh yang tidak mengerti arti kuasa dari surat Raja Parthia. Gaspar sangat gugup menghadapi hal tersebut. Sekaligus dia sangat senang; senang sekali; ingin bertemu, dengan juruselamat versi dirinya sendiri.

Tidak banyak orang persia yang mengenal daerah orang Yahudi. Hubungan itu putus 300 tahun yang lalu ketika Romawi berhasil menguasai daerah itu. Hanya segelintir yang mengenal daerah orang Yahudi di Persia. Dan kalaupun ada, orang-orang tersebut pastinya dari barisan para majus. Menchor salah seorang Kapten kerajaan Parthia. Dia adalah seorang ekspeditur. Selain daerah barat, ia juga sering mengunjungi daerah timur, Cina. Menchor dipercaya raja untuk memimpin ekspedisi kali ini. Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang mudah. Musim kering membawa angin yang sangat menusuk. Padang gurun yang dilewati juga sangat menyeramkan. Angin malam bahkan lebih berbahaya lagi. Mereka akan berkemah di suatu tempat di padang gurun. Bersyukur jika ada desa atau penginapan saat malam. Bagaimana jikalau mereka harus membangun tenda di padang pasir. Mereka harus memperhitungkan waktu dengan tepat, sehingga pada waktu malam mereka tidak berada di luar. Angin puting beliung bisa saja melanda mereka dan merenggut segala persediaan mereka; bahkan mungkin nyawa mereka.

”Perjalanan ini akan ditempuh sekitar 6 bulan. Kita akan melewati jalur darat maupun jalur air. Ini tidak akan menjadi perjalanan yang mudah, tapi kita harus yakin kita berhasil. Selain itu kita juga membawa banyak sekali persembahan untuk Mesias yang kita tuju. Kita harus berhati-hati terhadap perompak di lautan lepas nanti. Kita harus siaga kepada para pencoleng dan gerombolan lain. Di atas semuanya itu, kita harus yakin kita akan sampai pada tujuan, sang Bintang Timur.” Merchon memberi semangat sebagai ketua rombongan.

Rombongan itu ada seratus orang lebih banyaknya. Rombongan itu terdiri dari 70 orang prajurit, 30 orang majus dan 30 orang budak yang bersama dengan mereka. Mereka semua berjalan beriringan mengejar sang Bintang Timur.

Awal perjalanan mereka berjalan dengan mulus; tentu saja mereka masih berada di daerah kekuasaan Persia. Sebentar mereka meninggalkan pelabuhan dan tiba di daerah orang Yahudi, daerah bangsa Israel, mereka harus berhati-hati. Akan banyak pemungut-pemungkut cukai yang akan menggerogoti mereka.

Di kapal itu, Gaspar sering sekali merenung. Waktu favoritnya adalah saat malam hari. Saat gelap dan hanya ada bulan dan bintang yang menerangi bumi. Ia suka sekali memandangi Bintang Terang itu. Bahkan sesekali terlihat Gaspar seperti bercakap-cakap dengan bintang tersebut, mungkin lebih tepatnya berkata-kata sendiri.

”Apa yang akan kau lakukan ketika pertama kali Engkau sampai ke Bintang Terang tersebut?” Baltazhar bertanya kepada Gaspar. Di situ juga hadir Merchon.

”Aku tidak tahu. Aku bahkan belum mampu membayangkannya.” Gaspar menjawab.

”Kalau aku, aku akan minta isteriku di sembuhkannya. Ia sudah lama sekali menderita. Aku tak tahan melihatnya.” Sang Kapten angkat bicara.

Gaspar dan Baltazhar kaget karena sang kapten berbicara seperti itu. Ternyata sang kapten juga memegang kepercayaan yang kuat dalam perjalanan itu. Setidaknya ia memiliki harapan. Gaspar sangat malu mendengar hal itu. Ia seharusnya memiliki harapan yang lebih kuat dalam perjalanan itu.

”Hmm… kalau begitu aku akan meminta supaya aku makin pintar dan makin berhikmat sebagai seorang pendeta majus. Aku ingin budaya pengetahuan ini tidak lekang dimakan waktu. Aku ingin kegiatan mengerus pengetahuan ini terus berkembang. Tidak hanya untuk Persia, tapi untuk kehidupan manusia.” Baltazhar juga mengeluarkan isi hatinya.

Keduanya kini melihat ke Gaspar. Gaspar tahu, sekarang gilirannya untuk mengatakan isi hatinya. Dengan sangat tertunduk Gaspar berkata:

”Aku hanya ingin bertanya apakah aku masih diterima. Aku adalah seorang pembunuh. Aku ingin diampuni, aku ingin diselamatkan.”

Kini ketiganya memandang bintang itu. Sambil bersandar di tiang pembatas kapal semuanya memandang Bintang Timur itu. Lo. Sang mesias.

Sang kapten memilih kembali ke tempatnya terlebih dahulu. Ia tahu esok hari akan berat. Mereka sudah tidak lagi didaerah kekuasaan Persia. Mereka akan masuk daerah Romawi. Mereka akan berhadapan langsung dengan tentara-tentara Romawi. Walaupun terdapat perjanjian damai antara Persia dan Romawi, walaupun ada surat kuasa dari Raja Parthia, namun segala sesuatunya bisa saja terjadi, apalagi didaerah orang Romawi. Belum lagi gurun yang harus mereka hadapi. Semuanya membuat sang Kapten gugup. Meski begitu Gaspar dan Baltazhar memilih tinggal di tempat itu dan berbincang-bincang. Mereka memang selalu begitu ketika bertemu. Ada saja yang dibicarakan.


Sudah lima hari lamanya rombongan itu berjalan. Beberapa orang budak terkena penyakit. Namun jangan ditanya, Pendeta Majus juga merupakan orang-orang yang tahu banyak tentang obat. Sebut saja mereka tabib. Sebut juga mereka ahli bintang. Sebut juga mereka ahli pengetahuan. Itulah hobi mereka, itulah hidup mereka.

Sampai saat ini mereka tidak menemui banyak kesulitan. Merchon adalah kapten yang handal. Semua perencanaannya tepat. Mereka belum pernah sekalipun menemui kesulitan. Terima kasih untuk peta yang dibuat Merchon. Begitulah jika pengalaman, keberanian dan pengetahuan bersatu; semuanya menjadi sangat baik dan teratur.

Mereka kini sudah berada di Yudea. Herodes adalah rajanya pada masa itu. Namun mereka tidak berencana menuju sana. Bintang itu tidak mengarah ke sana. Ke Yerusalem. Arah tenggara dari Yerusalem.

Di suatu kota yang tidak mereka kenal, mereka harus membeli bahan makanan untuk perjalanan. Kota itu adalah kota yang besar. Sang Kapten sangat gugup jika harus melalui suatu kota besar. Pikirnya, jika saja kita tidak perlu melalui kota-kota besar ini untuk membeli makanan, kita pasti aman. Namun itu mustahil. Hanya kota-kota besar yang mampu menyediakan kebutuhan untuk seratus orang lebih.

Di dalam kota Kapten selalu memerintahkan agar rombongan itu tetap bersatu. Tidak boleh berpisah. Dan yang paling penting adalah untuk tidak mencari masalah dengan prajurit-prajurit manapun.

Rombongan besar itu mengetuk pintu, seorang prajurit membukakan pintu gerbang yang besar itu.

”Kami adalah rombongan dari Persia, kami datang untuk suatu misi.” Sang Kapten angkat bicara sambil menunjukkan surat dari Raja. Merchon tahu persis prajurit itu tidak bisa mengerti tulisan, namun tetap saja ia pura-pura membaca. Tolol. Merchon berseru dalam hatinya. Tiba-tiba prajurit itu berbalik badan dan berteriak kepada teman-temannya dalam bahasa Romawi. Serentak seluruh prajurit itu tertawa.

”Orang Persia bodoh.” Baltazhar berbisik kepada Gaspar. Baltazhar bisa berbahasa Romawi. Ia sangat pintar. Ia juga mahir berbahasa Yunani. Ia yang menulis surat Raja itu. Pada zaman itu tulisan dan bahasa Yunani adalah bahasa Universal.

Gaspar mengangguk mendengar hal itu. Ia sedikit gugup. Ia melihat ke arah Kapten. Nampaknya Kapten juga mengerti kalau mereka sedang diolok-olok. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun mereka harus berbuat bijak di negeri orang lain. Tepatnya di negeri lawan.

Suasana menjadi sangat mencekam. Saat rombongan itu berjalan dan setiap tentara yang mereka lewati menelanjangi mereka satu persatu. Sepertinya mereka sedang memilih satu-persatu mana yang akan menjadi mangsa mereka. Para budak dalam rombongan itu tidak terlalu ambil pusing. Pikir mereka, paling akan pindah tuan saja. Namun lain hal dengan para majus. Mereka memang pintar, tapi tidak cukup berani untuk bertarung. Mereka memang tidak dididik untuk bertarung.

Sang kapten memerintahkan semua untuk menunggu di alun-alun kota dan tetap dalam satu rombongan, dan untuk tidak mencari gara-gara dengan semua pasukan yang berada di sana. Sementara sang Kapten, Gaspar dan Baltazhar menghadap Walikota di tempat itu, mereka beristirahat di tempat terbuka itu. Mereka semua memilih duduk.

Keadaan makin mencekam ketika beberapa perwira Romawi datang mendekat. Mereka berkata-kata dalam bahasa Romawi dan tertawa-tawa. Mereka tahu mereka sedang menjadi bahan tertawaan. Namun mereka memilih diam. Tidak satupun dari mereka yang berkeming. Bahkan tidak satu orang pun yang berbicara di rombongan itu. Mereka hanya terdiam dan mengalihkan pandangan dari perwira-perwira itu. Mereka takut keributan muncul di tempat itu.

Bukannya dianggap sebagai tamu, para prajurit Romawi menganggap mereka seperti anjing-anjing jalanan. Prajurit-prajurit itu seperti sedang mabuk. Mereka menyumpahi setiap orang yang ada di tempat itu, mengolok-olok ibu mereka dan mengutukinya satu persatu. Kini mereka lebih berani. Mereka menunjuk salah seorang dari pendeta majus dan memeragakan seorang wanita. Mereka sedang berkelakar kalau orang-orang majus adalah kumpulan para banci. Salah seorang prajurit Persia hampir saja berdiri dan ingin menantang mereka, untung saja temannya mencegah dia, dan prajurit itu kembali duduk.

Tiba-tiba perwira-perwira Romawi itu pergi dari tempat itu. Suasana menjadi sangat lepas kembali. Mereka seperti diizinkan berbicara seorang kepada yang lain. Seperti lepas dari kungkungan.

Belum beberapa menit mereka lepas dari kungkungan itu prajurit-prajurit romawi itu kembali lagi. Kali ini dengan massa yang lebih banyak. Mereka membawa kain perca. Kain itu berasal dari Persia. Kain itu digambar lambang kerajaan Persia.

Awalnya kain itu dikibar-kibarkan dihadapan mereka. Mungkin itu tanda damai. Tapi tiba-tiba bendera itu dilepaskan DENGAN SENGAJA dari tangan yang mengibarkannya. Bendera tersebut kini diinjak-injak. Bagaikan kasut kain perca berlambangkan kerajaa Persia itu diinjak-injak di tanah. Kini kain itu berwarna merah bercampur dengan tanah merah di tempat itu. Tidak cukup sampai di situ, para prajurit romawi mengencingi kain itu begerombol. Sambil tertawa-tawa.

Salah seorang prajurit Persia bangun dari duduknya. Ia berdiri tegak. Seorang diri. Ia memandang lurus ke arah prajurit-prajurit Romawi itu. Suasana menjadi sangat tegang. Semua orang dirombongan itu menjadi sangat panik. Entah apakah mereka masih bisa melihat bulan terbit lagi malam ini.

Prajurit Romawi tidak berhenti di situ. Mereka kini mengambil api dan membakar kain itu. Kini prajurit Persia yang berdiri tidak hanya satu orang. Hampir semua prajurit sudah berdiri di tempat itu. Orang kepercayaan Merchon mengambil inisiatif. Dari pada perang besar, dia harus membuat tontonan. Tontonan untuk semua orang. Ia juga memerintahkan Pathon untuk memanggil tuannya di tempat Walikota.

”Cepat panggil Kapten.” Letnan itu berbisik kepada Pathon.

Kini Letnan itu berdiri. Ia menanggalkan senjatanya. Baju perangnya. Semua yang melekat pada dia kecuali pakaian dalamnya. Ia mengajak duel seorang lawan seorang. Ia hanya ingin mengulur waktu sampai kapten datang dengan walikota.

Saat ini jumlah prajurit Romawi dan prajurit Persia sudah terbalik banyaknya. Prajurit Romawi berdatangan. Kini jumlah mereka sudah hampir dua ratusan banyaknya. Mereka semua berdiri di sebelah sana.

Seorang prajurit Romawi keluar dari barisan. Ia raksasa. Besar sekali. Tinggi sekali. Tingginya 3 hasta lebih dan badannya sangat besar sekali. Sang Letnan menelan ludahnya sendiri ketika melihat Prajurit Romawi itu. Tapi tantangan sudah dilemparkan, sang letnan harus bertanggung jawab untuk seluruh rombongan. Ia harus mengulur waktu.

Kedua kubu sudah berkumpul. Tentara Romawi di sebelah sana, tentara Persia di sebelah sini. Mereka kini bersorak sangat keras menyemangati jagoan mereka. Seperti sedang sabung ayam mereka berteriak-teriak.

Sang Letnan tidak banyak menyerang. Ia hanya menyerang seadanya. Aku tidak boleh menang. Aku tidak boleh kalah. Aku harus mengulur waktu. Ia melayangkan pukulan keras ke arah pipi kiri Raksasa itu. Pukulan itu mendarat persis di pipi raksasa itu, namun raksasa itu hanya tersenyum. Bahkan ia menunjukkan giginya yang rusak itu kepada sang Letnan. Sang Letnan sadar betul bahwa ia sudah memukul dengan keras dan cepat, namun itu tidak membuat raksasa itu berkeming. Ia malah seperti sedang dikelitiki dengan pukulan itu. Sebulir keringat menetes dari dahi sang Letnan. Sekarang ia harus menghadapi kematiannya sendiri dan tanggung jawab terhadap rombongan dalam waktu bersamaan. Ia sebenarnya sangat cemas, namun Ia tidak menunjukkannya. Tidak boleh. Itu hanya akan membuat rombongan itu makin cemas.

Perkelahian itu makin membosankan. Teriakan semangat itu berubah menjadi teriakan mengolok.

”Wooo… wooo… wooo…”

Tentu saja teriakan itu ditujukan untuk Sang Letnan. Dari tadi dia yang hanya menghindar dan tidak melakukan serangan. Serangan-serangan kecil yang dibuat sang Letnan sangat membosankan. Sang Letnan menyadari hal itu. Tak ada cara lain. Ia harus menyerahkan diri kali ini. Satu pukulan mendarat diwajahnya, satu bantingan pasti bisa membuat seluruh Prajurit Romawi itu bersorak kembali.

Betul saja. Raksasa itu berhasil menangkap dia, menguncinya. Dan seluruh pasukan romawi bersorak kesenangan. Sangat keras. Namun, hampir saja tulang Letnan tersebut dipatahkan Ia berhasil melepaskan diri.

Salah seorang majus berteriak dalam bahasa Persia:

”Jangan pikirkan kami dulu Letnan. Bunuh saja Raksasa Gendut itu. Kalahkan dia. Masalah nantinya bagaimana, nanti saja dipikirkan.”

Dalam keletihan, sang Letnan mengiyakan kalimat itu. Kini Ia siap menyerang. Sang Letnan sangat lincah dan adalah petarung yang handal. Raksasa seperti ini bukanlah pertama yang ia kalahkan, atau tepatnya ia bunuh. Letnan adalah seorang petarung yang buas. Ia memiliki insting yang kuat dalam pertarungan hidup mati.

Kini sang Letnan mengarah lengan kiri raksasa itu. Ia memelintirnya dan sang raksasa kesakitan. Keadaan berbalik, seluruh pendeta majus dan pasukan Persia berteriak kegirangan. Perkelahian makin seru. Sang Letnan berhasil mengunci raksasa itu. Raksasa itu berteriak sangat kesakitan. Namun begitu, raksasa itu tidak menyerah. Ia membalikkan badan dan kemudian, mendorong Letnan itu jauh untuk melepas kunciannya.

”Hmmh… tangguh juga kau gembul.” Gumam sang Letnan.

Tiba-tiba sebatang kaki menahan kaki Sang Letnan sehingga ia terjatuh. Itu adalah kaki salah seorang penonton dari pasukan romawi. Raksasa itu berlari dengan cepat ke arah Letnan, ia memijakkan kakinya ke arah Letnan. Untung saja sang Letnan sempat berguling. Hanya kainnya saja yang sedikit robek dan hampir lepas. Setelah membenarkan pakaiannya Letnan kemudian berdiri tegak lagi. Ia berlari sangat cepat dan seperti hendak menyerang raksasa itu dari depan. Namun ia tiba-tiba berputar ke arah belakang dan mengunci leher raksasa itu. Seluruh badan raksasa itu sekarang sudah terkunci. Sang Letnan menjatuhkan badan besar tak berkutik itu ke tanah. Sang raksasa sudah kalah, seluruh penonton mengetahuinya.

Tiba-tiba sebuah batu mendarat di kepala sang Letnan. Batu itu di lempar oleh salah seorang prajurit Romawi. Serentak seluruh orang ditempat itu menjadi kalap. Semua prajurit mencabut pedang masing-masing.

Pertarungan besar itu akhirnya terjadi.


Pathon, Gaspar, Merchon dan Baltazhar berlari sangat kencang menuju alun-alun kota. Dari kejauhan mereka mendengar suara pedang beradu dan gaduh yang sangat kuat. Sang kapten mempercepat langkah dan mendahului yang lain. Sementara itu walikota malah berjalan sangat santai. Sepertinya ia sengaja untuk berlama-lama. Padahal dialah yang bisa merelai pertempuran itu.

Saat Merchon sampai ke tempat itu, ia melihat sudah banyak mayat bergelimpangan. Tempat itu menjadi medan perang kecil antara pasukan Persia dan pasukan Romawi. Spontan ia berteriak dalam bahasa Romawi dan Persia bergantian:

”Berhenti! Berhenti! Lepaskan pedangmu, turunkan senjatamu.”

Seluruh pasukan Persia mundur dan membuang pedangnya. Namun tidak begitu dengan pasukan Romawi. Sekalipun berhenti mereka tidak menjatuhkan pedangnya. Mereka seperti makin haus dengan lebih banyak mayat di alun-alun itu.

Kemudian kereta kuda dengan Walikota didalamnya tiba di tempat itu. Walikota itu berkata-kata dalam bahasa Romawi kuno, kemudian seluruh pasukan menurunkan senjatanya. Kemudian Walikota berbicara kepada Merchon, sang Kapten, dalam bahasa Yunani yang terbata-bata.

”Kami, tidak mampu membantu kalian. Persediaan kami juga hampir habis. Pergilah ke kota lain.”

Merchon memerintahkan orang-orangnya untuk berkemas dan untuk sesegera mungkin bergerak. Makin cepat mereka berangkat makin baik. Makin jauh mereka dari kota itu saat malam tiba makin baik. Kapten takut akan pengejaran di malam hari.

Rombongan itu semua tahu, keadaan akan tidak semulus perjalanan-perjalanan sebelumnya. Mereka kali ini b erangkat tanpa persediaan makanan, mereka harus sangat berhemat. Perjalanan ini bukan lagi perjalanan piknik. Kini ini bisa menjadi pengejaran dan penderitaan. Mereka harus siap dan makin siaga.

Semua orang yang terluka dipanggul oleh mereka yang masih kuat. Biar bagaimanapun mereka letih. Namun mereka harus terus berjalan dari kota itu. Harus jauh dan tidak beristirahat.

Malam hari mereka terus berjalan, tidak biasanya Kapten memerintahkan hal ini. Pasti ada sesuatu yang tidak beres kali ini. Gaspar bertanya kepada Merchon:

”Apakah ada yang tidak beres, mengapa kita masih terus berjalan?”

Merchon menjawab. Tapi bukan dengan kata-kata. Ia menempelkan kupingnya ke tanah. Gaspar mengikutinya. Gaspar mengerti maksud sang Kapten.

”Mereka hanya tertinggal beberapa jam saja dari kita. Tidak ada cara lain. Kita harus berpisah.” Kita harus memecah dua. Jalan yang teraman adalah ke Yerusalem.

“Biar kami yang menghadang mereka Kapten. Sebaiknya engkau terus melanjutkan perjalanan ini bersama mereka. Hanya sampaikan salamku kepada Sang Mesias.” Sang Letnan memberi solusi.

Kapten tahu, juga sang Letnan, kalau itu adalah satu-satunya cara untuk meneruskan misi ini. Mereka harus berpisah.

Dari kejauhan prajurit-prajurit romawi itu dapat melihat rombongan Persia memecah diri menjadi dua. Mereka melihat obor api yang dibawanya. Mereka melihat telapak kaki di kasut mereka. Mereka ditugaskan membabat habis para majus. Pendeta majuslah yang selalu menggagalkan Roma menguasai Persia. Kalau kali ini mereka bisa dibantai habis, pasti seluruh Persia akan sangat mudah dikalahkan.

Mereka pun memilih jalan ke Tenggara. Ke arah Bintang Timur itu. Merchon memang telah menceritakan perihal pengejaran bintang itu kepada Walikota.

Pasukan romawi itu memacu kudanya lebih cepat. Sambil berbisik kejam sang kepala pasukan berkata:

”Mari bantai seluruh orang-orang majus itu.”


Gaspar, Baltazhar, Merchon dan orang majus lainnya berlari sangat kencang. Kencang sekali. Dinginnya angin malam tidak lagi bisa menusuk mereka. Ketakutan yang lebih dalam mengancam mereka. Kematian. Pengejaran oleh pasukan romawi. Mereka berlari sekuat tenaga di padang yang luas itu.

Pasukan romawi berhasil menyusul mereka. Mereka melihat jubah-jubah para majus tertiup angin dari kejauhan. Mereka juga melihat buku demi buku dijatuhkan. Nampakanya mereka tahu mereka sedang di kejar. Pemimpin pasukan itu memerintahkan pasukan kuda itu bergerak lebih cepat.

”Kita bantai mereka. Kita permainkan dulu mereka. Hahaahaha.....”

Para orang majus itu berlari sangat kencang tidak ada waktu istirahat untuk mereka. Pikir mereka dari pada kematian melanda mereka.

Pasukan romawi berhasil mengepung para orang majus itu. Mereka mengelilingi mereka dan berhenti tepat menghalangi orang-orang majus itu. Orang-orang majus itu tertunduk. Sepertinya mereka sangat takut. Pasukan romawi mulai turun satu-satu dan mendekati para orang majus itu. Mereka mulai mempermalukan mereka lagi dan mulai meledek mereka lagi. Kali ini dengan lebih garang. Karena mereka tahu nyawa orang-orang majus itu ada ditangan mereka saat ini.

Pasukan romawi makin mendekat dan tertawa, ketika tiba-tiba terdengar suara pedang berdesing tercabut dari sarungnya. Dan tiba-tiba ada yang berteriak:

”Ini jebakan!”. Teriakan itu terdengar dari mulut kepala pasukan romawi.

Suara pedang beradu terdengar dikejauhan. Merchon tau Pasukan Sang Letnan sudah mulai bertempur dengan pasukan Romawi. Merchon memerintahkan seluruh orang majus itu untuk bergerak lebih cepat. Orang-orang majus itu tidak lagi menggunakan jubahnya. Mereka semua telah menanggalkannya. Jubah dan kasut mereka, mereka berikan kepada 70 pasukan pemberani dan 15 orang budak yang berperang saat ini dengan pasukan romawi. Mereka terus berlari sampai akhirnya matahari terbit dan mereka tiba di suatu desa kecil. Desa orang yahudi. Ketika melihat rombongan besar itu mereka seperti ketakutan. Sampai akhirnya ada seorang wanita yang mengisi tempat air mereka. Setelah mengisi tempat air mereka, wanita itu pergi begitu saja. Aksi itu diikuti oleh banyak wanita lainnya. Mereka mengisi tempat air minum mereka itu satu demi satu dan kemudian pergi.

Sampai tibalah giliran tempat air minum Gaspar yang diisi. Seorang wanita wajahnya tertutup kerudung hendak mengisi tempat minum Gaspar. Dalam sekelebat mata, pandangan mereka bertemu. Apakah ini. Gaspar mengingat akan keindahan Bintang Timur ketika Gaspar melihat kedua bola mata wanita itu. Sangat cantik. Sangat indah. Gaspar terpesona. Belom pernah seumur hidupnya dia terpesona dengan seorang wanita. Ia telah mengorbankan masa mudanya untuk dendamnya.

Wanita itu menuang sedikit air dari buli-bulinya ke buli-buli Gaspar yang terbuat dari kulit hewan. Setetes air mengalir turun dari buli-buli itu. Buli-buli Gaspar bocor. Cepat-cepat ia meminum air dari wanita itu. Gaspar meneguk air itu dengan sangat dalam. Ia memang sangat kehausan. Gaspar bahkan boros dengan air itu. Selain diminum ia juga menumpahkan seluruh air itu ke mukanya. Ia menengadahkan wajahnya ke langit dan menuang seluruh air itu ke mukanya sambil ia menutup matanya dan membuka mulutnya untuk minum. Ini menimbulkan kesan basah pada Gaspar, dan memang untuk ukuran pria 40 tahun-an Gaspar masih sangat gagah. Ia dahulu adalah seorang komandan pasukan, tentu saja ia masih terlihat sangat kekar.

Wanita itu belum beranjak. Entah karena kasihan atau apa, wanita itu menukar buli-buli milik Gaspar dengan miliknya. Kemudian ia pergi. Bersama dengan seluruh rombongan wanita pengambil air itu. Mereka semua menggunakan kerudung. Seluruh tubuhnya tertutup kecuali kedua belah matanya. Setelah beberapa langkah, wanita itu menengok kebelakang melihat kepada Gaspar. Ada yang aneh dengan pandangannya. Gaspar menyukainya.

Sekarang tinggal Gaspar melihat wanita itu berjalan dari belakang. Angin berhembus meniup kain wanita itu. Akibatnya kain wanita itu menempel ketat dengan kulit, mulai dari bagian leher hingga ke tumit. Gaspar menikmati tubuh wanita itu dengan pandangannya. Untuk pertama kalinya, ia tergoda oleh seorang wanita. Ada perasaan aneh yang mengusik hatinya tiba-tiba. Rasa penasaran yang tak tertahankan. Sampai tiba-tiba ada suara yang mengganggunya:

”Wanita hah...?”, itu adalah suara Baltazhar. ”Akhirnya terbuka juga matamu akan keindahan seorang wanita?”

”Kau sendiri, kenapa kau tidak menikah?” Gaspar balas menyerang.

”Hahahahaa... aku pendeta majus Gaspar, aku tidak akan menikah. Dan lagi sepertinya tidak akan ada wanita yang mau kepadaku. Hahahahahaha...”

Mereka berdua tertawa. Kini mereka mengikuti rombongan Persia ke arah mata air. Nampaknya air dari wanita-wanita tadi kurang untuk memuaskan rasa haus seluruh rombongan.


Bintang itu tidak ada. Ia tidak ada di timur. Ia juga tidak ada di Barat. Ia tidak ada di utara maupun selatan. Ia tidak ada di mana-mana.

Gaspar bisa menangani sakit, kehausan, kelelahan, maut di depan mata. Tapi ia tidak siap dan tidak akan pernah siap kehilangan Bintang Timurnya. Ia sama sekali tidak siap. Ia memacu kudanya sangat cepat ke arah timur, ke arah barat, Ia pergi selama beberapa jam untuk mencari bintangnya. Sudah lama ia tidak mengeluarkan tenaga sebanyak itu. Sekalipun ia dahulunya adalah seorang prajurit terlatih, namun tubuhnya tidak mampu menahan pengeluaran tenaga yang berlebihan seperti itu.

Tidak dapat dipungkiri, bukan hanya Gaspar yang cemas. Seluruh rombongan Persia pun cemas, akankah Bintang Timur itu kembali muncul. Bintang yang selama 5 bulan ini menuntun mereka, kini hilang seperti ditelan langit. Semua orang cemas bagaimana melanjutkan perjalanan ini ataukah pulang dan tidak tahu menjawab apa kepada raja.

Gaspar termangu seorang diri malam itu. Desa demi desa telah mereka lalui. Tidak mungkin. Ini terlalu cepat. Tidak mungkin bintang timur menghilang. Ini belum waktunya. Kata Gaspar dalam hatinya. Ia sangat terpukul. Ia membayangkan ia tidak jadi bertemu dengan juruselamatnya.

Ia terlalu putus asa. Sampai-sampai ia berpikir. Akh, lagi pula Ia belum tentu nyata.

“Hanya ada satu cara, kita harus ke Yerusalem. Kita bertanya kepada ahli-ahli kitab mereka”, suara itu membangunkan lamunan Gaspar. “Mereka pasti bisa menjawab di mana tempat itu berada.” Suara itu adalah suara Merchon.

“Hmm, tidak mungkin. Kita bisa tertangkap jika kita pergi ke sana. Pakaian kita lusuh. Raja Herodes pasti akan bertanya kenapa bisa seperti ini. Kenapa kita tidak lagi membawa apa-apa. Apa yang akan kita jawab jikalau begitu? Kalau kita beritahu kita dikejar pasukan Romawi, nanti malahan kita diserahkan kepada pasukan Romawi di tempat itu.”. Gaspar mengisyaratkan bendera putih tanda menyerah.

“Apakah engkau berisyarat untuk menyerah?” Merchon tak percaya Gaspar bisa seperti itu.

Gaspar tidak menjawab dan memilih diam.

“Sudah sejauh ini, seluruh anak buahku bahkan telah mengorbankan nyawanya untuk kita bisa bertemu dengan si Bintang Timur dan engkau mau menyerah begitu saja”. Merchon menarik lengan baju Gaspar. Ia sangat kesal.

Gaspar tidak marah Merchon kesal. Ia malah tertohok dengan perkataan sang Kapten. Ia tetunduk. Ia menatap Merchon dalam-dalam. Ia sangat kaget dengan semangat sang Kapten. Nampaknya tidak ada sedikit pun keraguan darinya tentang keberadaan sang Juruselamat. Apakah dia benar-benar ada atau tidak nantinya. Gaspar malu; malu sekali. Ia yang sudah menggali langsung mengenai Bintang Timur malah masih meragukannya, sementara Merchon yang hanya mendengar bisa sangat terbakar untuk bertemu dengan Bintang Timur.

Merchon mendorong Gaspar seraya melepaskan genggamannya pada baju Gaspar. Ia melangkah menjauhi Gaspar, membelakangi Gaspar.

Gaspar dan Baltazhar sekarang saling menatap. Ruangan itu kini menjadi hening. Ruangan itu berbentuk kotak, luasnya setara dengan dua kali tempat penyembahan orang Persia kepada dewa-dewa. Angin di luar bertiup sangat dingin. Angin itu seolah-olah menambah keraguan Gaspar malam itu.

”Engkau memang benar-benar seorang Kapten”. Gaspar memecah kesunyian. Ada nada optimis di gurauan dia kali ini.

Baltazhar tersenyum dan ia siap untuk petualangan kali ini.

”Kita berangkat esok pagi ke Yerusalem. Kita harus ekstra hati-hati besok.”


Raja Herodes adalah raja yang terkenal akan ketamakannya. Ia memakai banyak sekali perhiasan di tubuhnya. Kalung, gelang tangan, gelang kaki, seluruh tubuhnya menggunakan banyak sekali perhiasan-perhiasan. Jubah yang digunakan pun terbuat dari campuran satin dan sutera. Namun itu semua tetap tidak bisa menutupi sifat buruk Raja Yahudi itu. Ia sangat rakus. Ia juga memiliki banyak sekali selir. Ia bukan raja yang arif. Ia hanya penerus tahta dari Raja sebelumnya. Perut gendutnya mengisyaratkan hatinya yang jahat. Rakyat tidak suka kepadanya, ia hanya berlindung dibalik kekuasaan pasukan Romawi.

Beberapa tahun yang lalu ia mengeluarkan konsep pemungut cukai. Orang yahudi akan ditarik pajak oleh Raja dan pajak itu akan digunakan untuk kepentingan rakyat, terutama diteruskan untuk menjadi pajak bagi Kaisar Agustus. Namun itu sebenarnya hanya proposal semata saja. Praktiknya, Raja memerintahkan untuk pemungut cukai mengambil dua kali lipat dari yang disyaratkan oleh Kaisar Agustus. Hal ini benar-benar mencekik rakyat. Dan jikalau, ada rakyat yang tidak membayar, maka pasukan romawi yang akan langsung turun tangan mengatasi pemberontak tersebut.

Baltazhar harus sangat hati-hati berbicara kepada Raja. Ia tidak boleh salah langkah. Ia adalah satu-satunya orang yang mampu berbahasa Yahudi di tempat itu. Kepentingan Baltazhar hanya satu, yakni Bintang Timur, di luar itu ia tidak tertarik. Namun Herodes tetap Herodes, tidak ada sesuatu yang gratis bagi dia. Dan Herodes sangat licik.

”Paduka, perkenankan kami orang-orang majus dari Timur nan jauh di sana, menghadap paduka untuk membawa persembahan yang kami bawa.” Baltazhar berbicara dalam bahasa orang Yahudi.

”Ouw... emas yang bagus, kain perca dari persia, hmm.. mutiara yang indah...” Herodes berjalan ke sana ke mari melihat upeti untuknya. ”Hmm... untuk semua ini, apa yang kalian inginkan dariku?” Herodes bisa mencium kepentingan dari orang-orang Persia itu.

”Kami ingin meminta petunjuk. Dimanakah Dia, raja orang yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.”

Herodes kaget setengah mati mendengar hal itu. Ia dan seluruh orang di tempat itu. Bagaimana mungkin ada Raja lain selain daripadaku?
Kenapa waktu aku lahir tidak ada orang yang memberikan persembahan kepadaku?
Siapa calon Raja itu. Apakah anakku nanti tidak menjadi Raja?
Bagaimana bisa orang-orang ini mengetahui sementara aku tidak?
Berbagai pertanyaan terbersit di pikiran Herodes.

”Kami hanya ingin mengetahui tempatnya. Mungkin ahli-ahli kitab bangsa ini bisa membantu kami.”

Herodes, tidak langsung menjawab. Pikirannya melayang ke tempat lain. Masih bertanya-tanya akan segala sesuatu.
Ah, ia tidak mungkin begitu saja jadi Raja. Lagi katanya dia baru lahir. Mungkin setelah aku tua. Dan lagi mana mungkin ada raja yang dapat bangkit melawan kerajaan Romawi.

Akhirnya Herodes menjawab: ”Bagaimana kalau kalian bermalam dulu di istanaku ini, nanti akan ku kumpulkan imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat untuk membantumu.”

Baltazhar, Gaspar dan Merchon berdiskusi dalam bahasa Persia. Herodes tidak mengerti apa yang mereka katakan. Ia benci jikalau hal seperti ini terjadi. Ia takut orang-orang Persia itu merencanakan sesuatu yang buruk kepadanya.

”Paduka, jikalau boleh, dan dengan tidak mengurangi rasa hormat, bagaimana jikalau, imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat engkau kumpulkan kemari. Kami sedang bergegas. Tidak banyak waktu lagi yang kami miliki.” Baltazhar menjawab Raja. Nampaknya itu adalah hasil diskusi mereka bertiga.

”Oh... kalian ingin yang cepat yah? Baiklah kalau begitu. Pengawal panggilkan para imam kepala dan ahli taurat. Sementara itu mari kita hibur tamu-tamu kita ini dengan apa yang biasa kita lakukan.” Herodes menyetujui permohonan Baltazhar.

Tidak beberapa lama kemudian terdengar kecapi dan gendang yang ditabuh. Musik mulai mengalun. Musik yang asing bagi orang-orang majus itu. Tidak beberapa lama kemudian, seorang penari muncul dari belakang. Ia adalah seorang wanita. Tubuhnya sangat mulus. Bentuknya indah seperti kecapi. Rambutnya tebal hitam. Ia meliak-liuk kesana-kemari dengan sangat luwes. Ia mengenakan cadar transparan menutupi sebagian wajahnya. Tubuhnya tertutup celana panjang berwarna jingga, dan penutup payu dara yang juga berwarna jingga juga. Sementara itu bagian perut dan punggung bawahnya terlihat bebas sangat mulus, dan sangat menggoda. Herodes sangat menyukai hal-hal seperti ini.

Wanita itu kini mendekati Gaspar yang sedang terduduk di lantai. Wanita itu berdiri tepat di depannya. Bahkan kadang secara sengaja, gadis itu menyentuh Gaspar. Gaspar menikmatinya. Sampai suatu saat Ia bertemu pandang dengan wanita itu. Ia mengenali mata itu. Mata yang sangat indah. Ia teringat Bintang Timur, ketika melihat tatapan itu. Itu adalah wanita yang menuang air ke buli-bulinya. Gaspar mengenalinya.


Apa yang dilakukan dia di tempat ini. Atau, apakah yang dilakukannya di sana waktu itu? Gaspar bertanya-tanya dalam hatinya. Namun, Gaspar suka wanita itu ada di situ. Ia menari, kini dengan sangat serius, di depan Gaspar. Walaupun ia telah menjauhi Gaspar dan kembali ke tengah ruangan, ia sesekali menatap ke arah Gaspar. Gaspar tidak berkedip melihat wanita itu menari. Entah mengapa, tarian wanita itu menjadi sangat indah, lebih indah dari yang pertama-tama tadi.

Baltazhar yang dari tadi memperhatikan keduanya, Gaspar dan sang Penari, bertatap-tatapan, bertanya: ”Apakah itu wanitamu yang waktu itu?”

Gaspar melihat ke arah Baltazhar dan menjawab: ”Iya, itu dia. Bagaimana mungkin yah ia berada di sini?”.

“Aku tidak tahu” Baltazhar kembali menikmati buah-buahan yang dihidangkan di depannya. Dan kembali melihat tarian itu.

“Apakah kamu suka dia?” Baltazhar bertanya lagi, penasaran.

“Ah... kau ada-ada saja. Aku kan sudah tua.”

”Memang kenapa kalau sudah tua. Lagi kau masih terlihat sangat gagah koq, wajar saja kalau banyak wanita suka kepadamu. Salah sendiri kenapa tinggal di gunung, jadi perjaka tua. Hahaha...” Baltazhar tertawa kecil.

Kini pandangan Gaspar tidak lagi mengarah kepada wanita itu, melainkan kepada Herodes. Ia sedang dibisikkan sesuatu oleh salah seorang pengawalnya. Gaspar sangat takut kalau itu adalah info bahwa mereka adalah buronan pasukan romawi di suatu kota. Ia takut kalau Herodes menyerahkan mereka kepada bangsa Romawi. Merchon juga mengamati kejadian itu. Ia kemudian menyentuh lengan Gaspar tanda Ia juga cemas dengan isi bisikan pengawal itu.

”Imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat datang!” Salah seorang penjaga istana berteriak.

Sekumpulan orang-orang dengan jubah abu-abu hitam memasuki tempat itu. Janggut-janggut mereka sangat tebal dan panjang. Kira-kira lima puluhan umur mereka semua. Semua mereka menggunakan tudung di kepalanya. Mereka kelihatan sangat kompak. Mereka melihat wanita penari itu dengan sangat nazis. Gaspar memperhatikan hal tersebut. Nampaknya kehidupan penyembahan di Yahudi sangat kental.

”Kami menghadap raja, dan telah membawa apa yang raja minta” Salah seorang dari mereka, yang paling tua, sepertinya itu pemimpin mereka, angkat bicara.

”Jadi, dimanakah Raja Orang Yahudi itu akan lahir?” Herodes langsung bertanya tanpa basi-basi. Tidak biasanya ia seperti itu.


“Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikian ada tertulis dalam kitab nabi: Dan engkau sekali-sekali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.“

“Betlehem tanah Yudea! Bukankah itu nama sebuah kota kecil di barat daya?“ Herodes bertanya.

“Benar Raja, Betlehem kota kecil itu“

“Jadi di sana orang yang disebut-sebut Mesias itu akan lahir?“ Herodes menimbang-nimbang.

“Hai orang majus katakan kepadaku, kapankah Bintang Timur itu muncul?“ Herodes bertanya. Ada yang aneh pada perkataannya.

“Kami melihatnya dari beberapa bulan yang lalu. Sudah sekitar 6 bulan kami melihat Bintang Timur ini.” Yang menjawab kali ini adalah Gaspar. Mereka tidak tahu arah pembicaraan Herodes.

”Kalau begitu pergi dan selidikilah dengan seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya akupun datang menyembah Dia”. Herodes berbohong. Ia ingin membunuh Anak itu. Ia tidak rela tahtanya diambil orang lain.

Maka seluruh rombongan itu bergerak ke arah barat daya. Ketika sampai di pintu gerbang tampillah Merchon menghitung jumlah rombongannya. Mereka membeli perbekalan dari kota Yerusalem dan membawa beberapa kereta kuda dan gerobak bersama mereka. Persediaan itu seharusnya cukup untuk beberapa minggu ke depan. Untuk mereka boleh sampai di Betlehem tanah Yudea. Maka berjalanlah rombongan itu ke arah barat daya. Mereka tidak tahu apalagi yang akan menimpa mereka kali ini di depan, tapi telah keluar dari Yerusalem setidaknya mampu membuat mereka bernafas lega.

Wednesday, January 09, 2008

Horison Bandung

Wuiiiihh.... bravo, standing applause deh buat hotel ini.

Gua termasuk orang yang sering banget nginep di tempat ini. Sejarahnya gua nginep sini adalah:

- tahun 2006, training dari CMI untuk Indosat.

- tahun 2007, tugas dari Ericsson

- tahun 2008, tugas dari Ericsson.

Berarti udah tiga tahun gua mengikuti perkembangan hotel ini. Tahun 2006, Hotel ini gak punya apa-apa. Ada sih kolam renang tapi, ya gitu deh. Udah gitu air panasnya sering mati. Gak konsisten. Dulu juga hotel ini kayaknya murahan. Makanannya kurang enak.

Tahun 2007 masih sama. Makanan gak enak. Tapi waktu itu lumayan, ada wifi gratis.

Sekarang, makanannya jadi enak, gak tau kenapa. Mungkin mereka mengoreksi diri. Udah gitu, wifinya ngebut dan gak putus-putus. Mau konek seharian juga oke nih dari kamar. Wah, mantabs lah hotel ini.

Begitulah kalau mau mengoreksi diri sendiri. Dengan rendah hati mau belajar, akhirnya bisa menyediakan layanan yang terbaik untuk para kustomer.

Nampaknya strategi bisnis yang bagus tuh.

Monday, January 07, 2008

my third song

This song is soundtrack of Kisah Seorang Majus.
You can find it here.


Kuberjalan di bawah terang kumelangkah dalam tuntunanMu

Kumenari dan kubersuka dalam tegap langkahku kuberlari

Reff:

Dan kan ku temukan oh Tuhan Raja dan Jurus'lamatku

Hingga ku temu wajahMu Hingga ku temu paras wajahMu

Dan kulepaskan rinduku dan kulepaskan getirku

Dalam pandangan mataMu dalam dentuman kasihMu


Kau berbisik di dalam hatiku Engkau tahu kediaman jiwaku

Kau mendera sesak di hati dan kan ku lepaskan segala luka


(Back to Reff)

Hingga ku temukan isi hatiMu oh Tuhan

(Back to Reff)

Friday, January 04, 2008

As Love Fill Me Again

My Second Song.

You can play it here.


Tonight I stay, tonight I pray
Tonight I thank You God for someone in the rain
Tonight I rise, tonight I smile
Tonight I realize an angel to my life

I can go wrong, I can go strong
I can breath inside your faith
I am certain though I am burden
My wings arose as love fill me again

And as I combat the world
I'm alone in the dark
And as I receive your grace
I am saved by your hand


PS: Sorry for the damage voice.



Thursday, January 03, 2008

Gara-gara Nulis Novel

Waduh gara-gara nulis novel jadi males nulis yang lain nih.

Dasar emang gua gak bisa multitasking sih orangnya, kalo udah ngerjain yang satu mesti ditekuni ampe selesai baru bisa lanjut ke yang lain. Ada baiknya juga sih, tapi tentu aja ada buruknya juga. Baiknya gua berarti bisa konsentrasi ke satu titik tanpa bisa diganggu oleh yang lain pada satu waktu tertentu. Buruknya gua gak bisa mengerjakan sesuatu yang paralel bersamaan. Padahal kan kerjaan riil gua dateng selalu berparalel. However, gua mesti bisa deh multitasking itu walopun tersendat-sendat. Nampaknya harus memaksakan diri untuk hal itu.

Tapi seneng juga sih. Akhirnya sekali seumur hidup gua pernah nulis novel. Karya sendiri. Hahahahahaha... Walaupun kualitas sangat rendah, tapi lumayan, yang penting pernah.

Pula novel yang gua tulis berbau christmas, jadi gua seneng-seneng aja en semangat banget ngerjainnya. Ya, harus semangat lah. Tinggal 2 bab lagi. Ayo maju terussssss.

Sambil baca buku lain juga.

Wah, masih berasa liburan nih. Harus dikelarin nih novelnya minggu ini. Nti jadi males kerja lagi gara-gara ini.

Hihihihihi...

Wednesday, January 02, 2008

Kisah Seorang Majus (Bagian VI)

The Scripts of Messiah

Aku pembunuh. Aku membunuh. Aku tidak dilahirkan untuk membunuh. Mengapa aku mampu membunuh. Menggantikan rasa dendam yang selama ini telah menggerogoti hati Gaspar selama ini, rasa bersalah. Ya, rasa bersalah seorang pembunuh menghantui hatinya. Hari lepas hari. Dalam pikirannya, dalam jiwanya, dalam hatinya. Ia tak bisa lepas dari itu. Namun kali ini lebih bijak. Ia juga menerima kasih dan sayang dan kepedulian dari orang lain.

Gaspar tinggal di kediaman Asgix. Ia telah lama meninggalkan dunia luar, dunia peperangan di luar sana. Ia menyendiri. Ia ditemani Parthon yang rambutnya sudah memutih. Gaspar meninggalkan dunia luar belasan tahun yang lalu, ketika perang besar antara Persia dan Romawi terjadi di Mesopotamia. Persia berhasil memenangkan peperangan itu. Gaspar tumbuh menjadi sosok yang bijak. Ia mendalami ilmu perbintangan. Ia mendalamai tulisan-tulisan kuno para majus. Ia mendalami semuanya itu. Ia mendalami ilmu-ilmu sihir, atau lebih tepatnya pengetahuan. Ia menjadi seorang majus yang jenius.

Kesukaannya adalah berjalan di sore hari nan cerah. Mengunjungi makam Asgix dan memeteraikan setangkai bunga Asentoria di Nisan tersebut. Ia menamai bunga tersebut Asentoria karena bentuknya yang mirip dengan kumpulan bintang centurion. Kemudian ia akan melanjutkan rutinitasnya dengan memandang bintang dari atap rumahnya. Ia menuliskan pergerakan bintang yang belum tercatat. Ia membukukan kejadian alam yang menyertainya. Ia menuliskannya dengan detail dan teliti. Ia suka melakukan rutinitasnnya sehari-hari. Ia menciptakan buku panduan baru untuk para majus sebenarnya.

Sampai malam itu, ketika ia sedang menengadah ke langit dan sedang memperhatikan bintang-bintang di angkasa, tiba-tiba ia melihat satu bintang di sebelah timur. Bintang itu sangat terang. Berwarna emas kemerahan. Ia tidak pernah melihat bintang itu sebelumnya. Ia mengaguminya. Bagaimana ia bisa berada di sana? Sudah belasan tahun aku melakukan ini namun aku tidak pernah melihatnya.

“Bintang timur”, tidak sengaja mulutnya berbicara. Ia terkagum-kagum dengan keindahan bintang itu. Nanarnya sempurna. Ia pasti terletak amat jauh, tapi ia bersinar sangat terang. Ia terus memperhatikan bintang itu dengan seksama. Kini ia menyipitkan sedikit matanya untuk memperhatikan bintang itu lebih dalam. Tiba-tiba ada suara berbisik di hatinya:

Kau bukan pembunuh, Aku datang untuk menyelamatkanmu, aku datang untuk mengampuni. Kau diampuni“. Gaspar terkaget-kaget. Ia bangun dari sadarnya. Ah tidak mungkin, mana mungkin bintang itu berbicara kepadaku. Gaspar ragu. Aku sudah mulai gila. Ia kembali melihat bintang itu. Kembali ia menyipitkan matanya untuk melihat keindahan bintang itu.

Engkau bukan pembunuh, engkau adalah biji mataku, kesayanganku. Kau bebas. Engkau harus menyambutKu”. Tiba-tiba bulu kuduk Gaspar berdiri semua. Selintas ia mengingat kejadian itu. Saat ia menghunuskan pedangnya ke Markus Aerilius, pembunuh ayah Gaspar. Ia menghunuskannya dengan penuh dendam. Ia puas membunuh manusia. Ia merasa sangat bersalah sekali karena hal itu. Ia meninggalkan dunia nyata karena itu. Ia hidup menyendiri karena Ia merasa harus menjauhi manusia. Manusia penuh nafsu, dendam dan dengki, Ia tidak ingin lagi merasakan itu. Ia ingin menjauhi manusia.

Bagaimana ia tahu rahasia hatiku yang terdalam. Bagaimana ia tahu isi hatiku. Apakah Dia penciptaku. Gaspar berpikir sangat dalam kali ini. Sangat melankolis. Kemudian ia turun dari atap rumahnya. Ia memilih cepat tidur malam itu. Ia merasa dirinya sudah gila. Hati Gaspar terkatalis. Tidak bisa tidak, rasa penasaran itu menyerang dia begitu dalam. Sekalipun ia berusaha untuk membiarkan perkataan-perkataan itu dan menganggap itu hanya halusinasi biasa ia tetap penasaran. Mungkinkah penciptaku baru saja berbicara kepadaku?

Hari itu adalah hari kunjungan rutin Balthazar ke pondok Gaspar. Mereka berdua memiliki ketertarikan yang sama. Mereka adalah orang-orang majus. Baltazhar adalah pendeta majus, namun Gaspar tidak diakui masyarakat. Bagi orang persia, Gaspar adalah pahlawan. Lihat saja perawakannya, Ia masih sangat tegap dan kuat. Mereka berdua suka berdiskusi tentang ilmu-ilmu pengetahuan. Sesuatu yang sangat didalami para majus. Baltazhar suka menceritakan kejadian-kejadian di sana kepada Gaspar, sehingga Gaspar tidak ketinggalan berita. Baltazhar banyak bercerita tentang perang yang masih berkecamuk antara Persia dan Romawi. Baltazhar tahu Gaspar tidak suka perang. Baltazhar mengerti betul Gaspar tidak suka membunuh. Ia percaya, Markus Aerilius adalah orang terakhir yang Gaspar bunuh, dan Baltazhar mendukungnya.

Sebaliknya Gaspar suka menceritakan penemuan-penemuan terbarunya tentang bintang kepada Baltazhar. Gaspar suka membagi ilmu barunya dan mereka mendiskusikannya. Mereka minum teh bersama. Parthon yang menyediakan panganan itu untuk mereka.

”Engkau lihat bintang itu, yang di sebelah timur?” Gaspar bertanya pada Baltazhar.

”Lihat” Baltazhar menghirup tehnya namun tidak melihat bintang itu.

”Itu yang berwarna emas kemerahan, lihat!”. Nadanya sedikit marah. Nampaknya Ia ingin menyampaikan sesuatu yang heboh. Baltazhar menangkapnya.

Baltazhar bangkit mendekati Gaspar. Ia melihat bintang itu. Bintang itu sangat indah.

”Lo. Aku menamainya Lo. Sang Juruselamat.”. Gaspar bergumam.

Baltazhar tidak mengindahkannya. Ia sibuk menikmati bintang itu.

”Ia tidak pernah ada di situ sebelumnya. Tidak pernah ada kapanpun. Sepertinya ia hanya sekali saja terbit sepanjang sejarah kehidupan manusia ini”. Baltazhar juga pengamat bintang. ”Bagaimana ia bisa berada di sana? Apakah ia bintang yang baru lahir? Tapi mengapa ia sangat terang?” Baltazhar menambahkan.

”Ia berbicara kepadaku”. Tiba-tiba Gaspar membuka rahasia hatinya.

”Maksud mu? Kita sama-sama tahu kalau bintang adalah penanda saja, ia tidak mungkin berbicara” Baltazhar melihat Gaspar keheranan.

”Iya aku mengerti maksudmu. Tapi pertama kali melihatnya, dalam kesendirian. Ia berbisik kepadaku. Ia tahu kedalaman hatiku. Ia tahu rahasia besarku. Ia membuka dendamku. Dan yang paling penting, ia menjawab pertanyaanku. Ia mengatakan aku bukan pembunuh, Ia mengampuni aku dan Ia mengatakan aku harus menyambutnya.”. Gaspar bercerita sangat serius.

Baltazhar berusaha mengingatkan Gaspar, ”Bintang berotasi saudaraku, Ia tidak bisa berbicara, kita tidak menyembah bintang”.

”Iya aku hanya berusaha menyampaikan apa yang ada di kedalaman hatiku kepadamu”. Gaspar berusaha jujur.

Baltazhar tersanjung dengan kejujuran itu. Ia melihat sebentar ke arah bintang itu. Bintang itu memang sangat indah. Kemudian ia melihat ke arah sahabatnya. Gaspar sedang memandangi bintang itu dengan sangat tenang, penuh pengharapan.

”Nanti akan kucoba cari, apa yang dikatakan pendahulu kita mengenai Bintang Timur ini. Nampaknya aku akan menggali sesuatu yang sangat kuno. Penuh debu. Dan engkau berhutang kepadaku”. Baltazhar akhirnya menyerah dan berjanji membantu rasa penasaran sahabatnya itu.

”Terima kasih” kata Gaspar.

Dan kemudian mereka melanjutkan perbincangan mereka. Mereka berbicara tentang apapun. Tanpa batas.

*************************************************************************

Beberapa minggu kemudian Gaspar menerima surat dari Baltazhar. Merpati peliharaan Baltazhar yang mengantarkannya. Isinya adalah:

Sahabatku,

Engkau harus lihat ini.
”Bintang Timur. Suatu saat nanti Ia akan bersinar. Ia hanya bersinar sekali dalam sejarah kehidupan manusia. Berbahagialah yang mengikuti arahnya. Berbahagialah yang akhirnya melihat DIA, juruselamat umat manusia.”

Baltazhar.

Seketika itu juga bulu kuduk Gaspar berdiri lagi. Mungkinkah? Mungkinkah hal ini? Jika benar hal ini adalah penemuan yang sangat luar biasa. Sekali seumur hidup. Sekali sepanjang sejarah manusia berabad-abad.

Gaspar menjadi sangat bersemangat. Ia melihat sebentar ke langit sebelah timur kemudian ia turun dan mengepak seluruh barangnya. Untuk ini Gaspar akan turun gunung dan ia akan ke tempat Baltazhar. Ia tahu mereka berdua perlu meneliti ini lebih dalam lagi. Baltazhar pasti butuh bantuan. Parthon kebingungan melihat tuannya membereskan barangnya.

”Kita harus ke tempat Baltazhar”. Gaspar sangat bergegas. ”Cepat bereskan barangmu!”. Parthon yang dari tadi melihat dengan penuh kebingungan langsung bergerak dan membereskan barang-barangnya.

Aku akan menyambutmu. Sang penciptaku. Gaspar berbicara sendiri dalam hatinya. Entah kenapa ia bersemangat sekali untuk hal ini. Ia tak pernah sebersemangat ini sebelumnya. Seakan-akan jiwa masa kecilnya lahir kembali. Ia bahkan tidak perduli lagi kalau ia akan turun gunung dan akan bertemu banyak orang. Ia ingin bertemu Bintang Timur itu. Ingin sekali.

Gaspar menginjakkan kakinya di Kota besar Persia. Ia asing sekali dengan segala perubahan yang terjadi. Terutama cara berpakaian manusia. Mereka semua makin gemerlap. Jubah lusuh Gaspar terlihat sangat kusam jika dibandingkan dengan mereka. Apalagi Parthon sang budak. Mereka berdua terlihat seperti orang aneh di tengah kerumunan dan gemerlapan orang tersebut. Namun Gaspar memilih untuk berkonsentrasi dengan Bintang Timur-nya, dari pada memperhatikan perubahan zaman tersebut.

Orang-orang tampak mengenalinya. Mereka berbisik sesuatu. Gaspar tahu mereka berbicara tentangnya. Tentang kepahlawanannya. Beberapa bahkan berdiri tegak saat ia lewat sebagai tanda hormat. Namun Gaspar sudah melupakan semuanya itu. Kalau dulu, mungkin akan ada sedikit kebanggaan tentang kepahlawanannya tersebut. Namun kini, Gaspar telah mengosongkan dirinya dan telah memilih jalan hidupnya yang baru.

Ia sampai di kediaman Baltazhar. Suatu istana kecil khusus untuk para pendeta majus. Wajar saja, pendeta majus dianggap mulia di negeri Persia. Mereka dianggap orang paling berpengetahuan di antara yang lainnya. Mereka memang tekun. Gaspar menoleh ke prajurit penjaga dan menanyakan Baltazhar. Sebentar ia masuk kemudian prajurit itu keluar bersama Baltazhar.

”Gaspar sahabatku...” Baltazhar memberi salam. Gaspar hanya tersenyum. Sebetulnya Baltazhar kaget apa yang membuat Gaspar memutuskan untuk turun gunung, namun Ia menunda pertanyaan itu sampai nanti, setidaknya tidak di depan prajurit jaga itu. Tanpa perlu berkata-kata nampaknya Gaspar juga sudah sepakat akan hal itu.
Baltazhar membawa Gaspar dan Parthon masuk ke kediamannya. Kediamannya adalah suatu rumah dari kayu Libanon yang sangat indah dan kuat. Tempatnya pun bersih dan rapih. Itu memang ciri khas Baltazhar. Rapih dan bersih. Ia masih tinggal seorang diri, belum ada yang mendampingi dia. Tidak tahu apakah dia ingin menyendiri selamanya atau sampai batas waktu tertentu. Mereka berdua dipersilahkan duduk sementara suruhan Baltazhar mempersiapkan kamar untuk Gaspar dan Parthon. Tentu saja Gaspar di rumah utama dan Parthon di bagian belakang, tempat suruhan lainnya berkumpul. Parthon akhirnya memilih mengikuti suruhan Baltazhar ke belakang. Kini tinggal mereka berdua.

”Jadi apakah yang akhirnya membuat engkau turun gunung wahai pahlawan” Baltazhar sedikit mengejek.

”Suara itu, Lo, Bintang Timur, semakin kuat, aku sangat penasaran. Dan aku yakin aku tidak salah. Begitu aku terima suratmu, aku langsung menuju kemari.”

”Ya, dan engkau sampai lupa membalas surat itu kalau engkau mau kemari. Aku belum menyiapkan apa-apa untuk kedatanganmu jadinya. Katakan padaku, sebegitunyakah engkau akan bintang timur itu? Sehingga hal tersebut dapat memaksa engkau turun? Kalau iya, berarti hal ini sangat serius. Engkau saja sampai turun gunung.”. Baltazhar menanyakan kepastian.

”Suara itu. Ia tahu sampai kedalaman hatiku. Ia tahu masa laluku yang kelam. Ia mengenal dendamku. Ia mengenal diriku. Engkau tahu, suara itu bahkan sepertinya lebih mengenal aku dari diriku sendiri.” Gaspar berkata begitu lirih. Baltazhar mendapat kepastiannya dengan perkataan Gaspar. Ia pun akhirnya memilih sepakat dengan sahabatnya itu. Jikalau hal ini mampu membuatnya turun gunung, hal ini pasti sangat serius bagi Gaspar.

”Jadi apa rencanamu?” Baltazhar bertanya.

”Aku akan mengikuti bintang itu. Aku ingin Ia menuntunku.”. Gaspar menjawab.

”Kamu sudah gila? Bagaimana mungkin kita bisa meraih bintang itu. Bagaimana kalau tidak ada apa-apa?”. Baltazhar spontan menjawab. Hal itu menyindir Gaspar.

”Bagaimana kalau ada apa-apa?. Apakah engkau mau melewatkan sang juruselamat manusia? Bagaimana kalau tulisan itu benar?”. Gaspar membalikkan keadaan.

Baltazhar melihat perjalanan dengan perkataan itu. Baltazhar tahu akan ada eksodus yang sangat panjang untuk hal ini. Baltazhar menyukainya. Bahkan, ini adalah impiannya. Suatu perjalanan mengejar bintang. Mempelajari bintang dan misteri di belakangnya. Tidak perlu diminta, Ia sudah sangat setuju untuk mengejar bintang itu. Namun Baltazhar tetap Baltazhar. Ia adalah pekerja yang rapih dan teratur.

”Baiklah kalau begitu. Tinggallah beberapa hari di sini. Kita kumpulkan dulu semua pemberitaan mengenai Bintang Timur ini. Siapa tahu kita bisa memperoleh informasi tambahan untuk mengejar bintang ini.”

“Terima kasih.” Gaspar berkata dengan suara yang sangat mendalam.

Baltazhar menatap sahabatnya itu dan melihat parasnya. Ia yakin itu bukan ucapan terima kasih yang biasa. Itu lebih mendalam. Itu lebih terdengar seperti terima kasih telah mempercayaiku dalam kegilaanku. Terima kasih telah ikut bersemangat bersamaku mengenai hal ini. Terima kasih sahabatku.

”Iya.” Baltazhar menjawab singkat menormalisasi keadaan yang sudah semakin melankolis. Seperti sudah menjadi mekanisme otomatis, ketika kedua orang pria berbincang-bincang, keadaan harus tetap normal dan tidak diperbolehkan sedikitpun mengarah ke pembicaraan yang sentimentil. Pria sebenarnya suka akan hal itu, tetapi mekanisme otomatis itu sering kali menghalangi mereka untuk berbicara hati ke hati.

***********************************************************************************

Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita, lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.

Untuk melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua orang yang membenci kita, untuk menunjukkan rahmatNya kepada nenek moyang kita dan mengingat akan perjanjianNya yang kudus, yaitu sumpah yang diucapkanNya kepada Abraham, bapa leluhur kita, bahwa Ia mengaruniai kita, supaya kiya, terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepadaNya tanpa rasa takut, dalam kekudusan dan kebernaran di hadapanNya seumur hidup kita.

Apakah arti semua tulisan ini? Gaspar dan Baltazhar berpikir keras dalam hati mereka masing-masing.

”Dengar ini”, seru Baltazhar. ”Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan Ia akan menamai dia Immanuel”.

”Mungkinkah bintang itu sebenarnya adalah bayi yang baru lahir?”, Gaspar balik bertanya.

”Mungkin saja. Sebab dari tadi semua tulisan kuno ini berbicara mengenai seorang anak, seorang bayi, perempuan hamil, anak dara, segala macam. Sepertinya bintang itu penunjuk waktu kelahiran anak itu.” Baltazhar menyeriangi.

Dan engkau Betlehem tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.

”Israel! Yahudi! Mereka ada di timur”. Gaspar mendapat pencerahan. “Dulu pengasuhku adalah seorang Yahudi. Tunggu sebentar, aku baru ingat, Iya, dulu ia pernah bercerita tentang Bintang Timur. Yang aku ingat, ia berkata Bintang itu yang akan menuntunmu kepadaNya. Itu saja. Bintang itu akan menuntunku. Aku yakin ia akan menuntunku kepada Juru selamatku.”

”Tapi masa iya, juruselamatmu, seorang bayi?”. Baltazhar berusaha bersikap skeptis. ”Lagi pula dengar ini: Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih: Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi. Nampaknya juruselamat-mu itu akan mati saat bayi. "

”Aku harus melihat dia, aku harus melihat dia. Kita harus ke Timur. Ke Bintang itu. Bintang itu akan menuntun kita kepada juruselamatku itu.” Gaspar memaksa. Ia ingin Baltazhar ikut dengannya.

Tiba-tiba terdengar suara dari luar berteriak cukup keras. ”Raja datang, hidup sang Raja”.

Gaspar dan Baltazhar serentak bersujud dan menyembah sang raja. Sang Raja malah menyambut Gaspar dan memaksa Ia berdiri.

”Jangan begitu Gaspar, jika bukan karena engkau, mungkin aku tidak berada di sini hari ini. Aku berhutang padamu, maka aku harus kemari. Mari singgahlah di istanaku. Beristirahatlah di sana. Kita bercakap-cakap, dan engkau bisa menilai prajurit-prajuritkuku yang baru”. Tawa kecil menutup kalimat sang Raja.

Tiba-tiba Gaspar membayangkan lagi senjata, pertempuran, strategi perang, semua itu dan darah, ya darah, itulah yang membuat ia sangat takut, darah. Ia tak lagi ingin semua itu dalam hidupnya. Dengan cepat ia mengatur kata-katanya. Ia harus melakukannya, menolak permintaan Raja bisa berarti pula tiang gantungan. Bukan hal mustahil.

”Ah Raja terlalu merendah. Engkau berada di sana tentu karena kebijakan paduka dan hikmat anda nyata dengan makin majunya negeri ini. Namun, hambamu sudah lama sekali tidak mengikuti dunia perang. Hambamu sudah mundur dari dunia ini Paduka. Hamba hanya ingin mencari ketenangan hidup. Mohon mengerti hamba. Pula, hamba harus meneruskan perjalanan hamba segera, ada yang harus hamba lakukan. Maafkan kelancangan hamba.” Gaspar menjawab dengan sangat hati-hati.

Raja tidak lagi melihat kecongkakan di pria yang ada di hadapannya ini. Padahal badannya masih gagah bak pahlawan, bahkan terlihat lebih matang. Namun ia berubah menjadi sangat bijak. Tersirat sedikit kesedihan di mukanya, namun Raja tidak lagi melihat kebencian pada Gaspar. Sebenarnya Ia salut pada Gaspar. Ia adalah pria yang sangat kharismatik buat Raja.

Untuk orang lain pasti Raja akan marah jika permintaannya ditolak, tapi karena ini Gaspar, maka ia tak sanggup untuk memaksa.

”Mau kemanakah engkau pahlawan? Engkau bilang tadi akan meneruskan perjalanan. Hal penting apakah itu yang akhirnya dapat membuat engkau turun gunung?” Raja begitu tidak sabar. Hal itu pasti penting sekali sehingga Gaspar harus turun gunung.

Kedua orang majus itu lihat-lihatan. Mereka yang kini berdiri tegak dan tersembunyi di balik jubah-jubah itu terlihat berbicara isyarat satu dengan yang lain. Nampaknya mereka tidak ingin membuka hal penting tersebut secara gamblang kepada Raja. Namun Raja dapat menangkap hal itu.

”Prajurit, tunggulah di luar”. Raja tiba-tiba mengusir seluruh penjaganya ke luar ruangan. Gaspar dan Baltazhar pasti tidak bisa menolak kali ini.

”Kini tinggal kita bertiga. Kalaupun, katakanlah kepadaku apa yang akan kalian lakukan. Setidaknya ceritakanlah kepadaku sebagai seorang sahabat.”. Raja memang tidak percuma berada di tahtanya. Ia mampu membaca situasi dengan cerdik.

Kemudian Gaspar dan Baltazhar menceritakan tentang rencana perjalanan mereka. Mencari bintang itu. Tidak semua hal diceritakan kepada Raja, terutama masalah hati. Baltazhar mendukung Gaspar. Awalnya Raja kaget dengan hal tersebut. Hal yang sangat tidak masuk akal, namun saat Raja kembali mengingat bahwa hal tersebut mampu membuat seorang Gaspar turun gunung maka ia pun memandang hal itu dengan sangat serius.

Raja mendukung perjalanan itu. Ia menghormati Gaspar dan Baltazhar, namun ia sendiri tidak dapat ikut dengan mereka. Ia memberikan satu pasukan penjaganya untuk berjalan bersama Baltazhar dan Gaspar ke timur. Perjalanan yang tidak pasti. Perjalanan yang sama sekali tidak memiliki tujuan. Hanya mengejar sebuah bintang. Bintang yang bersinar terang di langit. Bintang Timur.

Tahun 2008 = Tahun Kasih

Udah 2 tahun belakangan ini gua baca buku di akhir tahun. Dan so pasti setiap seseorang membaca buku pengaruhnya akan sangat besar dalam kehidupan pembaca tersebut. Apalagi orang kayak gua, gua paling malas bertanya 2 kali untuk setiap buku yang gua baca. Gua akan setuju dan manut-manut aja akan apa isi buku itu. Gua males bertanya-tanya lagi. Pasrah aja kalo buku yang ditulis itu adalah kebenaran.

Buku yang baru-baru ini gua baca adalah:

Kasih yang Patut Diberikan
Max Lucado

Buku ini bercerita sepenuhnya tentang kasih. Kasih yang tidak sombong, tidak pencemburu, kasih yang murah hati, kasih yang sabar, kasih yang menutupi segala sesuatu, dan sebagainya.

Melalui buku ini gua juga jadi menyadari suatu hal. Gua ini ternyata mudah sekali mengasihi orang. Tadinya gua bingung, perasaan teman-teman kantor gua biasa-biasa aja. Mungkin karena hubungan sebatas pekerjaan kali ya. Jadi gua menganggap kalau kondisi ini adalah kondisi yang normal dalam hubungan sesama manusia. Biasa-biasa aja. Tapi ternyata gua salah. Kalau selama ini gua memendam rasa kasih itu gua sangat salah besar. Karena kasih itu bukan berasal dari gua. Tapi dari Tuhan. DIA udah terlebih dahulu mengasihi gua, sabar terhadap gua, mengampuni gua, dsb. Karena itu lah gua secara otomatis mengasihi kepada orang lain, sabar terhadap orang lain, dsb. Itu bukan karena gua. Kasih itu mengalir keluar begitu saja kepada sesama. Bukan karena gua, melainkan karena gua udah dikasihi terlebih dahulu. Kasih itu terpancar keluar karena gua udah dikasihi terlebih dahulu. Seperti gelas yang telah terisi penuh dengan air dan tumpah, demikianlah diri gua udah penuh dengan kasih dan otomatis gua menumpahkan ke seantero lingkungan gua. Dimanapun gua berada.

Itu sekilas tentang kasih. Dan karenanya gua bertekad kalo tahun 2008 ini adalah tahun penerapan kasih. Kasih yang gak sok tahu, melainkan mau menghargai orang. Kasih yang bukan karena pengetahuan, melainkan apa yang ada di hati orang lain.

Mantaplah!

Maju terus 'hat, pantang mundur.

Kisah Seorang Majus (Bagian V)

The War

Gaspar kaget sekali, di tempat itu, di tenda yang dibangun tentara Romawi di atas bukit, Markus Aerilius, orang yang membunuh Ayahnya, tidak seperti yang dia bayangkan. Markus kini hanyalah seorang bapak tua dengan perut buncit dan nafas yang terengah-engah. Gaspar kecewa sekali. Ia telah berlatih pedang begitu rupa untuk bertempur dengan pria ini. Ia telah melatih tubuhnya menjadi kekar. Ia telah mengorbankan segalanya hanya untuk pria tua gendut di depannya itu. Gaspar kecewa. Benar-benar kecewa. Ia merasa, Ia tidak perlu mengorbankan seluruh kehidupannya hanya untuk melawan orang yang sudah hampir mati ini. Namun pikiran itu langsung lenyap. Lenyap ditelan amarah dan balas dendam yang sudah menggerogoti dan menghisap jiwa Gaspar. Hari itu, dendam Gaspar harus terbalaskan. Harus.

Ramalan itu benar. Hujan dan badai sangat lebat turun di Mesopotamia siang itu. Begitu kedua pasukan, pasukan Persia dan pasukan Romawi berhadap-hadapan, suara seorang yang membaca mantera terdengar jauh di atas bukit. Awalnya pelan seperti berbisi, namun lama-lama makin mengeras, makin mengeras, makin mengeras sampai terdengar seperti gemuruh.

”Askabar an nừ kyiaralaba syika taranta kansa...”
”Askabar an nừ kyiaralaba syika taranta kansa...”
”Askabar an nừ kyiaralaba syika taranta kansa...”
”Askabar an nừ kyiaralaba syika taranta kansa...”
”Askabar an nừ kyiaralaba syika taranta kansa...”
”ASKBAR AN NỪ KYIRALABA SYIKA TARANTA KANSA...”

Dan tiba-tiba awan hitam menggumpal di seantero tempat itu. Awan yang sangat pekat hingga hanya sedikit cahaya matahari yang tersisa untuk tempat itu. Sangat gelap. Medan perang itu berubah menjadi sangat gelap. Tiba-tiba tetesan air jatuh menuju bumi. Satu tetes air yang mendahului hujan yang sangat lebar jatuh membasahi tanah kering itu. Setetes air tersebut memuaskan dahaga tanah kering tersebut di musim kering tersebut. Sudah lama tanah itu tidak minum. Setetes itu merasuk ke pori-pori tanah, membasahi tiap butir-butir pasir sehingga diri mereka masing-masing menjadi basah, basah kuyup. Butir-butir pasir itu dapat merasakan bahwa cairan itu terlampau banyak. Mereka tidak lagi dapat menahannya. Cairan itu terlampau banyak. Mereka yang tadinya keras tiba-tiba menjadi lembek sekali. Dan karena mereka sangat tebal mereka terus menerima cairan-carian itu. Tanah keras itu sadar kalau kini mereka menjadi lumpur.

Suara itu adalah suara Asgix. Ia memanggil hujan lebat itu turun. Ia tidak diundang, namun Ia datang. Ia merentangkan tangannya lebar, dengan tongkat kayu berkelok di tangan kanannya. Gemuruh yang sangat kuat menghantui pasukan romawi. Namun mereka tidak tahu ketakutan yang sebenarnya. Mantera Asgix tidak hanya memanggil badai, Ia juga melahirkan gempa. Gempa yang sanggup meruntuhkan batu-batu di lereng bukit meluncur langsung menuju pasukan romawi.

Begitu satu batu meluncur, begitu tanah sudah menjadi lumpur, begitu ketakutan sangat melanda pasukan romawi, komandan pasukan Persia berteriak:

”Serang!”

Dan teriakan itu disambut oleh puluhan ribu pasukan Persia yang berteriak

”Seraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa......aaaaaaaa...aaaaaaaaanngggg!”

Suara mereka berestafet. Dari barisan paling depan hingga barisan paling belakang. Suara itu adalah untuk menimbulkan kegentaran untuk lawannya. Dan mereka berhasil. Di tengah hujan lebat, dan kegentaran yang begitu dahsyat, para pasukan pemanah Romawi gemetar. Mereka melepas anak panah, namun banyak yang menghilang dan salah arah. Hanya beberapa kesempatan saja mereka bisa melepas anah panah. Pasukan Persia sudah mendekat.

Lihat, mereka semua menanggalkan baju zirahnya. Mereka bergerak sangat leluasa dengan menggunakan hanya selembar kain yang menutupi diri mereka. Seluruh tubuh mereka juga dilumuri minyak. Pasukan Romawi tidak mengerti tentang hujan lebat dan lumpur ini. Mereka terjebak dalam jubah kebesaran mereka masing-masing, mereka sangat sulit bergerak..

Mesiu yang dipersiapkan oleh Pasukan Romawi ini juga tidak dapat digunakan. Hujan terlalu lebat. Pasukan Romawi membeli banyak sekali mesiu dari Kaisar Asia Timur. Komandan Romawi sudah berteriak dari tadi: ”Lepaskan mesiu”. Namun para operator mesiu selalu membalas: ”Tidak bisa komandan, apinya selalu mati, hujan terlalu lebat, kita tidak bisa menggunakan alat ini.”

Sementara itu batu-batu besar mulai mendarat di Pasukan Romawi. Mereka terkepung. Mereka terpojok. Mereka mulai tunggang langgang. Kekuatan mereka dengan mudah dikalahkan oleh kecepatan dan keluwesan pasukan persia. Mereka terjebak. Kemudian komandan pasukan romawi berteriak: ”buka baju zirah! Buka baju zirah! Buka sepatu besi! Buka sepatu besi!”. Seluruh pasukan itu menyeriangi dengan membuka baju zirah dan kasut besi mereka. Namun hal itu sudah terlambat.

Tiba-tiba ratusan bahkan ribuan anak panah mendarat di pasukan romawi. Anehnya anak panah-anak panah itu hanya mengarah ke tempat yang sama. Hal ini dengan sangat mudah dihindari oleh pasukan romawi. Tiba-tiba komandan romawi berteriak:

”Jangan berpisah! Tetap satu! Jangan berpisah tetap satu! Jangan terpecah! Tetap dalam barisan”.

Namun tidak bisa. Dalam ketakutan yang sangat besar, ego tiap-tiap orang tersebut muncul. Kebanggan pasukan romawi yang besar itu hilang begitu saja. Mereka ingin menyelamatkan diri masing-masing dari anak panah-anak panah itu.

Pasukan romawi mulai terbagi dua. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang sangat kuat makin lama makin mendekat pasukan romawi. Itu adalah pasukan berkuda. Mereka seperti telah mengenal tempat itu sebelumnya. Pasukan kuda itu berhasil mengenali tanah-tanah keras di tengah lumpur yang dalam tersebut. Kuda-kuda itu tidak terperosok. Pula mereka dipakaikan sepatu khusus terbuat dari bahan seperti plastik. Kuda-kuda itu juga dapat bergerak dengan leluasa. Pasukan berkuda itu mengejar pasukan romawi yang bergerak mundur ke arah barat. Pasukan itu terpojok. Antara bukit dan pasukan persia. Sementara pasukan persia menyerang habis-habisan pasukan yang di sebelah timur.


”Gaspar, anak Margot!” Markus berseru. Dan kemudian tertawa. Tertawa sangat keras. ”Hahahahhahahahahahhaa.....”. Tawa itu membuat Gaspar sangat kesal. Dan tiba-tiba tawa itu berhenti karena tersedak ”Aakh...” Markus terhunus pedang. Pedang dari Gaspar. Setengah dendam Gaspar terbalas sudah. Kemudian Markus tertawa lagi.

“Hahahahaha... jadi kau hendak membalas dendammu?“. Kali ini dengan terbata-bata. Kau berhasil nak. Tapi kau tetap tidak akan tenang. Selamanya kau tidak akan tenang.
”Hahahahahaha....” dan kemudian Markus berhenti bernafas.

Gaspar sangat puas. Ia berhasil membalaskan dendamnya. Ia berhasil membunuh pembunuh ayahnya. Namun tiba-tiba ia menangis. Perasaanya itu sangat mendalam. Dari berbagai binatang, prajurit romawi yang telah ia bunuh kali ini ia baru bisa merasakan kalau ia adalah seorang pembunuh. Aku seorang pembunuh. Aku pembunuh. Dari kecil Gaspar tidak suka membunuh. Dari kecil Gaspar tidak suka berperang. Dari kecil Ia tidak ingin melakukan apa yang dilakukan ayahnya. Ia lebih memilih kedamaian dari pada peperangan. Tapi hari itu ia menyadari kalau ia telah membunuh seseorang, sesamanya, dengan kedua tangannya sendiri. Dengan pedangnya. Terlebih dengan dendam hatinya yang sangat mendalam. Ia telah membunuh manusia. Ia telah menghentikan kehidupan seorang manusia dengan kuasanya. Ia merasa tidak berhak atas hal tersebut. Ia kemudian jatuh bersujud. Ia tidak lagi perduli dengan perang yang sedang berlangsung. Ia hanya menyadari bahwa perang, dendam dan pembunuhan tidak akan pernah selesai. Semua akan tetap seperti itu. Ego manusia, dendam, dan sebagainya, masih terlalu tinggi untuk tidak adanya perang. Harus ada sesuatu, sesuatu yang menghentikan semua ini. Semua ini.
Kemudian ia berteriak sangat keras. Keras sekali.

”Berhenti.......!!!”. Namun tidak ada yang dapat mendengarnya.

Semua kembali berperang. Persia berhasil mengalahkan Romawi di perang besar kali itu. Markus Aerilius tewas di perang itu. Dendam Gaspar pun mati di peperangan itu. Namun Gaspar menjadi pendiam dan sedikit gila. Ia tidak pulang bersama dengan pasukan persia kembali ke raja. Tetapi ia berada di situ. Ia mengumpulkan semua mayat itu. Ia menjadikannya beberapa tumpuk mayat. Ia membakar semua tumpukan itu bergantian. Ia mengerjakannya berhari-hari.

Ditumpukkan terakhir, Asgix menghampiri dia. Asgix memegang bahu kiri Gaspar. Melihat cincin di tangan itu Gaspar tidak berbalik. Ia tahu itu adalah Asgix. Ia hanya terdiam melihat tumpukan mayat di depannya terbakar. Kasih dan kelembutan seperti mengalir dari tangan Asgix. Gaspar tidak tahan lagi. Ia menangis. Ia kembali mengingat keluarganya yang habis dibantai saat perang. Ya, dia tidak lagi memandang karena pasukan romawi, melainkan karena perang. Ia juga mengingat semuanya habis karena perang. Ia tidak ingin seperti itu. Ia ingin kedamaian untuk manusia. Begitu deras kasih dan kelembutan itu mengalir dari Asgix. Ia tidak kuat. Selama ini ia diliputi kebencian. Dendam. Ia tidak pernah bisa merasakan kasih dan kelembutan itu. Namun kali ini kelembutan itu mengalir merasuk ke dalam hatinya. Ia menerima kasih kelembutan itu kali ini. Ia terduduk, tangisnya makin keras. Ia terpukul begitu sangat. Aku pembunuh. Aku membunuh. Asgix ikut duduk. Ia merangkul Gaspar beberapa lama. Ia membiarkan Gaspar merasakan kasih kelembutan yang selama ini tidak lagi ia rasakan. Gaspar menikmatinya lama sekali. Ia ingin tenggelam dalam kasih tersebut. Sampah busuk dendam di hatinya sudah terlampau bau dan jijik. Kini itu semua dibersihkan dari hatinya. Gaspar menikmatinya. Sangat.